Archive for Januari 2017

Assalamu'alaikum..
Hari ini saya terlambat bersama teman-teman saya tapi dosen saya BAPAK ABDUL ZAHIR Mengampuni untuk hari ini. Mungkin karena dosen saya memikirkan bahwa kos saya jauh dari kampus.

Pengalaman Hari ini

Posted by : Unknown 0 Comments


FILSAFAT TIMUR DAN BARAT




HERWIN
1604411065










FAKULTAS TEKNIK IMFORMATIKA
UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO
2016/2017






KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini denganpenuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggupmenyelesaikan dengan baik.Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui beberapa aliran-aliran filsafat pendidikanislam dan barat yang saya sajikan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusundengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dariluar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah inidapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang aliran-aliranfilsafat pendidikan islam dan barat‖ dan saya uraikanuntuk menyelesaikan tugas dan karena menarik perhatian penulis untuk dicermati dan perlumendapat dukungan dari semua pihak yang peduli terhadap dunia filsafat pendidikan.Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada guru/dosen yang telah banyak membantupenyusun agar dapat menyelesaikan makalah ini.Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupunmakalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya.Terima kasih.





Palopo, 7 Desember 2017

Penyusun



DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..........................................................
1.1  Latar Belakang..........................................................................................
1.2  Rumusan masalah......................................................................................
BAB II FLSAFAT BARAT.............................................................................
2.1  Filsafat: Sebuah Perkenalan Awal.............................................................
2.2  Hubungan Filsafat dengan ilmu pengetahuan...........................................
2.3  Esiptemologi..............................................................................................
2.4  Epistemologi dan Psikologi.......................................................................
2.5  Sumber dan Struktur Pengetahuan............................................................
2.6  Persoalan Validitas (Kebenaran) Pengetahuan..........................................
2.7  Metafisika..................................................................................................
2.8  Kosmologi.................................................................................................
2.9  Filsafat Manusia........................................................................................
2.10 Etika........................................................................................................
2.11 Sejarah Filsafat Barat..............................................................................
2.12 Filsafat Yunani Kuno (600 SM – 500 SM).............................................
2.13 Filsafat Abad Pertengahan (400-1500 SM)............................................
2.14 Filsafat Modern (1600-1900)............................................
2.15 Filsafat Kontemporer (1900-Dewasa ini)..............................................
2.16 Manusia Sebagai Animal Symbolicum....................................................
BAB III FILSAFAT TIMUR...........................................................................
3.1  Munculnya Filsafat..................................................................................
3.2  Filsafat Timur...........................................................................................
3.3  Pemikiran Timur sebagai Filsafat.............................................................
3.4  Perbedaan dengan Filsafat Barat.............................................................
BAB IV PENUTUP...........................................................................................
4.1 KESIMPULAN........................................................................................
4.2 SARAN.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................














BAB I
PENDAHULUAN

3.5  Latar Belakang
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang sering terkait, baik secara substansial maupun secara historis karna kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya paerkembangan ilmu memperkuat keberadapan  filsafat,  kelahiran filsafat di yunani menunjukkan pola pemikiran bangsa yunani dari pandangan mitologi akhirnya lenyap  dan pada gilirannya rasiolah yang lebih domain, dengan filsafat pola yang berfikir yang selalu tergantung  rasio.
Dengan berkembangnya pola fikir manusia, maka berkembang pula tentang pemikiran dan pembahasan di dalam filsafat. Filsafat dibagi menjadi empat periode. Namun pada  pertemuan ini kami membahas hanya dua periode yakni, periode modern dan periode kontemporer yakni Filsafat klasik, filsafat abad pertengahan, filsafat modern dan filsafat kontemporer. Untuk pembahasan lebih lanjut, kami akan membahas dalam pembahasan selanjutnya.
3.6  Rumusan masalah
3.6.1        Bagaimanakah sejarah perkembangan filsafat di Barat pada periode modern  dan kontemporer ?
3.6.2        Bagaimanakah sejarah perkembangan filsafat di Islam Timur pada periode modern dan kontemporer ?
3.6.3        Apa perbedaan yang mencolok tentang sejarah perkembangan filsafat yang ada di Barat dan di Islam timur ?
                                




BAB II
FILSAFAT BARAT
2.1  Filsafat: Sebuah Perkenalan Awal
       Secara etimeologis (asal-usul kata), istilah filsafat berasal dari kata yunanai philia (=love, cinta) dan sophia(= wisdom, kebijaksanaan). Namaun, jika hanya mendasarkan diripada arti etimologi istilah in, maka kita tidak akan dapat memahami definisi filsafat dalam pengertian operasionalnnya dan perkembangannya kemudian. Hla yang sama barangkali akan dialami seandainya kita berusaha memahami istilah-istilah lain dalam ilmu pengetahuan.  Misalnya saja pengertian  “psikologi”. dengan hanya meninjau arti etimologis istilah psikolog (psyche=jiwa;logos=pengetahuan atau ilmu) akan membawa kita pada pengertian bahwa fisikologi adalah ilmutentang  jiwa. Padahal kita tahu bahwa dalam perkembangannya yang libih kemudia, psikolog tidak lagi mendefinisikan pisikologi sebagai ilmu pengetahuan tentang tingkah laku dan proses-proses mental manusia (simith, dkk., 2002;feldman, 1999).
Tidak mudah memberikan definisi yang beragam tentang filsafat. Banyak filsuf memberikan definisi yang beragam tentang apa itu filsafat tidak mudah untuk didefinisikan, maka kita akan menemukan beberapa faktor yang menjadi penyebab di antarannya:
a)      Para filsuf tidak setuju (berbeda pendapat) dalam menentukan prioritas objek kajian (subject matter) filsafatnya ada filsuf yang memberikan tekana pada alam, manusia, tuhan  ada juga yanga memberikan tekanan pada bahasa, sosial, politik,serta budaya.
b)      Perbedaan dalam memberikan tekanan pada objek kajian filsafat mendorong mereka mendefinisikan filsafat secara berbeda satu sama lain. Pehatikan beberapa conroh definisi filsafat yang didefinisikan sejumlah filsafat yang berbeda-beda berikut ini:
a.    Filsafat adalah pencarian makna hidup manusia.
b.    Filsafat adalah analisis dan kritik atas ilmu pengetahuan, sampai ditemukan hakikat ilmu pengetahuan sebenarnya.
c.    Filsafat adalah analisis bahsa, upaya untuk memahami hakikat bahasa sarana komunikasi manusia.
d.   Filsafat adalah kritik kebudayaan.
e.    Filsafat adalah upaya pemahaman-diri melalui simbol-simbol manusiawi (budaya, politik, bahasa, religi, kesenian).
Jika definisi-definisi tersebut dipertimbangkan secara sendiri-sendiri, maka masing-masing baru menggambbarkan sistem filsafat secara keseluruhan.
a)      Sejak perkembangannya ilmu-ilmu pengetahuan empires (baik dalam ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, maupun ilmu bahasa). Filsafat redefinisi dalam hal peran dan kontribusinya untuk pengetahuan manusia. Filsafat dewasa ini tidak lagi mengklaim “induk segala ilmu”), tetapi secara sadar-diri kehidupan manusia. Filsafat dewasa ini tidak samadengan filsafat Zaman Yunani kuno (Socrates,plato,Aristoteles,dan para filsafat klasik lainnya) dan para filuft moderen (seperti Rane Descatres). Di kedua periode sejarah filsafat tersebut filsafat dimaksudkan sebagai upaya raksasa untuk melakukan penemuan-penemuan tentang hakikat alam semesta (alam, manusia, tuhan). Pada masa itu, seorang filsuf seperti Aristoteles (384-322 SM) maupun menulis berbagai kajian dalam berbagai bidang ilmu pengetahua, mulai dari metafisika sampai fisika, matematika, kedokteran, biologi, astronomi,dan psikologi. Hal yang sama pun ada pada filsuft moderen seperti Descartes (1592-1660) yang sangat fasif berfikir dan menulis tentang masala-masala fisika, psikologi, sama fasihnya dengan menulis metafisika (fisafat). Akan tetapi, para filsuf dewasa ini mempersempit kajiannya terhadap aspek-aspek tertentu dari alam semesta. Dewasa ini secara filsuf yang tertarik pada bahasa, tidak serta merta mengetahui mengenai hakikat alam semesta. Seseorang filsuf yang tertarik pada masalah hakikat ilmu pengetahuan, tidak akan berbicara tentang Tuhan dan hal-hal metafisika. Seseorang filsuf yang tertarik untuk menemukan makna hidup manusia, tidak malakukan analisis secara mendalam terhadap bahasa-bahasa manusia.
b)      Para filsuf dewasa ini lebih tertarik untuk menganalisiskehidupan manusia secara nyata, baik kehidupan manusia sebagai individu maupunsosial dan kultural. Meraka mereka tertarik pada masalah-masalah eksistensial seperti pengalaman manusia, makna hidup, makna “aku”, makna penderitaan dankebahagiaan, makna kebebasan dan keterkungkungan. Ini dimulai terutama sejak Kierkegaard (1813-1855), Hursell (1859-1938), dan para eksistensialis lainnya seperti Martin Heidegger (1889-1976) dan Paul Sartre (1905-1980). Parafilsuf pasca –eksistensialisme pun, yakni struktrualisme, teori kritis, dan post-medernism, menulis tentang topik yang lebih kontekstual. Mereka menulis tentang pluralisme manusi, tentang dominasi-dominasi struktural yang mengungkung manusia, tentang ketertindasan perempuan, tentang kekuasaan dan penindasan yang tersembunyi dibalik kehidupan masyarakat, tentang makna kebudayaan lokal, dan lain-lain.
Meski objek kajian filsafat sangat beragam, dan selalu mengalami perkembangan, tetapi pada dasarnya ada beberapa kesamaan yang dapat diidentifikasi dalam karya-karya mereka. Pertama, karya-karya meraka pada umumnya berupaya menemukan hakikat (insentif) atau makna dari apa yang sedang mereka teliti. Jika meneliti manusia, maka yang hendak dicari jawabannya adalah apa sebetulnya hakikat manusia itu (atau, apa makna menjadi manusia). Jika mereka meneliti alam semesta, maka yang mereka cari adalah jawaban tentang apa hakikat alam semesta itu (atau, apa maknayang terkandung di balik alam semesta yang kita tinggali ini). Jika meneliti kebudayaan, maka mereka sedang berusaha mememukan jawaban tentang apa hakikat kebudayaan itu (atau, apa makna kebudayaan bagi hidup manusia). Kedua, hakikat yang dicari oleh mereka bukan hhanya hakikatobjek yang diteliti, tetapi juga sabjek (filsuf itu sendiri) yang sedang meneliti atau sedang melakukan pencarian. Contoh: jika seorang filsuf menemukan dan bisa membuktikan secara logis bahwa hakikat alam adalah materi dan manusia  adalah bagian dari alam  (materi), maka ia pun memahami hakikat dirinnya  sebagai materi (tubuh).  Ketiga, para filsuf (berbeda dari parailmuan) tidak melakukan penelitian empires, baik survei,eksperimental, atau studi korelasional, pemikiran-pemikiran filsafat mereka lebih menitik beratkan pada pemikiran logis dan rasional. Artinnya, yang ditentukan dalam berfilsafat adalah kemampuan dan kekuatan berfikir logis dan rasional.
2.1.1  Jenis-Jenis Filsafat
Merujuk pada karya Pater Koestembuan (1968), dapatlah dikatakan bahwaterdapat tiga jenis filsafat, yakni filsafat sebagai analisis, filsafat sebagai sintesis, dan filsafat sebagai upaya mencari ,makna  hidup.
2.1.2  Filsafat Sebagai Analisis
Filsafat sebagai analisis berarti bahwa filsafat merupakan suatu analisis terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Beberaspa contoh analisis yang dilakukan oleh filsafat antara lain adalah:
a)        Analisis atas common sense. Contoh: ketika melihat sebatang pohon, orang
awam pada umumnya sudah cukup puas dengan mengatakan, “saya melihat sebatang pohon.” Namun, sebagian besar filsuf misalnya akan bertannya,  “apakah pohon yanng tampak itu sama dengan pohon yang sebenarnya? ” pertanyaan-pertanyaan yang tampak artifisial ini sebetulnya memiliki konsekuensi yang cukup penting jika diperluas kepada ilmu pengetahuan. Misalnya, apakah teori-teori ilmu pengetahuan betul- betul mengambarkan dan menjelaskan realita yang sesungguhnya? Apakah teori-teori tersebut sungguh-sungguh objektif, lepas dari subjektivitas para ilmuwannya? Selain mana peran para ilmuan memberikan warna subjektif dalam pembentukan teori-teori mereka?
b)         Analisis atas masalah-masalah etika atau moral. misalnya: eatunasia (upaya mengakhiri hidup pasien oleh dokter atas dasar kemanusiaan) dan hujuman mati. Pertanyaanya, atas dasar apa manusia (seorang dokter, misalnya) mencabut nyawa manusia lain? Bagaimana pertanggungjawaban di depan tuhan?
c)      Analisis atas masalah-masalah estetika. Misalnya: gambar lukisan orang telanjang. Pertanyaannya, apakah gambar orang telanjang termasuk pornografi atau estetika (seni keindahan)? Apakah gambar orang telanjang sama dengan keindahan (estetika) atau justru melanggar norma-norma sosial, sehingga harus dimasukkan ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Anti Pornografi?
d)     Analisis tentang keberadaan tuhan dan agama. Mengapa orang beragama? Apakah tuhanmemang menciptakan manusia atau, seperti dikemukakan oleh fouerbach (1894-1872) dan Karl Marx (1818-1883) bahwa justru manusia sendiri yang menciptakan tuhan ? apakah pernyataan-pernyataan religius bisa diverifikasi (dibuktikan kebenarannya)? Apakah rasio manusia bisa mendeksripsikan kebenaran dan sifat-sifat Tuhan.
e)      Analisis atas ilmu pengetahuan. Apakah dasar-dasar atau asumsi-sumsi yang menjadi landasan ilmu pengetahuan? Apakah kemajuan ilmu pengetahuan berkembang secara evolusioner atau revolusioner? Apakah ilmu pengetahuan kebaikan pada manusia dan peradaban atau justru mambawa kehancuran pada peradaban?
f)       Analisis atas negara. Bentuk negara apa yang terbaik bagi kehidupan manusia – demokrasi, otoritarianisme, militerisme, teknokrasi? Apa dasar pilihan kita atas bentuk, bentuk negara tersebut? Apakah demokrasi merupakanbentuk pemerintahan yang terbaik? Mengapa dalam negara demokrasi perlua ada kontrol rakyat terhadap penyelenggaraan negara (pemerintah)?
g)      Analisis atas manusia. Apakah setiap tingkah laku digerakkan oleh kehendak pribadinnya atau ditentukan oleh ketentuan-ketentuan yang tidak bisa dikontrol oleh manusia (misalnya oleh ketidaksadaran dan gerak kinestetik dari sistem saraf pusat kita)? Mengapa manusia perlu memiliki moral tertentu sehingga tingkah lakunnya tidak seperti hewan, yang hanya mengandalkan gerak naluriah dan impulsif?
h)      Analisis atas masyarakat dan kebudayaan . masyarakat dan kebudayaan seperti apakah terbaik sebagai tempat untuk tumbuh dan berkembangnya manusia-manusia masa depan yang otentik dan unggul? Nilai-nilai apa yang mendasri kebudayaan dan kehidupan masyarakat dan anggota-anggota masyarakat terjamin kebebasan dan keotentikannya?
i)        Di samping aspek-aspek kehidupan yang telah dijelaskan di atas, filsafat pun melakukan analisis terhadap aspek-aspek kehidupan lainnya, misalnya politik, hukum, ekonomi, dan lain-lain.
2.1.3  Filsafat sebagai Sintesis
Filsafat sebagai sintesi berarti bahwa filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mensintesiskan pengalaman dan pengetahuan kedalam suaru visi atau pandangan mengenai realitas. Oleh sebab itu, seorang filsuf seperti Ernst Cassires (1874-1945)  misaklnya merasa perlu untuk mengumpulkan banyak inpotmasi tentang ilmu budaya, agama, psikobiologi, psikologi, psikologi komperatif (lihat Bab 3 dalam buku ini), untuk bisa sampai pada suatu sintesi bahwa hakikat manusia  adlah hewan pengguna simbol (animal symbolicum). Demikian juga halnya dengan filsafat Bergson (1858-1941) tentang elan vital, yang merupakan hasil dari upaya mensintesiskan barbagai imformasi dari fisika, bioligi dan bahkan dari agama-agama besar. Hal yang sama bisa ditemukan dalam filsafat Scopenhauer (1788-1860) dengan kehendak butannya dan filssafat Descartes dengan dualisme materi dan jiwanya  (lihatnya Abidin, 2009).
Salah satu cabang filsafat yang dinamakan metafisika merupakan bagian dari filsafat sintesis ini. Dalam metafisika kita bisa menemukan pandangan-pandangan yang bersifat materialistik atau idealistik tentang kenyataan. Menurut para materialis (para filsuf penganut paham materialisme), kenyataan pada dasarnya materi. Ide atau “roh” jika memang ada, pada dasarnya merupakan produk dari materi. Sebaliknya menurut para idealis (para filsuf penganut paham idealisme), semua kejadian pada dasarnya bersifat mental atau spiritual, apa yang tampak material pada dasarnya modifikasi atau perwujudan dari roh (jiwa), apakah itu bersifat individual (“aku”), kolektif (masyarakat), atau yang tunggal (Tuhan).
2.1.4  Filsafat sebagai pencarian Makna Hidup
Filsafat pun dapat menawarkan pemikiran tentang makna kehidupan. Filsafat juga ini disebut sebagai filsafat hidup, karena mencoba mencari jawaban mengnai pentanyaan-pertanyaan tentang makna hidup. Pernyataan-pernyataan yang coba dicari jawabannya antara lain: apa sebetulnya makna kehidupan ini? Apakah sesungguhnya tujuan hidup manusia itu? Apakah tujuan hidup manusia pada dasarnya untuk menemukan kesenangan,melayani ummat manusia lainnya, aktualisasi-diri, mendapatkan status, merebut kekuasaan, atau memperoleh penghargaan dan prestise? Apakah kehidupan itu sudah bermakna dan kita tinggal menjalaninya,atau sebetulnya belum bermakna sehingga kita sendiri yang harus membuatnya bermakna? Apakah kebahagian kita atau justru membuat hidup kita lebih optimaldan bahagia?
Sebagian dari filsafat Socrates, plato, Aristoteles, dan, pemikiran filsafat sejumlah fulsuf medern seperti Schopenhauer dan para eksistensialis dapat dikategorikan sebagai filsafat hidup. Filsafat mereka merefleksikan kerja keras untuk menyelami makna kehidupan dan memikirkannya secara filsafat. Meski mereka pun memikirnya gejala alam fisik dan biologis, tetapi pemikiran mereka tentang biologis, tetapi pemekiran mereka tentang gejala tersebut pada akhirnya ditujukan untuk memahami maknna hidup manusia, termasuk makna hiduo mereka sendiri.
Akan tetapi,pembedaan tiga jenis filsafat tersebut pada kenyataannya tidak setajam yang dikemukakan oleh Koestemabaum dan tidak dapat digeneralisasika pada semua pemikiran filsafat. Ambil contoh filsafat Ernst Cassires (1874-1945). Dia mengatakan bahwa manusia pada dasarnya merupakan animal symbolicum, hewan atau binatang pengguna simbol-simbol. Filsafat Cassires tentang animal symbolicum pada dasarnya merupakan hasil sintesis dari pengalaman orang lain (misalnya, pengalaman Hellen Keller, seperti yang diceritakan kembali oleh Sullivan) dan dari berbagai temuan ilmiah dari psikobiologi, psikologi komperatif, ilmu-ilmu budaya, agama, dan bahasa. Akan tetapi, dalam porsi tertentu, ia pun melakukan analisis terhadap pengalaman diri dan menyajikan gambaran teistik (ketuhana) serta pemahaman dirinnya (makna hidup manusia).
Meskipun demikian, pembangan yang dibuat oleh Koestenbaum tersebut sebagian tergambarkan pada sejumlah alirah filsafat abad ke-20 dan konteperor. Misalnya, positivisme logis. Aliran filsafat ini hanya tertarik pada analisis bahasa (jadi, filsafat sebagai analisis atas teori-teori ilmu pengetahuan), dan tidak begitu tertarik untuk membuat sintesis dan pencarian makna hidup atau metafisika. Demikian pula dengan filsafat post-modernisme yang tertarik pada kritik sosial dan kebudayaan, dan mengecam adanya filsafat dengan sintesis-sintesis besar (filsafat universalistik).
2.1.5  Filsafat sebagai Tinjauan kritis terhadap berbagai Masalah kemanusiaan
Di samping ketiga jenis filsafat seperti dikemukakan oleh Koestambaum di atas, terhadap jenis filsafat lain yang disebut filsafat sebagai kajian kritis terhadap berbagai masalah kamanusiaan, melalui filsafat, para filsuf coba mengkritik dan mengungkap ke permukaan apa yang ada  dibalik gejala kehidupan yang oleh orang awam dinilai sudah lazim atau tidak ada lagi masalah. Ciri kritis filsafat ini terutama tampak dari pemikiran-pemikiran filsafat dari Karl Marx (1818-1883) dan para filsuf yang berasal dari gerakan filsafat kritis, seperti Max Hokheimer (1895-1973), Theodor Adorno (1903-1929-...). menurut mereka, di balik kehidupan masyarakat dan pemerintah yang kita jalani, terhadap ideologi-ideologi tertrentu yang langsung maupun tidak langsung memengaruhi dan bahkan menominasi tingkah laku dan pengalaman kita. Ideoloagi-ideologi tersebutdibuat oleh para penguasa (politik dan ekonomi) dan hanya menguntungkan mereka, tetapi menyengsarakan masyarakat banyak. Jadi, ada ketidak adilan dalam kehidupan sosial manusia. Para filsuf yang beraliran teori kritis coba mengungkap gejala ini dan mengkritis kehidupan yang sebetulnya eksploitatif dan tidak adai itu. Lebih jauh bahkan filsafat mereka menjadi praktis, karena ingin ingin mengubah kondisi yang tidak adil itu menjadi kondisi adil.
2.1.6  Metode dan Kebenaran Filsafat
Tidak seperti ilmu pengetahuan, filsafat menggunakan metode-metode empiris seperti survei atau eksperimen. Filsafat bukan ilmu empires, yang meneliti hubungan sebab-akibat atau korelasi antara satu atau lebih variabe dengan variabel (-variabel) lainnya. Filsafat pun tidak membatasi gejala berdasarkan pada populasi dan sampel. Filsafat tidak menggunakan instrumen pengambilan data seperti interviu, kuesioner, atau alat-alat yang bisa digunakan di laboratorium (teleskop, mikroskop,unsur-unsur kimia, dan lain sebagainnya). Karena persoalan filsafat sangat luas, tidak dibatasi oleh popu;asi dan sampel, maka satu-satu alat atau metode yang digunakan oleg filsafat adalah kemampuan dan ketajaman berpikir, disertai oleh kemampuan berpikir logis dan rasional.
Ada banyak metode filsafat. Tetapi yang terkenal antara lain adalah: dialektika (plaoto, Heger, Marx dan kaum Marxis), skeptisisme (Descartes), kritik transendental (Kant), fenomenologi (Husserl dan eksistensialis), intuisi,(bergson) dan seterusnya. Meski ada banyak metode filsafat, tetapi secara umum metode-metode tersebut mempunyai satu ciri yang sangat esensial, yakni logis (keheren). Pada umumnya para filsuf memiliki sistem filsafat yang sangat ketat, yang dibangun oleh kemempuan yang sangat logis dan sistematis. Kerena cara berpikir logos dan sistematis menjadi ciri utama dari metode filsafat maka jenis kebenaran filsafat terutama adalah kebenaran koherensi.
Sesungguhnya, secara tradisional, terdapat tiga jenis kebenaran yang dapat menjadi tolak ukur untuk mengetahui kebenaran pengatahuan manusia, yakni koherensi, korespondensi, dan pragmatis. Koherensi adalah kebenaran sesuatu pengetahuan, dimana pernyataan-pernyataan yang menyususn pengetahuan tersebut tidak saling bertentangan, melainkan saling bertautan secara logis (koheren). Contoh: jika seorang filsuf meyakini bahwa hakikat kenyataan pada dasarnya adalah materi, maka manusia sebagian dari kenyataan adalah uuga meteri. Tidak mungkin ada kenyataan spiritual dalam kehiduapan; tidak mungkin ada jiwa yang bersifat ilahiah dalam diri manusia. Konsekuensi dari keyakina ini adalah bahwa tidak mungkin akan ada tuhan, surga, atau neraka, setelah kita meninggal dunia. Sebagai materi maka kita mengalami proses kehidupan yang alamiah, yakni mengalami aus atau penyusustan. Artinnya, sebagian materi kita akan musnah oleh waktu, sehingga tidak bisa hidup lagi setelah kia musnah (meninggal).
Selain ditepapkan dalam pemikiran-pemikira filsafat, contoh kebenaran koherensi tampak dari pernyataan-pernyataan atau aksioma-aksioma matematika. Tidak perlu ada pembuktian empires atau pengalaman inderawiuntuk membuktikan kebenaran pernyataan-pernyataan matematik. Tidsk perlu menunjuk pada benda-benda tertentu untuk membuktikan bahwa 3+2=5,atau 100 x 100=10.000.
Koresponsensi adalah jenis kebenaran suatu pengetahuan, di mana pernyataan-pernyataan yang menopang pengetahuan tersebut memiliki acuan pada kenyataan. Misalnya, jika kita mengatakan bahwa bunga itu merah, maka kebenaran dari pernyataan itu adalah warna merah yang kita persepsi. Jaika kita membaca sebuah teori, maka kebenaran dari teori yang kita baca adalah kalau ada kesesuaian (korespondensi) dengan fakta yang dijelaskan oleh teori itu. Jika ada survei yang menyebutkn bahwa 2 dari 3 laki-laki beristri di jakarta memiliki WIL (wanita idaman lain), maka kebenaran dari survei itu harus sesuai dengan jumlah yang sebenarnya. Berbeda dari kebenaran koherensi yang tidak begitu mempermasalahkan acuan luarnya (realitas yang teratami oleh pancaindra), korespondensi justru sangat memberikan tekana pada acuan luar (kenyataan).
Pragmatis adalah jenis kebenaran suatu pengetahuan dengan cara mengukur keguanaan dari pengetahuan itu. Suatu pengetahuan atau pernyataan memiliki nilai kebenaran jika bisa dimanfaatkan atau digunakan. Jika kita mengetahuai bahwa matahari merupakan sumber energi, maka berarti pengetahuan itu bisa dimanfaatkan, misalnya dengan menjadikan cahaya matahari sebagai energi listrik atau energi yang menggerakkan kendaraan bermotor.
Nah, dari tiga jenis kebenaran tersebut, filsafat lebih menekan-kanka pada kebenaran koherensi. Alasannya terutama karenahakikat kenyataan yang dikaji filsafat tidak sepenuhnya teramati (observable),sehingga kebenaran pengetahuan filsafat i tidak sepenuhnya dapat dibuktikan secara empires. Tidak semua pengetahuan manusia memiliki acuan empires. Pengetahuan manusia, khususnya filsafat, sering malampaui fakta-fakta empires, sehingga teori korespondensi tentang kebenaranrurang relevan dijadikan sebagai tolak ukur bagi kebenaran filsafat.
2.1.7  Bidang-bidang dan Bagian-bagian Filsafat
Jika kita mengamati karya-karya besar para filsuf, terutama karya-karya filsuf Yunani seperti Aristoteles (384-322 SM) dan filsuf jerman terkemuka seperti Imauel Kant (1724-1804), maka kita bisa membedakan adanya tiga tema besar dalam kajian filsafat, yakni: kenyataan, Nilai, dan pengetahaun. Ketiga tema tersebut masing-masing dikaji oleh tiga cabang besar filsafat. Kenyataan merupakan bidang kajian metafisika, nilai adalah bidang kajian eksiologi, dan pengetahuan merupakan bidang kajian epistemologi. Masing masing bagian filsafat tersebut memiliki sub-sub bagaimana sendiri seperti berikut ini.
Tabel 2 Cabang-cabang Filsafat
TEMA
CABANG FILSAFAT
SUB CABANG FILSAFAT
DEFINISI







Kenyataan







Metafisika
Ontologi
Studi filsafat yang mengkaji persoalan persoalan tentang ada (dan Tiada)
konsmologi
Studi filsafat yang mengkaji persoalan-persoalan tentang alam semesra, asal-usul dan unsur-unsur yang membentuk alam semesta
Filsafat manusia
Kajian filsafat mengenai persoalan-persoalan tentang hakikat manusia, hubungan jiwa dan tubuh, kebebasan dan keterbatasan manusia
Filsafat agama
Cabang filsafta yang mencari jawab tentang persoalan-persoalan agama, munculnya agama, dan kebutuhan manusia terhadap agama



pengetahuan



Esiptemoli
Teori pengetahuan
Studi filsafat tentang sumber-sumber dan validitas pengetahuan
Logika
Studi tentang penyususna argumen-argumen dan penarik kesimpulan-kesimpulanyang valid


Filsafat bahasa
Filsafat ilmu pengetahuan
Kajian filsafat tentang hakikat, asal-usul, kegunaan, dan makna bahasa
Studi tentang landasan-landasan filsafat ilmu pengetahuan, sumber-sumber ilmu pengetahuan, proses-proses pembentukan teori ilmiah, kriteria kebenaran ilmiah






Nilai


Aksiologi
Etika atau filsafat moral
Kajian filsafat mengenai bagaimana seharusnya manusia bersikap dan bertingkah laku,apa makna etika atau moralitas dalam kehidupan manusia
Estetika
Bagian dari filsafat yang mengkaji mengenai keindahan, kesenian, yang diakibatkan oleh keindahan
Filsafat sosial dan politik
Studi filsafat mengenai (dasar-dasar) negara, perhubungan individu dengan negara, persoalan keadilan, hak dan kewajiban negara serta warga negar.
Filsafat hukum
Cabang filsafat yang mengkaji persoalan-persoalan hukum dan teori-teori keadilan.

Terdapat dua catatan penting mengenai isi tabel diatas. Pertama, sub-sub cabang filsafat diatas hanyalah sebagian saja banyak sub cabang filsafat lainnya. Disamping yang telah disebutkan pada tabel tadi, terdapat sub-sub cabang filsafat lainya seperti filsafat pendidikan, filsafat sejarah, filsafat ketuhanan, filsafat kebudayaan, dan lain-lain. Hal itu menunjukkan luasnya objek kajian filsafat, yakni mencakup banyak hal yang ada dalam kehidupan manusia.
Kedua, pembagian sub-sub cabang filsafat tadi pada kenyataanya tidak seketat atau sekaku yang mungkin kita bayangkan setelah melihata tebel tadi. Seorang filsuf yang mengklaim bahwa pemikiran filsafatnya berupa kajian ontologis mengenai “Ada” misalnya, sering kali pula membahas masalah-masalah eksistensi manusia, kebudayaan, kondisi masyarakat,bahkan etika. Ini misalnya tampak filsafat Heidegger. Dalam bukunnya yang terkenal, Being and Time (1979), dia menulis bahwa filsafatnya dimaksudkan untuk mencari dan memahami “Ada”. Akan tetapi, dia mengaku bahwa “Ada” hanya dapat ditemukan pada eksistensi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, maka dalam bukunnya itu dia membahas mengenai keontetika, kecemasan, dan oengalaman-pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari (lihat abidin, 2009).
2.1.8  Ciri-ciri Persoalan Filsafat
Filsafat adalah sekumpulan pengetahuan manusia yang diperoleh melalui proses berfikir yang sangat logis dan sistematis. Toko-tokoh yang menghasilkan pengetahuan filsafat tersebut disebut filsuf-filsuf. Namun, filsafat pun pada dasarnya adalah suatu pendekatan (approach) dalam memandang, mendekskripsikan, objek-objek kajiannya (kenyataan, nilai, dan pengetahuan). Disebut pendekatan lain seperti ilmu pengetahuan, agama, media massa, dan poengetahuan sehari-hari. Yang membedakan filsafat dengan jenis-jenis pengetahuan lainnya tadi, antara lain adalah sebagai berikut:
a)        Ruang lingkup persoalannya luas. Filsafat bukan ilme pengethuan empires, sepetri halnya psikologi, microbiologi, atau fisika plasma. Pernyataan-pernyataan filsafat  melampaui batas-batas pernyataan ilmu-ilmu empires. Oleh sebab itu, untuk mencari jawaban atas pernyataan –pernyataan filsafat, katakanlah mengenai hakikat manusia, ia memerlukan, bukan hanya data yang bisa diamati secara langsung ( secara empires), tetapi juga sejauh yang bisa dipikirkan oleh manusia.
b)        Tingkat abstraksi persoalnnya tinggi. Filsafat tidak berkenaan dengan hal-hal individu seperti pohon  ini atau bayi itu, atau dengan hal-hal kolektifseperti manusia Sunda dan manusia Jawa, melainkan dengan hakikat alam, realitas, atau manusia pada umumnya,atau hakikat kebudayaan pada umumnya. Artinya, persoalan filsafta mengatasi ruang dan waktu. (itulah sebabnya persoalan dan jawabanfilsafat tidak pernah bisa kadaluarsa, out of date, melainkan selalu aktual).
c)        Persoalannya mendasar (fundemental). Filsaft melibatkan prinsip-prisip yang di atasnya terdapat konsepsi kita mengeni manusia, diri sendiri, dan juga mengenai nilai, yakni apa yang penting bagi kehidupan kita (koestembaun, 1967). Prinsip-prinsip tersebut biasannya menjadi pedoman bagi kita, terutama ketika sedang mengalami krisis dalam menjalanka hidup, misalnya ketika menderita, putus asa, diorientasi nilai. Dalam krisis, kita ingin kembali pada jawaban atas persoalan-persoalan itu.
d)       Peroalan tidak dapat dipecahkan oleh metode ilmiah, yakni melalui observasi atau eksperimen. Misalnya, persoalan moral dari kloning tidak bisa dipecahkan melalui hasil jarak pendapat atau survei, karena dampak moral yang diakibatkan oleh kloning bukanlah masalah kuantitas orang yang menyatakan setuju atau tidak setuju. Persoalan moral harus ditinjau melalui tinjauan filosofis (dan agama juga secara agama), karena menyangkur keberadaan dan harkat manusia, serta peran tuhan dalam penciptaan manusia.
e)        Pendekatan bukan hanya memberi tekanan pada fakta sebagaimana adannya  (das Sein), tetapi juga pada bagaimana seharusnya (das Soller). Dengan perkataan lain,  yang menjadi persoalan filsafat bukan hanya menjelaskan fakta, tetapi juga membagi tanggapan atas nilai dari fakta  itu. Ambil sebuah contoh tentang masalah kloning. Filsafat tidak hanya ingin mengetahuai bagaimana proses kloning itu terjadi, tetapi juga apanimplikasi etis dan moralnya bagi manusia di masa-masa yang akan datang. Demikian juga halnya dengan kondisi sosial. Filsafat tidak mendeskripsikan dan menjelaskan peran-peran dan kuasa-kuasa sosial dalam masyarakat (seperti halnya sosiologi misalnya), melainkan mengkaji iplikasi etis dari peran-peran pemegang peran dan kuasa, sehingga mengakibatkan munculnya masalah etika dan moral (antara lain pelanggaran hak asasi manusia).
2.2  Hubungan Filsafat dengan ilmu pengetahuan
Filsafat seng disebut sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan. Sejarah ilmu pengetahuan memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan berasal dari berkembangnnya dari filsafat. Sebelum ilmu penetahuan lahir, filsafat telah memberikan landasan yang kuat. Para filsuf Yunani klasik seperti Demokritos sampai tiga serangkai guru dan murid yang sangat terkenal yakni Socrates, Plato, dan Aristoteles telah berbicara tentang atom, naluri,emosi,bilangan dan ilmu hitung (Matematika), demokrasi, sistem pemerintahan dan kemasyarakatan, yang kemudian dikembangkan oleh fisika, biologi, kedokteran, matematika, ilmu, budaya, psikologi, sosiologi, dan ilmu poitik.
Lalu, setelah ilmu-ilmu pengetahuan melepaskan diri dari filsafat dan dengan tegas menyatakan kemandiriannya, bagaimana bentuk hubungan filsafat dengan ilmu pengetahuan? Bagaimana dengan kedudukan dan kegunaan filsafat selanjutnya? Kedudukan filsafat dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan dapat digambarkan sebagai berikut.
a)       Tujuan filsafat untuk memahami hakikat dari sesuatu objek yang menjadi kajiannya tetap dipertahankan, tetapi informasi atau pengetahuan yang menunjangnya harus bisa dipertanggung jawabkan bukan hanya secara rasional (logis), tetapi juga secara faktual (dialami langsung dalam kehidupan kita). Oleh sebab itu, filsafat (harus) mengadakan kontak dengan ilmu pengetahuan, mengambil banyak informasi atau teori-teori terbaru darinya, dan mengembangkan secara filsafati. Inilah yang telah dilakukan misalnya oleh Bergson, Cassires, Husserl, Faocault, dan para filsaft mederen serta konten porer lainnya. Pemikiran filsafat yang dikembangkan oleh sangat kaya dan ilustrasi-ilustrasi yang berasal dari temuan-temuan ilmiah yang berkembang pada zamannya.
b)      Tujuan filsafat untuk mempersoalkan nilai dari suatu objek (aksiologi) tetap dipertahankan. Hal ini pun dilakukan fisafat terhadap ilmu pengetahuan. Akibatnya adalah bahwa temuan-temuan ilmiah yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan (dan juga ketuhana), idebri kritik atau koreksi. Ingat misalnya, masalah kloning dan euthanasia. Filsafat memberikan evaluasi dan krirtik terhadap dampak moral dan kemanuaan kedua masalah tersebut bagi hidup mereka.
c)       Filsafat pun memberikan kajian dan kritik terhadap persoalan-persoalan metodoligi ilmu pengetahuan. Ini misalnya, dilakukan dalam filsafat ilmu pengetahuan, kritik filsafat atas cara kerja dan metodologi ilmu pengetahuan pada prinsipnya menguntungkan ilmu pengetahuan, karena dapat menjernihkan dan menyempurnakan ilmu pengetahuan. Kajian positivisme Auguste Comte (1798-1857), neopositivisme (positivisme logis), falsifikasoinalisme Karl Popper(1902-1994), dan bahkan fenologi Edmuad Husserl (1859-1938) tentang ilmu pengetahuan bukan hanya memperkoat metodologi ilmu-ilmu penegtahuan sosial dan kemanusiaan (humoniora). Kritik-kritik mereka terhadap ilmu-ilmu sosial dan humoniora melahirkan paradigma-paradigma baru dalam ilmu sosial yakni yang bersifat humanistik dan kritis, di samping positivistik.
2.2.1  Beda antara filsafat dengan ilmu Pengetahuan
Filsafat bukan ilmu pengetahuan, ia berbeda dengan ilmu pengetahuan dalam beberapa hal berikut ini: pernyataan inti, ruang lingkup masalah yang didekati, metode, fokus kajian, dan tentu saja hasil (teori).lihat tabelberikut ini.
Tabel 3. Perbedaan antara filsafat dengan ilmu pengtahuan

FILSAFAT
ILMU PENGETAHUAN
PERNYATAAIN INTI
- Apa? (hakikat)
- Mengapa? (sebab-akibat yang bersifat ultimate) dari mana (asal-usul) dan kemana (apa yang terjadi berikutnya)?
-      mengapa? (sebab-akibat)
-      bagaimana? (dinamika)
-      berapa banyak? (kuantifikasi, presentase, frekuensi)
RUANG LINGKUP MASALAH
- luas, mencakup semua hal yang memungkinkan untuk dipikirkan
-      terbatas pada gejal atau aspek-aspek tertentu, swjauh ynag dapat diukur secara impires.
METODE
- logis-rasional
-      ilmiah, mencakup rasional, empires,dan terukur
FOKUS KAJIAN
- fakta (das Sein) dan nila (dos Sollen)
-      fakta (das Sein), terutama dalam pure science
HASIL TEORI
- insentif (dalam),
- ekstensif (luas),
- kritis (karena berkaitan dengan nilai)
-      khususnya dapat IPS: terbatas pada populasi dan “kelas” objek yang diteliti

dari tabel diatas tampak jelas bahwa apa perbedaan antar filsafat dengan ilmu pengetahuan dalam hal pertanyaan-pertanyaan pokok yang diajukan oleh kedua disiplin ini. Filsafat mengajukan pertanyaan yang intinnya dimaksudkan untuk mengetahui “apa” (esensi atau sifat dasar) dari suatu masalah, kejadian, atau objek, sedangkan ilmu pengetahuan menjawab pertanyaan “bagaimana” (dinamika atau proses) dari suatu masalah atau objek itu berjalan. Ilmu pengetahuan mengajukan  pernyataan mengenai kuantitas, baik dari jumlah objek (frekuensi) maupun signifikasi pengaruh atau hubungan (taraf signifikansi). Meski sama-sama mengajukan pertanyaan mengenai “mengapa”, kedua disiplin itu berbeda sama sekali kedalamannya. Jawaban yang dituntut dalam ilmu pengetahuan untuk pertanyaan “mengapa” terbatas pada sejumlah variabel yang terukur, sehingga dapat dijawab melalui metode-metode empires seperti eksperimen. Sedangkan, pernyataanfilsafat berkaitan dengan sebab-musabah yang terdalam (ultimate causation),  sehingga jawabannya tidak dapat ditemukan melalui penggunaan metode-metode empires. Misalnya, mengapa ada kehidupan jika pun akhirnya akan mendatangkan penderitaan? Mengapa yanga ada itu ada? Mengapa saya hidup di dunia ini saat ini, bukan kehidupan diabad-abad yang akan datang? Mengapa manusia memerlukan moralitas?
Ruang lingkup masalah kedua disiplin ilmu itu pun berbeda. Filsafat tidak membatsi dari objek-objek atau masalah-masalahyang dapat dialami atau dibuktikan secara empires, tetapi pada pada objek-objek atau masalah-masalah sejauh dapat dipikirkan secara rasional. Maka, ruang lingkup masalah filsafat bisa sangat luas, misalnya mengenai keberadaan tuhan, jiwa, moralitas dan lain-lain. Ini berbeda dengan ilmu pengetahuan. Objek atau masalah ilmu pengetahuan adalah gejala-gejala yang dapat diobservasi dan dialami secara empires, bahkan terukur secara kuantitatif.
Fokus kajian filsafat bukan hanya pada pakta sebagaimana adanya tapi juga nilai, yaitu sesuatu yang harusnya ada atau melekat pada pakta tersebut. Oleh sebab itu, banyak filsuf yang meras tidak puas hanya dengan menggambarkan suatu objek keadaan, atau masalah apa adanya, melainkan secara kritis menjelaskan bagaimana seharusnya atau idealnya objek, keadaan atau masalah tersebut. Atas dasar itu dapat dipahami kenapa sebagian filsuf bukan hanya memiliki keberfihakan pada nilai kebenaran, tetapi jugapada nilai kemanusiaan (humanisme) ; pada kelompok masyarakat tertindas (Marxisme dan teori kritis); dan lain-lain. Bagaimana dengan ilmu pengetahuan? Ilmu pengetahuan kurang mempermasalahkan nilai, karena fokusnya pada deskripsi dan penjelasan serta prediksi fakta atau gejala.
Karena berbeda dengan pertanyaan, ruang lingkup dan fokus kajian-kajiannya, maka metode kedua disiplin itu pun masing-masing memiliki perbedaan. Dalam filsafat tidak ada penelitian eksperimentalatau studi korelasional, misalnya. Filsafat tidak mengukur dan tidak membuktikan hubungan antarvariabel. Meski ada beragam metode dalam filsafat, tetapi ciri utamanya adalah rasional dan kritis. Sebaliknya, ilmu penngetahuan menggunakan metode ilmiah, yang bukan hanya rasional, tetapi juga empires, mengukur pakta-pakta dan saling hubungan antara fakta atau variabel yang satu dengan fakta atau variabel yang lain.
Hasil atau produk filsafat dan ilmu pengetahuan berbeda, karena metode dan area masalahnya pun berbeda. Hasil pemikiran filsafat berupa pemikiran-pemikiran filsafat yang isinnya atau ruang lingkupnya relatif luas, kritis, intensif atau dalam. Sebaliknya, hasil ilmu penegetahuan yang isinya relatif lebih detil dibandingkan pemikiran filsafat, tetapi relatif terbatas pada fakta-fakta empires, atau gejala-gejal yang dianggap termasuk ke dalam populasi objek yang diteliti olehilmu pengetahuan.
2.3    Esiptemologi
Pengertian Esiptemologi Asal kata istilah esiptemologi adalah dari bahasa yunani efistem  (pengetahuan) dan logos (teori). Dengan demikian, esiptemologi adalah suatu kajian atau teori filsafat mengenai (esensi) pengetahuan.
Menurut Koestembaum (1968), secara umum esiptemologi berusaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan “apakah pengetahuan?” akan tetapi, secara spesifik, esiptemologi berusaha menguji masalah-masalah yang kompleks seperti: hubungan antara pengatahuan dengan kepercayaan pribadi, status pengetahuan yang melampaui pancaindra, status ontologis dari teori-teori ilmiah, hubungan antar konsep-konsep atau kata-kata yang bersifat umum dengan objek-objek yang ditinjau oleh konsep-konsep atau kata- kata tersebut, dan analisis atas tindakan mengetahui itu sendiri.
2.3.1        Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Kepercayaan Pribadi
Pada umumnya orang awam percaya begitu saja bahwa pengetahuan atau persepsi kita mengenai suatu objek adalah gambaran yang sebenarnya dari objek itu. Mislanya, gambaran tentang sebuah pohon (yang ada dala pikiran kita) sama dengan pohon sebenarnya yang dilihat oleh kita. Orang awam tidak akan mempermasalahkan validitas dari hubungan antara pengetahuan yang mereka miliki dalam fakta sebenarnya dalam kenyataan.
Akan tetapi, para filsuf mempertanyakan faliditas dari kepercayaan itu. Mereka akan bertanya, apakah kepercayaan itu bisa di pertanggungjawabkan? Kenyataan menunjukkan bahwa pengetahuan yang kita miliki sering berbeda dengan kenyatan yang sebenarnya. Misalnya, kita seolah-olah melihat garis dasar yang bengkok di dasar kolam renang, tetapi pada kenyataan garis tersebut adalah lurus. Contoh lain saya ambil dari eksperimenyang dilakukan oleh fisikolog sosial bernama Soloman Asch mengenai ilusi optik: kiat memiliki cahayya keci yang bergerak-bergerak di dinding dalam ruang yang gelap, tetapi ternyata itu hanya ilusi optik, karena pada kenyataanya cahay itu diam tidak bergerak. Bahkan, didalam fisika moderen pun dunia yang sebenarnya-dunia elektron, mesons, photons, dan neutrineus, dunia ruang non- Euclidean, dunia radiasi elektronis yang tidak kelihatan-sangat berbeda dari dunia yang dipesepsi yakni, dunia yang diamati melalui pancaindra. Kita melihat objek-objek yang padat, padahal sebetulnya hanya ruang kosong yang hanya sedikit titik labuh yang dinamakan elektron-elektron dalam lingkungan yang mempunyai kemampuan untuk menyerap gelombang radiasi elektronmagnetik dan merefleksikan gelombang-gelombang lainnya. Demikian juga fisiologi neurologis membuktikan bahwa persepsi merupakan gejal yang terjadi pada otak, dan bahwa perubahan-perubahan kimiawi dan listrik dalam konteksmerefleksikan perubahan-perubahan dalam dunia nyata melalui entitas-entitas yang sangat teorotis yang dinamakan gelombang elektromagnetik.
2.3.2        Status pengetahuan yang malampaui pancaindra
Banyak orang percaya bahwa pengetahuan kita berasal dari pancaindra. Pengetahuan tentang sebuah gejala adalah ermin dari gejala itu. Pengetahuan kita tentang kuda adalah representasi dari seekor, beberapa, atau banyak kuda yang pernah kita amati. Jika memang demikian, jika pengetahuan diperoleh melalau pancaindra, lalu bagaimana dengan pengetahuan yang mengatasi (melampaui) pancaindra, misalnya metafisika dan juga agama? Bagaimana generalisasi ilmiah seperti “semua sel berkembang melalui mitosis” (padahal para psikolog hanya meneliti sejumlah gejala agresi, bukan semua agresi)? Pernyatan-pernyatan tersebut menuntuk jawaban-jawabanepistemologis. Salah satu jawaban yang mungkin dikemukakan oleh fara filsuf adalah peran penting rasio dalam membentuk pengetahuan yang melampaui pancaindra tersebut, sebagaiman yang dikemukakan oleh para rasionalis.
2.3.3        Status Ontologis Teori-teori Ilmia
Apa status ontologis dari teori-teori yang sangat umum seperti teori tentang alam, perambatan cahaya, dan lain-lain yang berhubungan dengan teori-teori tersebut? Gelombang cahay tidak bis dilihat seperti kita melihat uang, orang, atau barang. Namun, dapat dikatakan bahwa ia (cahaya itu) ada, mempunyai realitas dan entitasnya sendiri. Ia ada, meski tidak bisa divisualisasikan secara akurat. Suatu gelombang dalam arti kurva sinus konseptual atau gelombang dilautan dapat divisualisasikan, tetapi gelombang fisik sebenarnya yang tanpa medium, kecepatannya yang luar biasa dan kekuatan yang tak terbayangkan, adalah diluar kemampuan imajinasi dan visualisasi kita. Konsep yang demikian tidak bisa dipikirna sebagai realitas fisik semata-mata tanpa  interpretasi kita. Esiptemologi harus sapat memberi fondasi dan justifikasi atas keberadaan realitas seperti itu. Hubungan antara konsep-konsep atau kat-kata yang bersifat umum untuk objek-objek yang ditinjau oelh konsep-konsep atau kat kat tersebut.
Dalam ilmu pengetahuan, filsafat, dan kehidupan sehari-hari kita memiliki konsep-konsep yang sangat umum sepetri lingakaran, segitiga, keadilan, kebaikan, kebahagiaan, penderitan, dan lain-lain. Bagaimana hubungan antara konsep-konsep tersebut? Apakah konsep-konsep tersebut betu-betul dapat merefresentasikan objek-objek yang sebenarnya? Apakah semakin umum sebuah konsep, mak semakin menjauh dan kurang merefresentasikan objek-objenya? Esiptemologi coba mencari jawab atas pernyataan-pernyaan tersebut.
2.3.4        Anaisis Atas Tindakan Mengetahui Itu Sendiri
Apa yang terjadi dalam kognisi, pikiran, atau rasio kita pada saat kita mengetahui sesuatu? Apakah mengetahui sesuatu objek itu dikarenakan oleh proses-proses fisologis yang terjadi dalm sistem saraf pusat, yakni reaksi dan saling menghubungi antar neutron-neutron tertentu akibat adanya stimulasi dari suatu objek? Atau seperti yang dikatakan oleh Imanuel Kant Edmund Husserl, yakni bahwa mengetahui dimungkinkan karena terjadinya proses pemberian makna yang kita berikan terhadap objek? Husserl (1859-1938) menyebutkan bahwa mengetahui pada dasarnya merupakan suatu proses tindakan kesadaran yang dimulai dari objektifikasi, identifikasi, korelasi, konstitusi (lihat misalnya dalam Abidin, 2009). Konsekuensi , tidak ada pengetahuan yang murni objektif, terlepas dari subjek yang mengkonstitusikannya (menciptakannya).
Dari deskripsi di atas menjadi jela bahwa epistemologi, dengan demikian, merupakan studi yang cukup penting di lingkungan akademik karena ia menguji dasar-dasar dan proses-proses terbentuknya semua pengetahuan manusia, termasuk pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan). Filsafat ilmu pengetahuan, yang merupakan bagian dari epistemologi, menjadi salah satu mat kuliah dasar di tingkat pasca sarjana (S-2 dan S-3) di hampir semua perguruan tinggi didunia, termasuk di indonesia.
2.4    Epistemologi dan Psikologi
Dari paparan di atas tampak jelas bahwa beberapa tema yang dikaji oleh efistemologi dewasa ini juga dikaji oleh psikologi. Akan tetapi, pendekatan kedua disiplin tersebut tentu saj berbeda, karena yang satu (psikologi) menggunakan pendekatan ilmiah, sedangan yang lainnnya (efistemologi) filosofi. Psikologi tertarik pada fakta-fakta, misalnya rata-rata waktu beraksi (reaction time) yang dibutuhkan antara melihat lampu merah dengan menginjak rem, kecepatan anak-anak usia 6 tahun dalam memcahkan soal-soal teretentu, efektivitas ganjaran (reward) terhadap kinerja, dan lain sebagainnya. Esiptemologi tertarik pada upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “apakah kebenaran” , “apa hubunga logis antara suatu gagasan dengan sumber-sumber inderawinnya?” psikologi menggeneralisasikan dan mendekskripsikan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan persepsi, belajar, dan seterusnya: sedangkan epistemoligi berkenaan dengan makna dan keniscayaan kognitif dari proses-proses  tersebut. Esiptemologi tidak memilki kemampuan kita untuk membedakan warna, melainkan bertanya apa warna yang tampak pada objek sungguh-sungguh terdapat pada objek itu sendiri atau diluar dirinya (misalnya, dalam diri orang yang memperspsikannya). Psikologi menyelidiki faktor-faktor kognitif yang memengaruhi dan berbentuk persepsi, sedangkan epistemplogi menguji hubungan logis antara stimulus yang dialami dengan keberadaan dan hakikat dunia di luarnnya. psikologi menyelidiki pengtingnya insentif dalam proses belajar, epistemologi mempelajari batas-batas dan jangkauan pengetahuan manusia. Jadi, kedua disiplin tersebut memang beda karena pendekatannya masing-masing berbeda
2.4.1        Ruang Lingkup Efistemologi
Menurut J.F.Ferrier (dalam Koestembaum, 1968) epistemologi pada dasarnya berkenaan dengan penguji filsafat terbatas batas-batas, sumber-sumber, strukter-struktur, metode-metode, dan validasi  (kebenaran)  pengetahuan. Berikut akan dideskripsikan ruang lingkup epistemologi sebagaimana dikemukakan oleh Ferrier tadi.
2.4.2        Batas-batas Pengetahuan
Para ahli filsafat seperti John Lock (1632-1704), Devid Hume (1711-1776), dan Imanuel Khan (1724-1804) sering mengajukan pertaanyaan seperti ini: apakah pengetahuan terutama pengetahuan yang benar, mungkin tercapai oleh manusia? Ada sejumlah jawaban yang diajukan dalam filsafat, di antaranya:  skeptisisme, realisme naif, skeptisisme Descartes, realisme kritis, kritisisme Imanuel Kant, dan positivisme logis.
Skeptisisme. Menurut paham ini, tidak mungkin kita mencapai pengetahuan, selain berupa pengenalan-pengenalan yang bersifat sementara. Gejala atau realitas selalu berubah dan perangkat perseptual (indera) manusia tidak sempurna, sehingga hasil persepsi (pengetahuan) manusia tidak pernah bisa dipercaya. Demikian, juga rasio atau pikiran manusia sangat terbatas, sehingga tidak akan pernah mungkin sampai pada pengetahuan yang sejati. Oleh, sebab itu, kita jangan meyakini kebenaran pengetahuan manusia, melaikan harus meragukannya.
Realisme Naif.  Pandangan ini biasannya dianut oleh orang awam (common sense). Menurut paham ini, pengatahuan sangat dimungkinkan sejauh bersesuaian dengan objek yang dipersepsi. Pengetahuan, konsep, atau gambaran tentang pohon, misalnya, harus bersesuaian dengan pohon yang diamati. Pengetahuan kita adalah gambaran yang sesungguhnya dari realitas diluar kita. Dunia adalah sebagaimana tampak pada indra kita atau sebagaimana ia memanifestasikan dari dalam kesadaran kita. Objek dalam kesadaran ini adalah gambaran sebenarnya dari objek di luar kita. Dengan demikian, pengetahuan yang melampaui atau diluar realitas yang nyata, adalah tidak mungkin. Pengetahuan hanya mungkin sejauh yang dapat diamati dan dibuktikan melalui indera kita.
Skeptisisme Descartes  (Skeptisisme Metodis). menurut Descartes, segala sesuatu (termasuk apa yang adal dalam pengetahuan kita dan bahkan pengetahuan itu sendiri) dapata diragukan kebenarannya. Jika saya melihat angsa, saya dapat meragukan keberadaan angsa itu (jangan-jangan  saya mengalami halusinasi atau bermimpi tentang angsa!) jika saya mencium aroma makanan, saya pun dapat meragukan kebaradaanya makana tersebut (jangan-jangan saya sedang lapar, sehingga aroma apa pun diasosiasikan dengan makanan!).  namun, dari yang dapat saya raggukan ternyata ada satu hal  yang tidak dapat diragukan dan tidak mungkin bisa diragukan. Apakah itu? Yaitu, adanya aku yang sedang meragukan , apa saja-realitas, pengetahuan nilai. Ia adalah  kepastian yang tidak bisa diragukan, maka semua pengetahuan mempersyaratkan adanya aku, subjektivitasku. Ia adalah starting point  dan sekaligus ending point untuk setipa pengetahuan.
Realisme kritis. Meski pengetahuan hanya mungkin sebatas pengalaman indera (sebaimana yang diyakini oleh realisme naif), tetapi pengetahuan yang mengatasi pengalaman pun dimungkinkan, sejauh justifikasi rasional terhadapnya. Paham ini mengatasi realisme naif, karena ia mengaku adanya peran pikiran manusia. Pikiran manusia menambahkan dan sekaligus mendistorsi data dari dunia lauar; namun ide-ide dan konsep-konsep yang kita miliki harus sesuai bersesuaian dengan ( correspondenca to) data. Jika, tidak, berarti ide-ide dan konsep-konsep tersebut keliru (salah).
Kritisisme Immanuel Kant. Menurut Kant, realitas pada dasarnya terbagi kedalam dua dunia, yakni dunia fenomenal (phenomenon, atau dunia sebagaimana menampakkan diri pada pengamat) dan dunia noumenal (noumenal, atau dunia yang sesungguhnya, yang berada didalam diri realitas itu sendiri). Meskipun dunia noumenal itu ada, tetapi keberadaanya di luar pengetahuan kita. Kita tidak dapa sungguh-sungguh menjangkaunny. Kant memberikan nama Ding-an-sich (ada-dalam-dirinya-sendiri). Pikiran manusia tidak dapat menembus noumenal ini. Pengetahuan manusia hanya terbatas pada dunia fenomenal, dunia pengalaman. Kita tidak mengetahui apa pun diluat dunia pengetahuan. Di dalam dunia penomenal, pengetahuan kita merupakan campuran dari apa yang diterima (dialami) oleh kita dari luar dengan proyeksi-proyeksi dan harapa-harapan kita sendiri: ruang dan waktu adalah “kondisi sunjektif dari sunsebilitas kita” atau “bentuk dari intuisi” yakni, mereka adalah proyeksi dari pemikiran kita sendiri dan penambahan dari kualitas murni atau bahkan material dari pengalaman (warna, bentuk,suara) yang masuk kesadaran dari luar. Di pihak lain, pemahaman penyumbangan prinsip-psinsip yang diberi nama “kategori-kategori” atau “konsep-konsep murni” misalnya, kasatuan, pluralisme, substansi, sebab akibat, kemungkinan, atau keniscayaan. Bentuk-bentuk intuisi dan konsep-konsep murni dan bahan-bahan formal pengalaman. Contoh: pemahaman saya tentang kekasih saya hanya terbatas pada apa yang saya tangkap tubuh, raut wajah, tingkah laku, emosi, dan sikap dia (fenomenal). Saya tahu tinggi dan berat badannya, kesukaan-kesukaanya, hal-hal yang mencemaskan, bahkan tingkat kecerdasannya. Namun, eksistensi dan keberadaan dia yang sesungguhnya (noumenal) sangat gelap buat saya. Terbukti bahwa sering kali saya salah dalam memahami dia, sehingga seringberselisih paham atau berantem dengan dia.
Positipisme Logis. oleh aliran filsafat ini maslahnya yang kita bisa diketahui dan tidak bisa diketahui diubah dalam bentuk yang bermakna dan yang tidak bermakna. Menurut aliran ini, kriteria yang untuk menbedakan yang bermakna dari yang tidak bermakna adalah pembuktian atau verifikasi empires. Misalnya pernyataan, “ skemarin sore di jakarta huajn deras,” adalah tidak bermakna, meski pasti benar (bagaiman mungkin jiwa bisa sadar diri jika  tidakada alam yang menopang hidupnya?) dengan demikian, bats-batas pengetahuan dan juga ukuran kebenaran suatu pengetahuan adalah kemungkinannya untuk di verifikasi.
2.5  Sumber dan Struktur Pengetahuan
Apa sebetulnya sumber penegetahuan itu? Bagaimana strukturnya? Ada sejumlah aliran filsafat yanag mencoba menjawab pertanyaan tersebut, antara lain rasionalisme dan empirisme.
2.5.1        Rasinalisme dan Empirisme
Menurut rasionalisme, pengetahuan pada dasarnya diperoleh dari pemikranan logis dan deduktif  melalui rasio manusia. Sebaliknya, menurut empirisme, pengetahuan, sedangkan rasionalisme pada karakter kekuatan logika dan metematika.
Pertentangan kedua paham ini telah ada sejak Zaman pra-Socrates-yakni, antara Heraklitus (empirisme) dan Parmenides (rasionalisme) sampai pasca-socrates yakni antara plato (rasionalisme) dan Ristoteles (empirisme) dan memuncak pada abad ke-17, yakni antara John Locke dan David Hune dari kabu empirisme melawan Descartes, Leibnis, dan Spinosa dari kubu rasionalisme.
Untuk memahami perbedaan antara rasionalisme danemperisme mari kita lihat persoalan mengenai pengetahuan a priori, atau pengetahuan tentang suatu objek sebelum kita memiliki penegalamn tentang objek ini. Rasionalisme abad ke-17 berpandangan bahwa sesuatu atau beberapa pengetahuan yang sangat tentang dunia secara logis tidak tergantung dari pengalaman. Dengan perkataan lain, rasionalisme percaya bahwa ada proposisi-proposisi tentang dunia yang dapat diverifikasi dan dijustifikasi hanya oleh karena rasio, tanpa memerlukan bantuan pengalaman. Pernyataan-pernyataan seperti “semua kejadian ada sebabnya,” “semua manusia akan mati”, adalah tiga contoh pernyataan a priori. Beberapa filsuf rasionalisme mengakui adanya pernyataan-perntayaan seperti “jumlah penduduk indonesia adalah 240 juta jiwa” atau “sel-sel dewasa mempunyai 23 pasang kromosan,” yang diperoleh dari pengalaman, tetapi banyak pengetahuan yang krusial diperoleh dari rasio, tanpa bantuan observasi. Para rasionalis yang ekstrim sepetrivParmenides, Leibnes, dan Spinosa bahkan menyatakan bahwa semua pengetahuan pada alam semesta dapat diperoleh dengan cara pemikiran deduktif yang hati-hati, tanpa mengacu pada fakta-fakta.
Empirisme menolak kemungkinan pertimbangan a priori. Bagi seorang penganut emperisme, pengalaman empirisme adalah satu-satunya sumber pengetahuan. Tidak ada pengetahuan yang tidak berasal dari pengalaman. John Locke bahkan menegaskan bahwa jiwa atau pikiran manusia pada dasarnya adalah seperti kertas kosong, seperti tabula rase: pengalanya  yang mengisi jiwa atau pikiran itu sehingga ia seolah-olah mempunyai pengetahuan a priori.
Seorang empires lainnya, David hume menegaskan, “semua gagasan kita atau persepsi-persepsi kita yang lebih lemah adalah tiruan dari kesan-kesan kita. “ dengan, demikian, pengetahuan a priori ditolak; ia hanya mengakui pengetahuan a posteriori  (penegtahuan yang diperoleh dari, atau setelah, pengalaman).
Dalam konteks ilmu pengetahuan berikut ini: apakah ilmu pengetahuan mendasarkan dari pada pengetahuan a priori  atau fakta-fakta empires? Ilmu pengetahuan, tentu saja mendasarkan diri pada fakta-fakta empires.  Namun, disadari atau tidak didasari , ilme pengetahuan pun mengakui adanya pengetahuan a priori . Misalnya, ilmu pengetahuan mengakui adanya hukum sebab-akibat atau kausalitas, yakni bahwa gerak suatu gejala (variabel-variabel indefenden). Kita tahu bahwa salah satu tujuan ilmu pengetahuan adalah mencari den menjelaskan sebab-sebab dari suatu gejala yang diselidikinya dan tujuan itu didasari pada keyakinann a priori.
2.5.2        Hakikat Pengetahuan  A Priori
Apakah pengetahuan a priori, atau pengetahuan yang telah ada dalam diri kita tanpa tergantung pada pengalaman hakikat pengetahuan a priori (koestembaum, 1968):
a)      A priori  sesuatu yang bersifat intinsik. Pendapat ini dikemukakan oleh para rasionalisme abda ke-17, seperti Descatres, Leibniz, Spnosa, dan Wolf. Menurutmereka, ide-ide a priori adalah ide-ide bahwa (innate idea). Manusia mempunyai potensi, disposisi untuk menembangkan ide-ide yang bersifat universal seperti ide-ide matematis. Ide-ide matematis adalah ide-ide yang tidak tergantung pada pengalaman. Orang buta dapat menjadi sesorang ahli metematika yang andal, sejauh dia pemiliki rasio.
b)      A priori  sebagai lumen natureale. Manusia mempunyai cahaya batin atau alami (lumen naturale) sehingga mempu membedakan ide-ide yang meragukan dari ide-ide yang jelas, self-evident. Pernyataan “jarak terdekat antar dua titik merupakan garis lurus” adalah kebenaran yang mutlak dan jelas, dan penyataan itu adalah a priori,  sehingga tidak perlu pengalaman untuk membuktikannya. tidak perlu  ada pembuktian empires untuk memmbuktikan kebenaran pernyataan ini. Bandingkan denga pernyataan, “pohon itu berwarna hijau”. Pernyataan ini mungkin benar, tetapi tidak self-evident, karena diperoleh dari pengalaman.
c)      A priori  adalah asumsi yang mutlak deperlukan. Pendapat ini dikemukakan oleh Immanuel Kant. Ia bermaksud mencari pengandaian-pengandaian atau hipotesis-hipotesis logis yang harus ada sebelum pengalaman terjadi pada kita. Kant memahami a priori  sebagai kaca mata berwarna yang memberi warna pada pengalaman kita. Jiwa dianggap terdiri dari serangkaian kamar kecil atau kotak yang kedalamnya masuk informasi dari pengalaman kita. Oleh sebab itu, a priori  adalah mutlak perlu untuk mengalami dunia dalan suatu cara yang sesuai atau pas dengan struktur pikiran kita. Asumsi-asumsi tersebut mutlak perlu agar pengetahuan kita menjadi pasti- seperti tidek terbatasnya ruang dan waktu-meskipun pengetahuan itu kemudian mengatasi pengalaman.
Impretasi lain mengenai teori Kant adalah demikia. Keberadaan pengetahuan a pripri , karena kebalikannya, “Aku tidak ada”, pasti salah.
d)      Penolakan atas pengetahuan a priori.  Penolakan ini terutama dilakukan oleh para penganut emperisme, antara lain John Stuard Mill (1806-1873). Penolakan mereka didasarkan pada dua alasan. Alasan pertama adalah bahwa semua pernyataan a priori  adalah hipotesisi empires. artinya pernyataan ini hanya berupa dengunngan sementara yang seumbernya diperoleh dari pengalaman empiris. Menurut Mill, kebenara a priori  tidak bersifat niscaya atau pasti, karena pada dasarnya adalah hipotesis empires, didasarkan pada pengamalan. Alasan kedua adalah bahwa semua pernyataan a prioris  adalah analisis, diperoleh melalui analisis terhadap bahsa atau matematika.

Analitik vs Sintetik. Kant membedakan dua jenis proposisi yaitu sintetik dan analitik. Proposisi sintetik berisi tertang sesuatu yang merupakan halnya atau bukan halnya tentang kenyataan. Misalnya, “emas ini beratnya 20 gram,” di mana “emas” menunjukkan penampakan fisik dan “beratnya 20 gram” merupakan informasi baru, yang tidak diperoleh melalui analisis. Proposisi analitik – dinamakan juga tautologi –adalah proposisi dimana presikat hanya semata-mata hanya menjustifikasi atau menyatakan kembali apa yang telah ada pada subjek kalimat. Contoh: “semua biru adalah warna,” “lingkaran adalah bulat”, “semua segitiga memiliki tiga sisi”. Semua pernyataan itu menunjukkan bahwa predikat-predikatnya tidak memberi informasi baru terhadap sabjek-sabjeknya.
A priori vs A posteriori. A priri  adalah pengetahuan yang tidak diperoleh melalu pengalaman. Dalam hubungannya dengan pernyataan analisis dan sistem menjadi tampak: semua proposisi analisis adalah a priori – yakni, proposisi yang kebenaranya dapat dipastikan hanya melalui pengujian makna istilah-istilahnya, tanpa mengacu pada obserpasi atau eksperimen. Sedangkan, semua proposisi atau a posteriori  adalah sintesis – yakni, diperoleh manusia pengalaman, bukan hasil analisis bahasa atau matematika.
2.5.3        Hakikat Pengetahuan Sintesis  A priori
Kant mendamaikan pertentangan para rasional dan empires dengan mengajukan kemungkinan pengetahuan yang yang bersifat sintesis a prioriti . Menurut Kant, pengetahuan ini  memberi kita informasi melalui dunia, katena karakter sintesinya, tapi secara logis mendahului pengalaman, karena karakter a prioriti –nya. Ia berkeyakinan bahwa “meski semua pengetahuan mulai dengan pengalaman, tetapi berarti berasal dari pengalaman.” Para rasionalis menerima pengetahuan ini, sedangkan para empires menolaknya.
Pendapat Kant boleh jadi benar. Pengetahuan a priori  adalah alat atau perlengkapan yang kit bawa pada pengalaman dan digunakan untuk mengklarifikasi, mengorganisasikan, dan mengantisifasi pengalaman. Definis-definis, hukum-hukum matematia teori-teori ilmiah adalah bagian dari pengalaman, tapi juga mendahului pengalaman. Contoh: “lingkungan yang crowdedmenimbulkan stres”. Ini adalah sintesis (membeli onformasi baru), tapi juga a priori , karena menjadi perlengkapan buat kita untuk antisifasi pengalaman yang akan datang (mendahului pengalaman), misalnya dalam aplikasinya (contohnya: “hindari lingkungan yang crowded, jika tidak ingin mengalami stres”).
2.6    Persoalan Validitas (Kebenaran) Pengetahuan
Esiptemologi tidak hanya berusaha menjawab pertanyaan mengenai apakah suatu pengetahuan itu benar atau tidak benar,tetapi juga  mencari jawaban ats pernyataan mengenai apa yang dimaksud oleh seseorang ketika ia mengatakan bahwa pengetahuan itu benar? Apa yang menjadi kriteria-kriteria kebenarannya?
Secara tradisional, terdapat tiga teori mengenai kebenaran teori korespondensi tentang kebenaran, teori koherensi tentang kebenaran, dan teori pragmatis tentang kebenaran.

2.6.1        Teori Korespondensi
Menurut paham ini, kebenaran terjadi jika ada kesesuaian antara bentuk-bentuk simbolik bahasa seperti kata, kalimat, gagasan, atau pikiran, dengan keadaan nyatanya, yakni objeknya yang berada diluar kita. Kebenaran, dengan demikian, adalah adanya ekuivalensi, adanya hubungan suatu hal dengan lainnya (isomorphism), atau adanya kesamaan antar aspek simbolis atau resperensatif , yakni objek yang disimbolisasikannya.
Naman, tiga kesulitan jika kita mengambil sikap ini. Ambillah tiga contoh pernyataan berikut: (1) “mahasiswa laki-laki dikelas ini mengenakan dasi”, (2) “atom klori mempunyai tuju elektron pada kulit luernta,” (3) “6=3=9”. Pernyataan (1) tidak mengalami kesulitan untuk membuktikan, karena pertikel ini tidak bisa kita selididki secara langsung. Kebenaran dari pernyataan ini jadi kabur, jika menggunakan teori korespondensi. Demikian juga dengan pernyataan (3), karena tidak ada peristiwa perseptual yang bisa dijadikan acuannya.
2.6.2        Teori Koherensi
Menurut teori ini, kebenaran terjadi jika suatu sistem proposisi secara internal koheren (runtut) satu sama lainnya. Pernyataan “2+2=4” adalah benar, sejauh pernyataan itu koheren dan sistem dengan seluruh pernyataan matematika. Pernyatan “2+2=4” itu salah karna bukan tidak sesuai dengan fakta, melainkan tidak koheren dengan pernyatan-pernyataan lain dalam matematika (misalnya, bertentangan dengan 2+2=4). Pernyataa “manusia dalah makhluk yang tidak bebas, karena setipa perilaku manusia di tentukan oleh paktor-pakro eksternal” adalah benar jika kita menganut paham determinisme. Koherensif menjadi konsisten proposis-proposis, teori-teori, dan observasi-observasi kita, tetapi tidak menjamin konsistensi antar ideatau teori kita dengan keadaan sebenarnnya. Misalnya:semua mahasiswa dikela ini perempuan , A adalah mahsiswa dikelas ini, maka ia adalah perempuan,” adalah benar, meski secara emfiris tidak benar karna dikelas ini ada mahasiswa laki-laki. Filsafat Hegel, dan juga positivisme logis, adalah penganut paham ini. Bagi heger dan positivisme logis, logika dan matematika merupaka metode yang paling penting untuk menyusun pengetahuan yang benar.
2.6.3        Teori Pragmatik
Teori progmatik (dari kata yunani pragma, tindakan) tentang kebenaran menghubunggkan maknakebenaran dengan, proses konfirmasi, pengujian, atau verifikasi. Menurut teori ini, kebenaran bukan suatu keadaan, melainkan tindakan kebenaran bukan hubungan statis antara pikiran dan dunia luar, melainkan berkaintan dengan konsekuensi terhadap tinadakan. Teori progmatika tentang kebenaran dapat dipandang sebagai posisi esiptemologi yang praktis. Makna gagasan atau pernyataan ditemukan di dalam kemampuan untuk prediksi, ekspektasi, antisipasi – yakni tinadakan masa depan – yang dibawakannya. Contoh: (1) pernyataan “ia mencintaiku” menunjukkan pada perilaku di mas depan: karena ia mencintaiku, maka ia akan memberi perhatian padaku, akan tersenyum ketika menyambutku, tidak terpengaruh oleh kesialan-kesialan yang sering menimpa diriku. (2) teori “frustasi memyebabkan agresi” menunjuk pada perilaku di masa depan: untuk menghindari agresi, hindari frekuensi.
2.6.4        Teori Perpormatif
Teori performatif tentang kebenaran meyakini bahwa suatu pernyataan disebut benar jika diputuskan atau dikemukakan oleh orang-orang atau tokoh-tokoh yang memiliki oteoritas tertentu di bidangnya. Dalam kehidupan yang sebenarnya kriteria untuk mengukur suatu kebenaran serinkali tidak berkenaan dengan acuan empires (korespondensi) atau konsistensi antara satu pernyataan dengan pernyataan lainnya (koherensi), melainkan dengan orang atau tokoh  yang mengungkap “kebenaran” itu. Jadi, kriteria kebenarannya sering mengacu otoritas orang atau tokoh yang mengemukakan suatu argumentasi. Ini sering terjadi di politik, agama, kehidupan sehari-hari, dan bahkan didunia akademik. Misalnya, seorang guru besar terkemuka merancang suatu teori A tentang gejala stress. Ia mendapatkan pengakuan dan penghargaan internasional untuk teori tersebut. Maka, teori A itu dijadikan sebagai benchmark atau acuan untuk semua fisikolog yang hendak menjelaskan suatu peristiwa atau gejala stress. Karena si guru besar itu cukup terkemuka, maka apa pun yang dikatakan olehnya dianggap sebagai suatu kebenaran, meski barangkali tidak semua yang dikatakannya benar!

2.6.5        Teori Konsensu
Teori konsensu tentang kebenaran memiliki pandanga yang berbeda dari empat teori yang telah dijelaskan diatas. Menurut teori ini, kriteria kebenaransuatu pernyataan tidak teletak pada pernyataan itu sendiri (seperti yang ditegaskan oleh teori koherensi dan teori koherensi dan korespondensi), atau pada konsekuensi praktis dari pernyataan itu (seperti yang ditegaskanoleh teori pragmatis), atau pada otoritas orang atau tokoh yang mengemukakan pendapat itu ( seperti yang diungkapkan oleh teori performatif), melainkan pada pengakuan sesuatu komunitas yang mendukungpernyataan tersebut. Ini bererti bahwa kebenaran suatu pernyataan pada dasarnya terletak pada aspek sosialdan psikologis, bukan pada isi atau bentuk dari pernyataan tersebut.
Dalam ilmu pengetahua, kriteria kebenaran seperti ini kerap kali kita temukan. Misalnya dalam psikologi. Banyak sarjana fisikolog yang membanta teori-teori psikoanalisis dan nilainnya tidak ilmiah, karena dibangun berdasarkan pada metode-metode “ilmiah” (misalnya eksperimen-eksperimen). Tetapi kenapa psikoanalisis hingga dewasa ini masih diakui kebenarannya dan dipertahankan sebagai salah-satu paradigma besar dalam fisikolog? Teori konsensus akan menjawab bahkan hai itu dikarenakan sesuatu teori tidak terletak pada pengguanaan atau kecanggihan metode-metodenya tetapi terutama pada ada atau tidak adanya komunitas yang mendukung teori tadi. Jadi, masalah kebenaran pada dasarnya tidak berkaitan dengan aspek pisiologis dan psikologis.
Siapa komunitas yang dimaksudkan oleh teori konsesu tadi? Tentunya adalah komunitas ilmia, yakni sekumpulan ilmuan yang mendukunga suatu pradigma (perspektif)tertentu dan melakukan sejumlah riset derdasarkan pada paradigma tersebut. Mereka biasnnya membentuk asosiasi yang memiliki perspektif atau paradigma yang sama, penerbitan jurnal dan pertemuan-pertemuan ilmia oleh para pendukung para digma yang sama, dll. Misalnya saja komunitas psikoanalisis, yang terjadi pada para psikolog psikiater yang mendukung teori-teori psikoanalisis.
Menurut teori konsensus, kebenaran sebuat teori menurut sebuah paradigma atauperspektif A, tidak dapat diperbandingkan dengan kebenaran teori-teori ,menurut paradigma B atau C. Kebenaran menurut paradigma psikoanalisis tidak dapat dibandingkan dengan kebenaran menurut pradigma-pradigma lain seperti behaviorisme, psikologi kognitif, neuropsychology, dan lain-lain. Demikian juga sebaliknya.
2.7  Metafisika
Koestembaun(1968) mendefenisikan metafisika sebagai studi mengenai karakteristik-karakteristikyang sangat umun dan paling besar dari kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality. Metafisika menguji apsek-aspek kenyataan seperti ruang dan waktu, kesadaran, jiwa dan materi, ada (being), eksistensi, perubahan, subtansi dan sifat, akttual dan potensi, dan lain sebagainnya. Persoalan-persoalan mengenai aspek-aspek dari kenyataan tersebut, secara implisit, sebenarnya muncul dalam ilmu pengetahuan, agama, dan bahkan common sense, akan tetapi, sejumlah filsuf tidak meras puas mengandalkan disiplin-disiplin atau bidang-bidang pengetahuan tersebut di dalm pemikiran pemikiran metafisika mereka.
Metafisika pad asasnya meneliti penelitian perbedaan antara penampakan (appearanca) dan kenyataan (realita). Karena benda-benda tidak sepenuhnya tanpak sebagaimana adanya, maka tugas metafisika adalah untuk mengungkap apa yang ada di dasar pengalaman kita, atau kenyataan apa yang sesungguhnya tersembunyi dibelakang penampakn indra kita. Ada sejumlah aliran yang coba mangungkap hakikat kenyataan dibalik penampakan tersebut. Misalnya, identitas atau personalisme menyatakan bahwa kenyataan yang paling dasar sesungguhnya sepupa atau berhubungan dengan kesadaran manusia. Materialisme dan maturalisme percaya bahwa kenyataan paling dasar pada prinsip sama dengan peristiwamaterial dan natural. Mekanisme meyakini bahwa kenyataan yang kita alami pada dasarnya di tentukan atau didigerakkan secara kebetulan dan ber-jalan seperti mesin. Organisme atau vitalisme  percaya bahwa kenyatan yang bisa diibaratkan (dimetaforkan) seperti organisme yang hidup.
Sejarah pengetahuan manusia menunjukkan, bahwa di dalam proses mendapatkan pengetahuan, manusia tampaknya tek henti-hentinya berusaha untuk menyatukan berbagai fakta dan beragam gejala yang beragam kedalam suatu kesatuan. Mereka membawa fakta-fakta yang beragam dan tersebar kedalam satu kesatuan sistem yang kehoren, menyeluruh, dan cerdas. Puncak dari kebutuhan untuk menyatukan semua hal kedalam satu kesatuan itu ada pada metafisika. Metafisika bermaksud bukan hanya menggabungkan dalam suatu sistem  atau visi dari hasil-hasil dari ilmu pengetahuan,tetapi jugamenggabungkan pandangan common sense, seni (puisi dan karya-karya seni lain), agama, serta kewajiban moral, kedalam satu pandangan yang menyatu dan menyeluruh mengenai kenyataan. Akibatnya adalah bahwa pernyataan-pernyataan atau proposis-proposis metafisika jadi sangat umum, evokatif, dan sering pula samar-samar (kurang jelas). Oleh sebab itu, bisa dipahami bahwa sejumlah filsuf yang berasal dari abd kesembilan belas dan keduapuluh – misalnya para eksistensialis, para positifis, denganalasan yang hampir sama, yakni terlalu abstrak dan tidak memiliki  kontribusi praktis dan langsung pada kehidupan.
2.7.1        Apakah Metafisika
Perlu diakui bahwa tidak semua fulsuf mendukung adanya metafisika dalm filsafat.  Ada sejumlah filsuf yang menentang metafisika. Sebut saja misalnya Auguste Comte, seorang filsuf prancis sekaligu positivisme (lihat Abidin 2009). Menurut Comte, metafisika sudah out of dite ,sudah seharusnya ditinggalkan karena tidak dapat menjelaskan ralita secara tepat. Dia menjelaska bahwa sejarah ummat manusia pada dasarnya merupakan sejarah perkembanganakal budi manusia. Akal budi manusia, sebagaimana tercermin dalam sejarah peradaban manusia, melawati tiga tahapan penting, yakni tahap mitis atau teologis, tahap metafisika atau tahap positif . tahap positif adalah tahap akal budi manusia yangpaling tinggi karena membawa peradaban manusia menjadi peradabam moderen. Ciri utama dan tahap  ini adalah tahap dimana metode atau cara berfikir menjadi sangat ilmiah. Tahap positif adalah tahap diman metode atau cara berfikirilmu pengetahuan alma menjadi medol bagi pengembangan pengetahuan termasuk, ilmu-ilmu sosia, filsafat bahkan common sense dalam kehidupan sehari hari. Dengan sampainya sejarah manusia pada tahap positif , maka caraberfikir mitis dan metafisika harus segera ditinggalkan.cara berfikir metafisika (dan juga cara bepfikir teologis atau mitis) tidak dapa lagi dipertahankan dalam kehidupan massa kini.
Namun, banyak filsuf yang berkeyakinan bahwa metafisikatidak dapat diabaikan dalam filsafat, bahkan sangat pengting keberadaanya. Koestambaum (1968) memerinci beberapa alasan mengapa metafisika pentinga.
a)         Metafisika tidak bisa dihindari. Ketika menyaksikan dan mengalami kehidupan sebagai adil dan tidak adil, bersahabat, dan tidak bersahabat, teratur dan kacau balau (chaotik), baik dan jahat. Tanpa disadari keta menghubungka peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta tersebut satu sama lain, sehingga secara samar-samar kita membangun pandangan yang kabur, tetapi menyeluruh tentang kehidupan. Gambaran itu dalah campuran dari common sense, filsafat, ilmu, dan agama metafisika secara sistematis membangun pandangan dunia yang implisis tersebut disertai dengan argumentasi-argumentasi dan implikasi-implikasi logisnya.
b)        Etafisika adalah landasa pengetahuan. Kita memiliki kecenderungan untuk menyusun pengetahuan kita secara kokoh. Untuk keprluanitu, kita memrlukanmetafisika. Metafisika dalaha prokondisi logis pengetahuan. Pohon pengetahuan akan runtuh jika arak-akarnya tidak kuat. Ambil contoh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memiliki itga landasan filsafat, yakni metafisika (atau sering juga dinamakan landasan ontologi), epistemologi  dan kasiologi. Landasan metafisika ilmu pengetahuanmemungkinkan ilmu pengetahuan dapat menetukan bats-bats kajian objek secar tegas.
Disamping itu, sering terjadi ketika kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan teoritas yang diajukan untuk mendapatkan jawaban-jawaban sampai ke akar-akarnya, secara tak terhindarkan  kita akan mendarat di wilayah metafisika. Pernyataan-pernyataan metafisika muncul dalm setiap usaha atau kerja kognitif, termasuk kerja dalm ilmu pengetahuan.
c)         Metafisika dapat  memecahkan masalh-masalh atau mesteri-misteri kehidupan sehari-hari, yang menuntut untuk segala diberikan jawaban. Misalnya, pernyataan mengenai kebenaran Tuhan: jika tuhan ada dan ia Maha adil dan bijaksana, lalu mengapa ada penderitaan? Mengapa kebahagiaan hanya dirasakan oleh manusia-manusia tertentu, tetapi tidak dirasakan oleh manusi-manusia lain yang tidakberunrung?
d)        Metafisika adalah landasan nilai. Isu-isu metafisika sangat, berhubungan dengan persoalan-persoalan eksistensi manusia dan dengan masalah kehidupan yang lebih baik. Pada umunya kita sangat cocern  dengan isu-isu mengenai kehidupan manusia seperti kelahiran dan kematiaan, cinta dan benci, keamanan dan kecemasan, persahabatan dan permusuhan, damai dan perang, kebahagiaan dan penderitaan, kebermaknaan dan keridakmaknaan, dan lain-lain. “harusnya kita mengenai kehidupan dan dunia sebagaimana adanya?” “atau haruskah kita mengubahnya menjadi sesuatu yang kita inginkan, atau berharap agar dunia menjadi lebih baik? “Apakah ada makna dan tujuan yang  bersifat ilahi di belakang dunia yang nyata ini? “apakah kita mampu memahami atau menangkap tujuan yang bersifat ilahi itu?”
Jika jawabannya untuk pertanyaan terakhir itu adalah “tidak”, maka untuk menemukan makna kehidupan yang sejati, kita jangan pernah berharap petunjuk dan bantuan daru kekuatan ilahi. Kita harus menyesuaikan tujuan- tujuan kita, agar sejalan dengan apa yang diberikan oleh alam dan lingkungan sekitar kepada kita dan puas dengan kesenangan yang ada. Kita harus berusaha menubah dunia dengan mengejar tujuan-tujuan kita, dan itu hanya bisa dilakukian dengan menggunakan ilmu dengan teknologi. Kulkas, komputer, internet, mesin cuci, obat-obatan dan tumah sakit, televisi, mobil, dan lain-lain barang-barang mewah hasil IPTEK, menjadi alat-alat yang mutlak diperlukan unutk mendapatkan makna hidup, mengatasi kematian dan kecemasan, bahkan menjalani persahabatan  dan mendapatkan cinta dari seseorang kekasih. Antusiasme untuk menjalani kehidupan dengan cara ini adalah karakteristik dari  naturalisme dan materalisme. Naturalisme berpandangan bahwa dunia yang nyata adalah dunia alam fisika, dunia yang terbuka pada kita melalui metode ilmiah. Naturalisme adalah pandangan dunia bahwa tudak ada ruang untuk dunia lain, selain dunia alam fisik itu. Materialisme berpandangan bahwa fisika-lebih khusus lagi, kinetika- adalah ilmu dasar dan bahwa semua kejadian dan semua hal (termasuk manusia) dapat direduksi pada fungsi-fungsi atau bentuk-bentuk materi.
Di pihak lain, jawaban atas pertanyaan apakah ada makna dan tujuan ilahi dibalik alam yang nyata ini, boleh jadi jawabannya “ya”. Dalam arti ini kita percaya bahwa ada kenyataan yang lebih dalam dan tinggi-atau, ada kebenaran di belakang penampakan dunia alamiah ini- yang mampu memenuhi kerinduan jiwa kita. Kemungkinan untuk memenuhi kerinduan pada yang luhur dan sakral ini merangsang manusia untuk berspekulasi mengenai kenyataan ideal, kenyataan ilahi. Pandangan metafisika yang bersifat spekulatif mengenai adanya kekuatan ilahi misalnya tampak pada idealisme Heger (1770-1831), fichte (1762-1814); filsafat proses Whitehead (1861-1947). Menurut idealisme,  di balik alam fisik yang serba berubah ini terdapat kekuatan ilahi (oleh Hegger disebut “Roh Absolut”) yang terus berkembang secara dialektif untuk menjadi laebih baik lagi. Alam fisik pada dasarnya adalah perwujudan dari kekuatan ilahi ini.
2.7.2        Apakah Metafisika Mungkin?
Sejak Zaman yunani kuno, bahkan hingga dewasa ini,hampi sebagian besar filsafat diwarnai oleh pemikitan pemikiran metafisika, kendali cukup banyak juga filsuf yang meragukan dan menolak metafisika. Para filsuf yang menolak metafisika berasala bahwa metafisika tidak mungkin karena melampau batas-batas kemampuan indra untuk membuktikan kebenaran-kebanarannya. Kebenaran-kebenara yang ditawarkan  oleh metafisika terlalu luas dan spekulatif,  sehinnggas tidak dapat dibuktukan dan diukur kebenarannya.
Jika dikelompokkan, para pengkritik terhadap metafisika terdiri dari empat kelompok, yakni: para spektif, positivis, eksistensialis, dan posmodernis. Kelompok pertama diwakili misalnya oelh Hume dan Kant. Kelompok kedua diwakili oleh Comte  dan para positifist logis. kelompok ketiga diwakili oelh Kierkegaard, Sarter, pase filsuf eksistensialis lainnya. Kelompok keempat di wakili oelh Laytard, foucault, dan para postmodernis lainnya.
2.7.3        Ontologi
Persoalan yang digeluti oleh ontologi adalah persoalan makna, hakikat (nature), dan struktur ada. Tugas ontologi, sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles, adalah: “menyelidiki ada sebagai adanya dan atribut-atribut yang terdapat padanya atas dasar hakikatnya sendiri/ “pada zaman modern, persoalan-persoalan ontologi ini diselidiki antara lain oleh Martin Heidegger (1889-1976) dan Paul Tillich (1886-1965), dengan pendekatan yang tentu saja berbeda dari Aristoteles. Salaha satu dari penyelidikanmereka adalah: “ada tidak menunjuk pada sesuatu, melainkan merupakan suatu sifat yang memiliki oleh segala sesuatu yang ada, dan atas adasra itu maka mereka ada.”
Menurut  Aristoteles, Ontologi pada dasarnya dimaksud untuk mencari makna ada dan struktur umum yang terdapat pada ada, struktur yang dinamakan kategori dan susunan ada. Akan tetapi, hasil pencarian Aristoteles menunjukkan bahwa pernyataan mengenai makna dan membawa kita pada penghargaan terhadap keajaiban eksistensi manusia, sedangkan studi mengenai kategori membawa pada sebab pertama, asal-usul dari segala sesuatu (Tuhan). Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa motif yang sesungguhnya dalam studi mengenai ontologi adalah jastifikasi atas pengetahuan dan emosi etis.
2.8  Kosmologi
2.8.1        Prinsip-prinsip Pengklafikasikan di dalam Kosmologi
Sebelum masu ke dalam filsafat kosmologi, penting bagi kita untuk memahami terlebih dulu perbedaan antara penampakan (appearance) dan kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality). Pada dasarnya posisi-posisi metafisiska suatu filsafat bisa dilihat dari perbedaan itu, kendati umum yang mendekskripsikannya para filsuf menggunakan istilah-istilah yang berbeda antara apa yang tampak melengkung seperti kubuh, tetapi kenyataannya ia merupakan kumpulan tak berhingga dari asap (uap air), gas, dan unsur-unsur  alam (kimiawi) lainnya. Bunga tampak merah, tetapi kenyataannya warna merupakan hasil interaksi antara cahaya dan sistem saraf manusia.
Posisi-posisi metafisik aliran-aliran filsafat dapat kita kenali dengan sebagai penampakan dan sebagai kenyataan. Misalnya, kita mengalami banyak sekali hal atau kejadian yang bersifat individual dalam dunia ini (plularity) . jika hal-hal atau kejadian-kejadian yang banyak sekali tersebut dianggap nyata, maka posisi metafisika kita dinamakan pluralisme kuantitatif. Di lain pihak, jika seperti parmenides dan spinoza, beranggapan bahwa berbagai peristiwa dan benda-benda yang tampak banyak sekali itu pada perinsipnya adalah manifestasi mnyesatkan dan hayali dari kenyataan dasar yang tunggal (singular) maka pandangan kita dinamakan monisme kuantitatif  atau singularisme. Jiak pluralitas bentuk-bentuk bahan-seperti yang kita temukandi atas meja para ahli kimia-dianggap nyata, sementara pluralisme bentuk dianggap hanya penampakan belaka, maka pandangan kita dinamakan pluralisme kuantitatifatau singularisme. Jika pluralitas bentuk-bentuk bahan seperiti yang di meja para ahli kimia-dianggap nyata, sementara pluralitas bentuk yang dianggap hanya penampakan belaka, maka pandangan kita dinamakan pluralisme kualitatif atau seperti halnya pandangan dualisme jiwa-materi Descartes, dinamakan dualisme kualitatif. Demikian juga, jika pluralisme bentuk dianggap sebagai penampakan belaka,yakni sebagai manifikasi dari bentuk bahan tunggal-seperti pandangan Thales (640-550) Sm, yang berkata bahwa semua terbuat dari air atau bahan-bahan yang berarti—maka pandangan itu dinamakan monisme kualitatif.
Disamping itu, kita pun dapat memberi nama pada pandangan-pandangan spekulatif tertentu dengan cara memerhatikan sistem tertentu yang dipercaya mendasari semua memerhatikan sistem tertentu yang dipercaya mendasari semua penampakan. Misalnya, idealisme. Idealisme berpandangan bahwa aspek-aspek totalitas pengalaman kita yang dinamakan mental atau ideal lebih menyerupai atau lebih dekat dengan struktur kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality) dibandingkan dengan unsur-unsur non-ideal atau meterial dalam pengalaman. Gejala alam fisik yang tanpak dan dialami oleh kita hanyalah penampakan saja (appearance), sedangkan di balik itu ada kenyataan yang sesungguhnya (reality), yakni berupa dunia mental, jiwa, atau ideal. Kerena pandangan idealisme mereduksikan meteri pada jiwa, maka dinamakan juga monisme.
2.8.2        Idealisme
sebelum ada beberapa jenis idealisme. Jenis-jenis idealisme tersebut dapat dikenal dari filsasfat-filsafat tertentu yang menempatkan aspek-aspek kehidupan mental sebagai kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality). Misalnya saja personalisme (atau idealisme personalik). Aliran filsafat ini beranggapan bahwa personal (pribadi) merupakan metafor yang sangat tepat untuk memahami dan mendeskripsikan alam semesat. Alam semesta adalah suatu totolitas yang bergerak  hidup dan dikendalikan oleh seorang  person. Di samping itu, ada jenis idealisme subjektif, sebagaiman dipelopori oleh George Barkeley (1685-1753). Selain tuhan, menurut Barkeley, kenyataan yang sesungguhnya ada jiwa-jiwa manusia. Ada pun, Leibniz (1646-1716), dengan monadismennya, masuk ke dalam panpychins, kerena pandangannya yang menyatakan bahwa semua objek pada dasarnyya merupakan entites atau jiwa-jiwa spiritual. Selain itu, ada pula jenis-jenis idealisme lainnya seperti: idealisme voluntaristik (kehendak manusia adalah akar-metafor untuk menjelaskan alam, misalnya dalam filsafat Scopenhauer), idealisme absolut  atauobjektif  (Hegel), dan solipsisme (diri manusia individual adalah satu-satunya entitas yang ada).
2.8.3        Materialisme
Kebalikan dari idealisme, materialisme menggunakan objek-objek material atau natural sebagai metafor kenyataan yang sesungguhnya, sehingga semua penampakan diseduksikan pada materi atau alam. Pandangan-pandangan meterialistik moderen cenderung mekanistik dalam arti bahwa mereka menggunakan mesin  sebagai metafor dasarnya. Gerak alam semesta, dan juga tingka laku indonesia, serupa dengan pergerakan mesin-mesin. Pandangan materialisme sering merupakan suatu bentuk casualism, yakni pandangan bahwa hukum alam tidak lain adalah suatu yang terjadi secara kebetulan dan bukan digerakkan oleh suatu tujuan tertentu (baik oleh tuhan maupun oleh manusia). Sedangakan penganut meterialisme meyakini bahwa alam semesta dekat dengan berhubungan erat dengan nilai-nilai tertinggi manusia dan tema sentral pendangan meterialistik adalah bahwa alam semesta berpihak pada nilai-nilai manusia.
Pada zaman Yunani Kuno filsafat meterialisme dinamakan juga realisme materialistik adalah bahwa alam semesta berpihak pada niai-nilai manusia.
Pada Zaman yunani kuno filsafat meterialisme dinamakan juga realisme materialistik. Menurut realisme materialistik unsur atau anasir paling dasar dari alam semesta pada dasarnya bersifat bendawi atau materi. Pandangan ini dikemukakan misalnya oleh Empedocles (490-430 SM), Democritos (460-370 SM), dan Anaxagoras (500-428 SM). Menurut Empeducles, kenyataan dibangun dari empat unsur, yakni tanah, air, udara, dan api. Menurut Anaxogaros, kenyataan yang sesungguhnya pada dasarnya berasal dari benih (seeds), sedangkan menurut Democritos berasal dari atom-atom (lihat uraian tentang pemikiran para filsuf laksik ini di bab 2 buku ini). Dalam perkembangannya yang kemudian materialisme modern mengubah objek-objek material khusus seperti tanah, benih, atau atom dengan prinsip-prinsip umum seperti “alam”. Misalnya seperti yang dikemukakan dalam naturalisme atau realisme  naturalistik  dari George Santayana (1863-1952) dan John Dewen (1859-1952)
2.8.4        Dualisme
Dualisme meyakini bahwa alam semsta tidak bisa direduksi hanya pada unsur-unsur material saja(seperti materialisme naturalisme) atau spiritual saja (seperti idealisme). Pada kenyataan kedua unsur tadi merupakan kenyataan sejati yang tidak dapat diubah keberadannya. Pendapat Plato mengenai perbedaan antara teh sensible worlddan teh inteligible world, Descartes menegnai pendapat antara jiwa (res cogitans) dan materi (res extense), dan Kant mengenai perbedaan antara dunia noumenal dan dunia fenomenal dapat dikategorikan sebagai pendapat-pendapat dualistik menganai kenyataan.
2.9    Filsafat Manusia
Persoalan yang khas dibahas dalam filsafat manusia terutama adalah mengenai hakikat psyche-yakni, kesadaran, dir,  atau roh-perhubungan jiwa-badan, dan kehendak bebas. Pada bagian ini hanya akan dibicarakan persoalan terakhir, yakni kehendak bebas.
2.9.1        Kehendak Bebas (Indeterminisme) vs. Determinisme
Parafilsuf tertari meneliti masalah kehendakbebasmetafisika, bukan kebebasan fisik. Kendala-kendala atau pembatasan –pembatasan yang berasal dari luar kendali manusia (misalnya cacat bahwa, keturunan, asal ras, dan lian-lain) pada hakikatnya bersifat fisik dan praktis, sedangkan masalah tentang kebebasan kehendak adalah metafisika dan teorotisme. Adalah masuk akal bahwa setiap peristiwa mempunya- sebab-sebab yang mendahului dan menentukannya, oleh para filsuf rasional hal itu dianggap sebagai hukumyang berlaku pada setiap peristiwa apa pun di dalam alam ini (the principle of the uniformity of nature). Dalam perspektif rasionalisme, tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Dengan demikian, keberadaan kehendak bebas manusia pun adalah tidak mungkin, karena bertentangan denagn prinsip atau hukum alam. Tindakan manusia tidak bebas dan tidak ditentukan oleh manusia sendiri, melainkan ditentukan oleh kondisi-kondisi yang mendahuluinya, misalnya budaya dan fosiologis dan kimiawi yang terjadi dalam tubuh. Jika, manusia adalah makhluk alam, maka hukum keseragaman alam berlaku juga padanya. Dengan demikian, tindakan dan pilihan manusia sudah bisa diprediksikan sebelumya. Pandangan yang menyatakan bahwa kehendak bebas tidak mungkin ada hanya ilusi belak dinamakan determinisme.
Namun, jika kita percaya bahwa kehendak bebas adalah tidak mungkin, maka kita dihadapkan pada paradoks ganda. Pertama, ada bukti yang kuat (prima facie evidence) mengenai pengalaman psontatitas dan kehendak bebas. Kita seringmerasa dan mengalami bahwa kita mempunyai kebebasan untuk memiliki: menurut paksaan itu atau mengakibatkannya. Jika kehendak bebas secara logis tidak mungkin, maka pengalaman kehendak benas itu pasti ilusi. Para pedukung emperisme, yang memberi bobot ontologo pada pengalaman, mungkin lebih mengakui bukti itu ketimbang para rasionalisme, yang mengarah pada determinisme universal. Para rasionalis, di  pihak lain, lebih mengakui hasil-hasil raso meraka dan menolak pengalaman kehendak bebas atas dasar kepercayaan determinisme universal.
Paradoks kedua berkaitan dengan masalah etis.Motoritas, etika,hukum, ranggung jawab, kewajiban-senua itu adalah istilah-istilah yang konon hanya terdapat didalam masyarakat yang beradab-adalah omong kososng dan tidak bermakna jika kita percaya bahwa tidak ada kebebasan (seperti yang dianot oleh determinisme). Kita memang dihadapka pada dilema:atau mendenganrkan rasio dan menolak kemungkinanTanggungjawab individu, atau menolak rasio dan mempertahankan kemungkinan kehidupan etis. Jika kita percaya akan adanya kehendak bebas maka kepercayaan kita dinamakan indeterminisme atau libertarianisma.
Perlu diakui bahwa pandangan ilmiah tentang manusia pada dasarnya adalah “deterministik”. Eksistensi manusia (termasuk perilaku-perilaku dan pengalaman-pengalamannya) diasumsikan dibatasi oleh masyarakat, dikondisikan oleh lingkungan, dan ditentukan oleh paktor-paktor biologis atau genetis. Manusia sama sekali tidak dipndang sebagai makhluk atau individu bebas. Tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan manusia tidak dipandang berasal dari (atau ditenrukan oleh) diri sendiri (self-determinisme), melainkan oleh kekuatan-kekuatan eksternal yang tidak yag tidak dikontrol. Kekuatan-kekuatan tersebut diberi nama: “lingkungan”, “hereditas”, “conditioning”, “super-ego”, “dorongan”, “kebutuhan”, “masa lalu”, dan lain-lain.
penerimaan atas determinismebukan hanya bersdasarkan pada fakta ilmiah, tetapi juga merupakan kecenderungan manusia untuk melepaskan diri dari tanggung jawab pribadi. Seperti diungkapkan oleh Sartre (1905-1980), manusia sebetulnya menyadari bahwa mereka memiliki kebebasan (kehendak bebas). Manusia bahkan identik dengan kebebassan. Akan tetapi, menusia memilih hidup secara tidak autentik, yaitu berusaha melepaskan kebebasan dan melepaskan diri tanggung jawab pribadinya. Kebebasan bukanlah sesuatu yang menyenangkan, melainkan menyesatkan, memuakka(nausea). Jika memang kehendak bebas, maka kita terpaksa menanggung beban untuk setiap keputusan yang kita buat dan mempertanggung jawabkan, baik secara moral maupun secara legal (hukum). Jika ada kehendak bebas, maka persoalan-persoalan memberikan makna ada kehidupan, menemukan rahasia kehidupan dan kedamaian jiwa, hidup rukun bersama orang lain, menghindar dari penderitaan dan ancaman – semua itu harus dupikul secara pribadi. Maka, dengan menghilangkan kebebasan, dan menerima determinisme, maka semua keputusan dan tindakan kita, terutama yang dianggap buruk atau jahat, dipermaklumkan.
Determinisme lainnya bersuber dari kenyataan religius, sehingga disebut determinisme relegius. Semua religi mengajarkan bahwavTuhan menciptakan dan mengatur alam dan seluruh isinya. Akan tetapi, sebagian dari penganut religi-religi tersebut ada yangg meyakini bahwa bukan hanya alam dan kehidupan, bahkan semua perilaku manusia pun, telah ditentukan oleh tuhan. Telah ada garis hidup atau takdir yang harus dijalani oleh manusia, dan manusia tidak bisa menghindarinya, meski ia telah cukup berusaha. Ingat saja misalnya takdir dan penderitaan yang menimpaOedipus, yang diluar kemampuannya, membunuh bapaknya (raja Laius) dan mengawini ibunya (ratu Jacosta). Posisi metafisika dari pandangan deterministik yang bersifat teologis ini dinamakan fatalisme.
2.10       Etika
Etika sebetulnya merupakan bagian dari aksiologi, yakni kajian filsafat tentang nilai. Nilai dalah suatu kualitas yang kita berikan kepada sesuatu (objek) sehingga sesuatu itu dianggap bernilai tau tidak bernilai. Pada bagian
Penjelasan mengenai kasiologi akan dibatasi pada masalah nilai etik, yaitu analisis fillsafat mengenai tingkah laku manusia yang dinilai baik tau buruk.
Menurut Koestembaum (1968), etika pada dasarnya berkenaan dengan dua persoalan berikut ini, yakni:
a)         Pesoalan mengenai kehidupan yang baik, mengenai perintah-perintah atau keharusan-keharusan moral
b)        Teori-teori mengenai etika (mateitika)
Pada bagian ini kita tidak akan memasuki persoalan pertama(mengenai keharusan-keharusan moral), tetapi lebih membatasi diri teori-teori etika (metaetik). Teori-teori etika dapat dibagi kedalam dua kategori berikut: Teori-teori translatability dan teori-teori untranslatabillty. Sebagian besar isi dari penjelasan dibawah ini merupakan ringkasan dari Bab tantang etika dalam koestembaum, P,1968, philosophy: A general Introduction, New York: Amerika Book company.
2.10.1    Teori-teori Translability
Menurut teori-teori translibility  istilah-istilah etis dapat diterjemahkan sepenuhnya dalam ungkapan-ungkapan non-etis. Sebaliknya, teori-teoriultranslability menegaskan bahwa istilah-istilah etis sama sekali tidak dapat diterjemahkan ke dalam ungkapan-ungkapan non-etis.
Teori-teori translability  dapat dibagi ke dalam teori-teori teleogis dan teori-teori deontologis.Teori-teori teleologis (berasal dari kata telos = tujuan) menegaskan bahwa kualitas etis dari suatu tindakan terletak pada konsekuensi, akibat, atau hasil dari tindakan itu. Apa yang etis atau baik adalah konsekuensi atau hasil dari tindakan itu. Jiak konsekuensi memiliki nilai, maka tindakan itu baik atau bermoral. Misalnya, memberi uang atau makanan kepada orang lain adalah baik atau bermoral, jika orang itu dapat terhindar dari kelaparan. Sebaliknya, pemberian tidak dapat dinilai baik atau bermoral, jika orang itu sebelumnya tidak membutuhkan pemberian itu atau tidak mendatangkan manfaat apa pun bagi orang itu. Tindakan hanya instrumen belaka, sedangkan yang utama adalah konsekuensi atau hasil.
Immanuel Kant menyebutkan teori diatas perintah yang bersifat hipotesis (hyphotetical imperatives). Menurut teori ini, pemerinta atau keharusan  moral dianggap baik jika konsekuensinnya memang diinginkan. Kita mencintai tetangga, jika hal  itu membuat tetangga kita bahagia dan kita sendiri gembira (senang). Jika ternyata tidak membuat bahagia atau gembira, maka mencintai tetangga tidak dapatt disebut baik.
Teori-teori deontologis menolak teori-teori teleologis, Kant adalah pendukung utama teori deontologis. Menurut Kant, isi dari perkataan, aturan, dan tindakan etis tidak tergantung pada konsekuensinya. Nilaina bukan instrumental, melainkan intrinsik, adadalam perkataan atau perbuatan itu sendiri. Perintahnya bersifat kategirs (categirical imperative), bukan hipotetis. Memenuhi janji itu baik bukan karena demi menjaga integritas diri, melainkan kerena tindakan itu mempunyai kualitas tertentu yang melekat pada dirinya. Berbohong itu buruk, bukan karena merugikan orang lain, tetapi terutama karena tindakan itu dalam dirinya tidak baik.
Teori-teori yeleologis dibagi ke dalam teori-teori naturalistik dan teori-teori teologis.
2.10.2    Teori-teori Naturalistik
Teori-teori naturalistik menegaskan bahwa ungkapan “suatu tindakan adalah baik” dapat diterjemahkan ke dalam bentuk ungkapan “suatu tindakan merupakan sesuatu yang bersifat alami (memiliki kualitas natural)”. Istilah “alam” menunjukkan baik pada kondisi psikologis (misalnya kebahgiaan atau perasaan senang), maupun kondisi objektif (sosial, biologis, histori, dan ekonomis),termasuk konvensi.
Kita akan membahas beberapa dari teori-teori naturalistik, yakni teori-teori hedonistik dan eudaemonia.
a)            Hedonisme. Hedonisme berpandangan bahwa sikap atau tindakan
Yang baik adaah sikap atau tindakan yang dapat emnimbulkan perasaan sen-ang atau bahgia. Rumusnya: “suatu tindakan adalah baik”, artinya tindakan itu kondusif bagi kesenangan. Menurut pandangan ini, mencari keuntungan ekomoni yang sebesar-besarnya adalah baik, karena mendatangkan perasaan senang pada diri saya. Demikian juga, perbuatan menolong adalah baik, kika mendatangkan perasaan senang dalam diri saya.
b)            Hedenismeegoistik. Hedonismeegoistik memiliki keyakinan bahwa”suatu tindakan adalah baik”, artinya tindakan itu kondusif sebesar-besarnya kesenangan dan sekecil-kecilnya rasa sakita pada diri saya. Pandangan egoistik ini disebut juag hedonistik psikologis. Menurut pandangan ini, mencari keuntungan sebesar-besarnya dan mencegah kerugian sekecil-kecilnya adalah baik, karena mendatangakan perasaan senang dan terhindar dari perasaan tidak menyenangkan pada diri saya.
c)            Hedonisme Universal (Utlitarialisme). Bagi hedonisme universal, “suatu tindakan adalah baik”, berarti tindakan itu kondusif bagi sebesar-besarnya kesenangan dan sekecil-kecilnya rasa sakit pada masyarakat. Meski tidak bersifat egoistik, karena berkenaan dengan kesejahteraan sosial, dengan kebebasan dan demokrasi, dengan keadilan sosial, tetapi disebut hedonistik juga karena landasannya adalah prinsip kesenangan, kadang-kadang prinsip kegunaan (utilitarianisme).
d)           Eudaemonisme. Eudaemonisme berkeyakina bahwa “suatu tindakan adalah baik”, berati tindakan itukondusif bagi kesejahteraan (well-being). Orang yang bahagia adalah orang yang hidup menurut hukum alam atau menurut sifat dasarnya. Setiap makhluk mempunya sifat dasarnya sendiri, atau tujuannya sendiri. Pada manusia, gembira berati memnuhi fungsi khususnya sebagai manusia dan kemanusiaannya. Ini berarti suatu tindakan adalah baik berarti tindakan itu mengisi fungsi eksistensi kemanusiaannya. Di samping teori-teori hedonisme dan eudaemonisme, terdapat teori lain lagi, yakni teori harmoni. Teori ini menegaskan bahwa istilah-istilah etis menunjukkan pada harmoni antara tindakan manusia dan struktur dan tuntutan lingkungan. Suatu pernyataan atau tindakan dinilai etis jika ada kesesuaian antara pernyataan atau tindakan itu dengan lingkungan yang lebih luas dalam alam. Manusia yang hidup secara harmonis dengan alam, beranti menjalani kehidupan yang biak. Jidi, rumusan adalah: “suatu tindakan adalah baik” berarti tindakan itu harmonis (serasi) dengan alam atau lingkungan. John Dewey (salah seorang tokoh teori harmoni) menegaskan bahwa jika manusia, khususnya inteligensinya, merupakan produk dari evolusi. Oleh sebab itu, “suatu tinndakan adalah baik” berarti tindakan itukondusif bagi penyesuaian diri dengan lingkungannya. Manusia yang mampu bertahan hidup (survival of the fittest) adalah manusia yang memiliki kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan hal itu adalah baik.

2.10.3    Teoti-teori Teologis
Teori-teori  teologis menerjemahkan istila-istiah etis ke dalam istilah-istilah yang bukan alami (nonnatural), melainkan ilahi. Teori ini menegaskan bahwa kebenaran etis diketahui dan diverifikasikan oleh wahyu atau kehendak tuhan. Ini artinay bahwa suatu tindakan adalah baik berarti tindakan itu sejalan dengan hukum atau kehendak tuhan. Menolong orang atau membantu tetangga adalah baik, karena memang demikian tuhan memfirmankannya dalam kitap suci. Tindakan melakukan korrupsi adalah baik, bukan karena korupsi merugikan negara atau berbuat tidak bermoral, melainkan terutama karena tuhan melarang untuk melakukannya, atau tidak sesuai dengan ajaran agama.
2.10.4    Teori-teori untranslatability
Meyakini bahwa istilah-istilah etissama sekali tidak dapat diterjemahkan ke dalam ungkapan-ungkapan non-etis. Menurut G.E.Moore (1873-1958), kebaikan, seperti halnya warna biru, merupakan kualitas yang sederhana dan mudah dikenal, tetapi tidak bisa didefinisikan. Tidak ada kata-kata yang dapat digunakan untuk menjelaskannya warna biru. “kebaikan” pun demikian, tidak bisa diterjemahkan kedalam sesuatu yang lain. Perbedaan dengan warna biru adalah: jika warna biru merupakan kualita natural yang tidak bisa didefinisikan, kebaikan menunjukkan pada kualitas nonnatural yang tidak bisa didefinisikan. “baik” tidak bisa didefinisikan dalam arti bahwa ia tidak mempunyai kesamaan, tidak mempunyai bagian-bagian, tidak mempunyai pengganti.
Emitivisme. Menurut emoivisme, teori-teori translability mengandalkan konsepsi yang sempit mengenai bahsa. Fungsi bahsa yang sesungguhnya adalah deklarifikasi, deskritif, indikatif, atau referensial. Padahal, pernyataan-pernyataan dan istilah-istilah etis adalah emotif, bukan kognitif, jadi tidak bersifat deklaratif, deskriptif, indikatif, atau referensial.
Ada eman hal yang perlu diketahui bahwa dalam argumentasi yang dikemukakan oleh teori emotif. Pertama, istilah-istilah atau pernyataan-pernyataan etis tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa nonetis. Kedua, konsep-konsep etis; konsekuensinya, tidak benar atau salah. Ketiga, pernyataan-pernyataan etis adalah ekspresif, artinya tidak menunjukkan pad a sesuatu di luar dirinya. Keempat, wacana etis tidak mengekspresikan apa pun; wacana etis digunakan semata-mata untuk mengekspresikan sikap, yakni  favorable atau unfavorable, setuju atau tidak setuju. Kelima,  bahasa etis dimaksudkan untuk persuasi. Keenam,  beberapa perimbangan faktual relevan dengan pertimbangan-pertimbangan etis.
Intuitionisme. Menurut teori ini kebebasan etis tergantung pada instuisi prinsip-prinsip yang self-evident. Tanpa dikatakan melalui ungkapan-ungkapan bahsa sekali pun, kita dapat menangkap tindakan –tindakan etis dan tidak etis, baik dan buruk. Korupsi adlah buruk atau tindakan bermoral, karena memang demikian  adanya (self-evident). Tidak
Perlu kata-kata untuk mengungkapkannya, karena pelaku korupsi pun mengenai dengan pasti tindakan tidak bermoral yang teklah dilakukan. Buktinya, mereka cemas dan berusaha menutupi perbuatannya, jiakada orang lain (petugas penegak hukum) yang mengetahui perbuatannya!
2.11  Sejarah Filsafat Barat
Mempelajari ilmu pengetahuan empiris seperti fisika, biologi, psikologi, antropologi, dan ilmu-ilmu lainnya dapat dilakukan tanpa mempelajari sejarah lahir dan berkembangnya ilmu-ilmu pengetahuan tersebut.mahasiswa tingkat strata satu (S1) dari fakultas psikologi misalnya dapat menjadi seorang psikolog yang baik tanpa mengetahui sejarah dari ilmu yang mereka pelajari (sejarah psikologi).
Namun, tidak demikian halnya dengan filsafat. Mahasiswa yang hendak mempelajari filsafat tidak akan dapat memahami filsafat tanpa mempelajari sejarah filsafat. Pemikiran filsafat pada dasarnya merupakan sejarah pemikiran para filsuf. Seorang filsuf yang berfilsafat akan berangkat dari, dan sekaligus melakukan kritik terhadap pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya. Kita hanya akan dapat memahami pemikiran sang filsuf itu jika kita mengetahui pemikiran-pemikiran para filsuf sebelumnya.
Filsafat dewasa ini pun pada dasarnya merupakan perpanjangan sejarah filsafat masa lalu. meski sudah berjalan ribuan tahun yang lalu, pemikiran para filsuf Yunani Kuno (Abad ke-6 Sebelum Masehi) dan para filsuf sesudahnya (misalnya pemikiran filsafat para filsuf Abad Pengetahuan) masih memberi warna pada pemikiran para filsuf modern dan kontemporer. Oleh sebab itu, pada bagian ini saya akan mencoba member ringkasan sejarah pemikiran filsafat Barat, mulai dari awal kelahirannya di Yunani hingga abad kita ini (kontemporer) di negara-negara Eropa dan Amerika.
Sejarah filsafat barat terbagi dalam empat periode, yakni periode yunani kuno, abad pertengahan, modern, dan kontemporer (Abad ke-20 dan 21).

2.12       Filsafat Yunani Kuno (600 SM – 500 SM)
Filsafat Yunani dimulai sejak abad ke-6 SM. Namun, sbelum lahirnya filsafat telah ada beberapa kondisi yang perlu untuk kita ketahui karena kondisi-kondisi tersebut berperan penting bagi kemunculan pemikiran filsafat Yunani pada saat itu. Menurut Bertens (1975). Kondisi-kondisi tersebut adalah: mitologi, kesusasteraan, pengaruh ilmu pengetahuan dari bangsa timur (Mesir dan Babilonia), dan kehidupan sosial politik.
2.12.1    Mitologi
Jauh sebelum filsafat lahir, masyarakat Yunani telah mengenal mite-mite. Mite-mite tersebut berfungsi sebagai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai teka-teki atau misteri alam semesta dan kehidupan yang dialami langsung oleh masyarakat Yunani pada saat itu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain mengenai asal-usul alam semesta; sebab-sebab bencana (antara lain, gempa bumi); sebab-sebab gerhana; dan lain sebagainya. Salah satu contoh mitos yang sangat terkenal adalah mengenai sebab-sebab terjadinya gempa bumi. Kenapa gempa bumi terjadi? Masyarakat Yunani pada saat itu meyakini bahwa dewa Poseidon, yakni seorang dewa penjaga bumi dan laut, sedang marah dan ingin memberi hukuman pada penghuni bumi (manusia) dengan cara menggoyang-goyangkan. Mite-mite seperti itu merupakan upaya masyarakat Yunani untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang misteri alam semesta.
2.12.2    Kesusasteraan
Masyarakat Yunani telah lama mengenal kesenian, khususnya kesusasteraan. Pada tahun 850 SM misalnya telah terbit puisi Homeros yang berjudul Ilias dan Odyssea, sebuah karya seni yang hingga hari ini masih sangat terkenal. Sebuah ahli dalam psikologi dewasa ini meyakini bahwa kesenian, termasuk kesusasteraan, dapat memperhalus emosi dan meningkatkan kecerdasan. Filsafat Yunani hanya mungkin lahir dan berkembang dalam suatu masyarakat yang memiliki kehalusan perasaan dan ketajaman intelektual. Kesusasteraan dapat memperhalus perasaan dan mempertajam kecerdasan manusia Yunani pada saat itu.

2.12.3 Pengaruh Ilmu Pengetahuan dari Bangsa Timur (Mesir dan Babilonia)
Selain di Yunani, pada saat yang sama di beberapa negara lain pun berkembang pemikiran-pemikiran intelektual. Di Mesir misalnya, telah berkembang ilmu ukur, yang berawal dari upaya pengukuran ketinggian air sungai Nil. Dengan mengetahui ketinggian air yang aman, mereka dapat melakukan perdagangan dan perjalanan. Orang Yunani belajar ilmu seperti itu dari bangsa Timur. Namun, mereka belajar dan menggunakan ilmu itu bukan hanya untuk tujuan praktis, melainkan juga teoretis. Mereka menggunakan ilmu tidak untuk jangka pendek seperti untuk berdagang atau melakukan perjalanan, melainkan untuk ilmu itu sendiri. Mereka belajar dan mengembangkan ilmu untuk menemukan kebenaran.
2.12.4    Sosial-Politik
Pemerintahan Yunani Kuno sering disebut sebagai cikal-bakal pemeintahan demokratis. Ini dapat dipahami karena di negara ini diterapkan kehidupan sosial politik yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, setiap warga negara memiliki otonomi dalam bidang hukum dan memiliki kemerdekaan politik untuk mengemukakan pendapat. Kedua, ada “negara-negara bagian” yang disebut polis. Kondisi polis saat itu sangat kondusif untuk perkembangan intelektual. Di setiap polis terdapat agora (pasar), tempat di mana warga Negara bukan hanya melakukan transaksi ekonomi (jual beli barang), melainkan juga tempat belajar dan member pengajaran (pendidikan).
Dengan kondisi atau latar belakang seperti itu, sangat dimungkinkan muncul dan berkembangnya pemikiran liberal seperti filsafat Yunani. Orang Yunani memiliki kebebasan untuk mencari jawaban sendiri atas pertanyaan-pertanyaan mengenai alam semesta dan kehidupan dengan menggunakan akal mereka. Mereka berusaha berpikir sendiri untuk menemukan jawaban tentang asal usul alam dan kehidupan.
2.12.5    Filsuf-Filsuf yang Membahas Alam
Sejarah filsafat yunani diawali dengan munculnya filsafat alam. Dinamakan demikian karena para filsuf pertama Yunani berusaha mencari jawaban tentang asal-usul dan kejadian alam semesta. Ada sejumlah filsuf yang cukup terkenal, di antaranya adalah thales (624 SM – 546 SM), Anaximandros (610 SM – 546 SM), Anaximenes. (585 SM – 528 SM), dan beberapa filsuf lainnya.
Thales (624 SM – 546 SM) dianggap sebagai filsuf pertama di Yunani. Ia adalah filsuf yang berusaha untuk menemukan arkhe (asas atau prinsip) alam semesta. Menurutnya, prinsip pertama alam semesta adalah air. Semua berawal dari air dan berakhir ke air juga. Tidak ada kehidupan tanpa ada air. Tidak ada satu makhluk hidup pun yang tidak mengandung unsur air. Demikian juga tubuh manusia. Dewasa ini sejumblah ilmuwan dalam bidang kedokteran menyebutkan bahwa unsur terbanyak dalam tubuh manusia (di atas 80%) adalah air.
Filsuf berikutnya setelah Thales adalah Anaximandros (610 SM – 546 SM). Ia adalah murid Thales. Seperti yang dilakukan oleh gurunya, ia pun mencari arkhe. Namun baginya, arkhe yang sejati bukan suatu anasir yang dapat diamati oleh pancaindera, melainkan sesuatu yang tidak tampak. Menurutnya, prinsip utama yang mendasari segala-galanya bukanlah air, melainkan to apeiron, “yang tak terbatas”. Alasannya, sesuatu fisik pasti berubah, sedangkan yang berubah pasti bukan arkhe. Oleh sebab itu, untuk mencari arkhe kita jangan terkecoh oleh unsure-unsur yang bersifat fisik. Di dalam yang fisik itu, Anaximandros menemukan to apeiron. Segala-galanya tak terbatas. Jumblah benda-benda fisik yang dapat diamati adalah tanpa batas. Demikian juga dengan hal-hal yang nonfisik: bilangan atau angka tidak terbatas; keinginan-keinginan kita tidak ada batasnya; bahkan batas pandangan atau horizon kita pun tak terbatas: batas pandangan bergeser terus sesuai dengan ketinggian posisi tempat kita berdiri.
Anaximenes. (585 SM – 528 SM). Menurutnya, asal-usul segala sesuatu adalah udara. Kenapa udara? Karena udara merupakan bahan dasar yang membentuk semua benda yang ada dalam alam semesta. Jika kumpulan udara sangat banyak maka ia berubah bentuk menjadi awan atau sesuatu yang dapat dipandang mata; jika basah maka ia akan menjadi air hujan; dan jika awan menjadi padat,maka ia menjadi tanah atau batu atau bahkan badan manusia.
Demikianlah, karena filsafat mereka memfokuskan diri pada kejadian dan gejala alam semesta, maka filsafat mereka disebut filsafat alam. Kejadian alam menarik perhatian mereka. Mereka mengamati peristiwa-peristiwa alam seperti horizon atau cakrawala langit, musim hujan dan kemarau,pasang surut air laut, pergerakan matahari dan rembulan, pergantian cuaca dan bencana alam. Kejadian-kejadian tersebut menarik perhatian mereka. Mereka takjub, heran, wonder. Filsafat muncul  dari rasa heran. Apakah dibalik kejadian alam itu ada sesuatu kekuatan? Apakah kekuatan itu berupa materi atau immateri? Mereka mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut melalui pemikiran rasional, meski barang kali naïf bagi kita sekarang ini. Namun, harus diakui bahwa pada zamannya pemikiran mereka sudah relatif maju. (pemikiran kita sekarang pun barangkali tanpa naïf bagi generasi-generasi yang akan dating). Bandingkan misalnya dengan mitologi-mitologi yunani seperti dijelaskan di atas!
Dari hasil penyelidikan para filsuf pertama tadi tampak adanya kesamaan diantara mereka, yakni mereka memandang alam semesta sebagai keseluruhan yang bersifat tunggal sehingga dapat dijelaskan berdasarkan pada satu prinsip saja (bertens, 1975). Namun, mereka berbeda dalam menentukan prinsip dasar yang menyatukan kesatuan alam semesta itu. Thales mengasalkan prinsip itu pada air, Anaximandros pada to apairon, dan Anaximenes pada udara
2.12.6    Filsuf-Filsuf yang Membahas Ilmu Pasti Dan Metafisika
Di samping mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tentang asal-usul alam semesta, terdapat sejumlah filsuf yang tertarik untuk memfokuskan diri pada ilmu pasti dan metafisika. Tokoh-tokohnya antara lain Pythagoras (570–490 SM), Herakleitos (535–475 SM), Parmenides (hidup sekitar abad ke-5 SM), Zeno (490–430 SM).
Pythagoras (570-490 SM). Ajaran Pythagoras yang terkenal adalah tentang bilangan atau angka. Ia menyusun oktaf-oktaf (musik) yang bisa dibaca berdasarkan bilangan (matematik). Menurutnya, nada-nada (dalam musik) dikuasai oleh hukum-hukum matematis, sehingga untuk menguasai nada-nada diperlukan kemampuan memahami angka-angka. Ia pun mengatakan bahwa dalam angka terdapat harmoni. Misalnya ganjil-genap, satu-banyak, kiri-kanan, gelap-terang, baik-jahat, dan lain-lain. Pendapat Pythagoras kemudian berkembang lebih jauh dengan mengatakan bahwa semua kenyataan dapat dicocokkan dengan perhitungan-perhitungan atau kategori-kategori matematis. Ilmu pengetahuan alam modern sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Pythagoras tadi. Galileo Galilie (1564-1642) misalnya, mengatakan bahwa alam semesta ditulis dalam bahasa matematis, persis seperti yang dikatakan oleh Pythagoras belasan abad sebelumnya.
Herakleitos (535-475 SM) membahas mengenai mertafisika. Menurutnya, segala sesuatu yang ada di alam semesta itu mengalir, berubah-ubah. Tidak ada sesuatu pun yang tinggal mantap tanpa mengalami perubahan (phanta rhei kai uden menei). Apa yang menjadi sumber perubahan itu? Sumber perubahan itu adalah api. Api (panas) adalah lambang perubahan. Karena api, semua dapat berubah. Air menjadi uap, kayu menjadi abu, warna menjadi pudar, dan seterusnya. Bahkan hidup manusia pun tidak mungkin tanpa ada api (panas)!
Parmenides (hidup sekitar abad ke-5 SM). Tokoh ini banyak membahas ontologi. Ia menentang pendapat Herakleitos tentang perubahan. Menurut pendapat Parmenides, gerak atau perubahan itu tidak mungkin. Jika semua berubah, bagaimana kita mengetahui ada perubahan, karena kita sendiri berubah? Bagaimana kita mengetahui bahwa yang berubah itu berasal dari seesuatu yang pasti juga telah berubah dari asalnya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ia menggunakan istilah-istilah yang biasanya ditemukan dalam ontologi, yakni “ada” (being) dan “tidak ada” (non-being). Kajian mengenai ontologi dewasa ini seperti yang dilakukan oleh Heidegger, tidak bisa tidak akan membicarakan ontologi Parmenides.
Zeno (490-430 SM). Zeno adalah murid paling cerdas dari Parmenides. Ia membela gurunya dalam perdebatan dengan Herakleitos. Menurutnya, gerak atau perubahan tidak mungkin. Ia mengajukan beberapa pemikiran penting tentang: (1) Argumentasi melawan gerak (perubahan); (2) Argumentasi melawan pluralitas; (3) Argumentasi melawan ruang. Pemikiran filsafatnya sangat penting dan berdasarkan pada pemikiran-pemikiran yang sangat logis dan orisinal. Konon argumentasi-argumentasi yang dia ajukan banyak mengilhami dan memengaruhi para filsuf, ahli matematika, ahli fisika, dan siswa-siswa di sekolah-sekolah di Yunani selama berabad-abad. Salah satu prinsip dalam logika yang disebut reductio ad absurdum berasal dari Zeno.
2.12.7    Filsuf-filsuf Pluralis
Filsafat Thales, Anaximandros, dan Anaximenes dapat dikategorikan sebagai filsafat monisme. Monisme adalah pandangan filsafat yang mengandaikan prinsip alam semesta ke dalam satu unsur saja. Thales misalnya mangasalkan prinsip itu pada air, Anaximandros pada to apairon, dan Anaximenes pada udara. Namun, pada filsuf berikutnya menolak filsafat monism. Mereka justru berkeyakinan bahwa anasir alam semesta bukan satu, melainkan banyak. Dalam bahasa yang digunakan oleh mereka, yang ada bukan tunggal, tapi jamak (plural). Pandangan ini dinamakan Pluralisme.
Tokoh-tokoh aliran pluralisme antara lain Empedokles (490-430 SM) dan Anaxagoras (500-428 SM). Menurut Empedokles (490-430 SM), ada empat unsur atau anasir dalam alam semesta, yaitu: api, udara, tanah, dan air. Dia menyebut unsur-unsur tersebut “akar-akar”. Setiap benda berasal dari kombinasi keempat unsur tersebut. Komposisi unsur-unsur yang berbeda menghasilkan benda-benda yang berbeda. Misalnya, benda-benda hidup lebih banyak mengandung unsur air, dibandingkan benda-benda mati. Karena hanya ada empat unsur yang ada dalam alam semesta maka tidak ada yang baru lagi dalam kehidupan. Yang tampak baru pada dasarnya adalah baru dalam komposisinya saja. Penambahan dan pengurangan salah satu unsur dalam sebuah benda akan tampak seolah-olah benda itu menjadi baru.
Anaxagoras (500-428 SM) tidak setuju dengan pendapat Empedokles. Menurutnya, unsur-unsur atau anasir-anasir itu jumlahnya pasti lebih dari empat, melainkan tidak berhingga dan masing-masing unsur bercampur baur satu sama lain. Semua unsur tersebut sudah ada sejak awal munculnya alam semesta, meski pada awalnya saling terpisah satu sama lain. Alam semesta terbentuk karena percampuran semua unsur tersebut. Terbentuknya benda baru disebabkan oleh pemisahan unsur-unsur tertentu dari percampuran unsur-unsur sebelumnya yang tak terbatas, dan unsur-unsur tersebut kemudian bercampur membentuk sesuatu yang baru. Terbentuknya badan manusia pun sama prosesnya seperti itu. Demikian juga jiwa manusia. Jiwa manusia terbentuk dari perpaduan unsur-unsur yang sangat tidak terbatas, tetapi unsur-unsur tersebut lebih murni, independen, dan halus dibandingkan unsur-unsur yang membentuk benda-benda lainnya.
2.12.8    Filsuf-filsuf Atomis
Filsuf-filsuf atomis adalah para filsuf yang memiliki pandangan bahwa unsur-unsur paling dasar yang membentuk alam semesta adalah berupa atom-atom. Atom-atom adalah unsur-unsur terkecil dari semua benda yang ada dalam alam, sehingga keberadaannya tidak dapat diamati oleh pancaindera. Atom-atom ini adalah unsur-unsur paling kecil yang pernah ada dalam alam semesta, sehingga keberadaannya tidak dapat dibagi-bagi lagi. Jumlah atom sangat tidak terbatas. Dari atom-atomlah semua benda terbentuk, termasuk alam semesta.
Tokoh-tokoh filsafat atomistik antara lain Leukippos (hidup di awal pertengahan abad ke-5 SM) dan muridnya yang bernama Democritus (460-370 SM). Leukippos adalah filsuf pertama yang mengembangkan teori atomisme, namun Democritus yang mensistematisasikan dan menyempurnakan pemikiran Leukippos. Selain mengajukan teori mengenai atom Leukippos pun mengajukan pendapat mengenai kejadian-kejadian dalam alam semesta. Dia menulis, “Nothing happens at random (maten), but everything from reason (ek logou) and by necessity.” Pernyataan ini adalah prinsip dasar pertama dalam logika, yakni the principle of sufficient reason.
Democritus melangkah lebih jauh dari gurunya dengan menjelaskan bentuk dan hubungan antar atom-atom. Atom-atom membentuk materi-materi. Materi-materi yang padat dibentuk oleh atom-atom yang padat. Besi misalnya terbentuk dari atom-atom yang padat dan kuat sehingga menjadikan benda ini (besi) sangat keras. Sebaliknya, benda-benda yang lembut seperti air dan udara dibentuk dari atom-atom yang lebih halus.
2.12.9    Filsafat Para Sofis
Antara Abad ke-5 sampai ke-4 SM, dunia pendidikan dan pengajaran di Yunani dijalankan oleh para sofis. Mereka (para sofis) adalah para filsuf yang sangat mahir berpidato, berdebat, dan sekaligus juga mendidik. Mereka mendidik anak-anak muda dan berpidato serta berdebat di pasar-pasar atau pusat-pusat keramaian (dinamakan “agora”) di setiap negara-kota (dinamakan “polis”). Pendidikan dan pengajaran di Yunani saat itu dijalankan oleh para sofis ini.
Ajakan para sofis sangat  berbeda dari para filsuf sebelumnya. Mereka tidak tertarik pada filsafat alam, ilmu pasti, atau metafisika. Mereka menilai filsafat-filsafat sebelumnya terlalu mengawang-awang. Mereka mengkritik filsafat-filsafat sebelumnya. Mereka lebih tertarik pada hal-hal yang lebih konkret seperti makna hidup manusia, moral, norma, dan politik. Hal-hal inilah yang dianggap perlu diajarkan pada generasi muda dan dikembangkan untuk kelangsungan negara.
Namun, sayangnya, seringkali kepandaian dan keterampilan mereka berdebat disalahgunakan untuk membalikkan kebenaran-kebenaran dan moralitas-moralitas. Kebenaran dan moralitas oleh mereka dibuat relatif. Meraka meragukan adanya kebenaran objektif dan universal. Mareka maragukan segala sesuatu dan kemudian mereka membuat justifikasi sendiri untuk kebenaran yang mereka bangun sendiri melalui argumentasi-argumentasi subjektif (Bertens, 1975). Akibatnya, semua orang dianggap memiliki kebenaran sendiri, sejauh memiliki kemampuan dalam berargumentasi dalam perdebatan.
Fokus pemikiran mereka yang terarah pada manusia an sich membawa mereka pada keyakinan bahwa manusia adalah ukuran segala-galanya. Tidak ada nilai-nilai baik, benar, atau indah dalam dirinya sendiri. Semuanya dianggap baik, benar, indah jika dihubungkan dengan persepsi individu. Akibatnya adalah bahwa tidak ada keniscayaan, tidak ada kebenaran yang objektif dan universal. Semuanya adalah relatif. Para sofis member tekanan pada relativisme nilai. Akibatnya, sendi-sendi kepastian moral dan hukum dalam masyarakat Yunani menjadi terancam.
Meski nama-nama para sofis diasosiasikan dengan hal-hal negatif karena pandangan-pandangannya yang relativistik, namun harus diakui bahwa tidak semua sofis memiliki pandangan demikian. Tokoh-tokoh seperti Protagoras (490-420 SM) dan Hippias (460 SM) adalah tokoh-tokoh yang relatif berwibawa dan terkemuka pada saat itu dan memiliki reputasi yang positif. Di samping itu, ajaran para sofis pun sangat berharga bagi perkembangan filsafat Yunani, sehingga tidak dapat diabaikan sumbangannya bagi sejarah filsafat Yunani. Pengaruh mereka amat besar dalam filsafat Yunani. Tiga serangkai filsuf paling terkemuka Yunani seperti Socrates (470-399 SM), Plato (428/427- 348/347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM) lahir pada zaman para sofis hidup dan dibesarkan di antara mereka.
2.12.10      Socrates (470-399 SM)
Seperti para sofis, Socrates pun mengarahkan kajian-kajian filsafat yang semula sangat abstrak dan jauh dari praksis kehidupan sehari-hari, menjadi lebih praktis dan konkret. Oleh Socrates filsafat diarahkan pada penyelidikan tentang manusia, etika, dan pengalaman hidup sehari-hari, baik dalam konteks individu (psikologis), sosial, maupun politik.
Namun, Socrates sangat menentang relativisme yang diajarkan oleh para sofis. Menurutnya, kebenaran bukanlah sesuatu yang subjektif dan relatif. Kita dapat menangkap adanya kebenaran objektif, yang tidak tergantung pada individu yang memikirkan atau menggapainya. Dalam kehidupan sehari-hari, ada perilaku yang baik dan tidak baik, yang pantas dan yang tidak pantas untuk dilakukan. Penentuan baik dan buruk, pantas dan tidak pantas tidak terletak pada kekuatan argumentasi orang per orang, melainkan pada sesuatu yang sifatnya universal. Berbuat jahat di mana pun adalah buruk, sedangakan berbuat baik pasti merupakan kebaikan. Kebaikan bukan saja akan membawa kebahagiaan pada pelakunya, tetapi juga karena dalam dirinya memang baik.
Bagaimana Socrates mengetahui adanya kebenaran yang tidak subjektif itu? Menurut Socrates, metode yang dijalankan olehnya bukanlah penyelidikan atas fakta-fakata melainkan analisis atas pendapat-pendapat atau pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh orang atau oleh negarawan. Ia selalu bertanya tentang apa yang diucapkan oleh mereka atau oleh teman bicaranya itu. Jika mereka atau para negarawan bicara tentang kebaikan dan keadilan, ia kemudian bertanya apa yang dimaksud dengan adil dan baik itu? Jika mereka bicara tentang keberanian, ia bertanya apa yang dimaksud dengan berani, pemberani, dan pengecut? Dan seterusnya. Metodenya ini disebut dialektika, yakni “bercakap-bercakap” atau berdialog. Socrates sendiri membandingkan metodenya ini dengan metode seorang bidan dalam membantu persalinan. Bidan memiliki keahlian dalam membantu persalinan, sehingga melalui bantuannya lahirlah ke dunia bayi-bayi sehat dari rahim para ibu. Socrates bertindak seperti bidan. Namun, yang dilahirkan bukan bayi, melainkan ide-ide yang dimiliki oleh orang-orang yang dibidaninya. Ia mengaku tidak menyampaikan pengetahuan, melainkan dengan pertanyaan-pertanyaannya ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain agar keluar dalam bentuk ide-ide.
Filsafat Socrates banyak membahas masalah-masalah etika. Ia beranggapan bahwa yang paling utama dalam kehidupan bukanlah kekayaan atau kehormatan, melainkan kesehatan jiwa. Prasyarat utama dalam hidup manusia adalah jiwa yang sehat. Jiwa manusia harus sehat terlebih dulu agar tujuan-tujuan hidup yang lainnya dapat diraih. Tujuan hidup yang paling utama adalah kebahagiaan (eudaimonia). Namun, kebahagiaan dalam bahasa Yunani bukan dalam arti seperti sekarang, yakni mencari kesenangan. Kebahagiaan dalam bahasa Yunani berarti kesempurnaan (Bertens, 1975). Plato dan aristoteles setuju dengan pendapat  Socrates bahwa eudaimonia merupakan tujuan utama kehidupan. Jalan atau cara untuk mencapai kebahagiaan adalah arête (kebajikan). Orang yang bajik adalah orang yang mampu hidup bahagia.
2.12.11Plato (428/427 – 348/347 SM)
Plato adalah murid Socrates. Dia menganalogkan manusia dalam menjalankannkehidupan sehari-hari dengan para tahanan yang selama hidupnya terkurung dalam gua. Kepala mereka enggan menengok ke belakang (ke lubang gua) dan hanya terarah pada dinding gua belaka. Oleh sebab itu, mereka tidak dapat melihat sumber cahaya di luar gua. Mereka hanya melihat bayangan dirinya sendiri saja, yang sumber cahayanya berasal dari lubang gua dibelakang badan mereka.
Apa arti perempuan itu? Melalui perumpamaan itu plato hendak menyampaikan dua hal. Pertama, kebanyakan manusia terpaku pada kehidupan duniawi, yang cepat berubah dan fana itu. Seolah-olah kehidupan yang fana itu adalah kehidupan yang sejati. Padahal kenyataan yang sesungguhnya adalah berupa dunia ide, yakni dunia yang menjadi sumber yang memancarkan kehidupan di alam fana ini. Dunia ide yang dimaksudkan oleh plato bukanlah ide-ide yang ada dalam pikiran manusia, melainkan dunia objektif yang ada “di luar sana” (di luar gua), yang mengatasi dunia kehidupan sehari-hari kita.
Kedua, Plato mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan inderawi, yang sumbernya adalah pengamatan atau pengetahuan indera. Padahal pengetahuan yang sebenarnya bersumber dari rasio dan berobjekan dunia ide. Dunia pancaindera hanya merupakan “cermin” dari dunia ide.dalam dunia ide hanya terdapat hal-hal yang umum, seperti “kesegitigaan” dan “kekudaan”. Segitiga atau kuda yang kita lihat di dunia ini sesungguhnya adalah pantulan dari ide segitiga dan kuda yang bersifat umum, yang ada dalam dunia ide. Pengamatan inderawi tidak dapat mengetahui dunia ide. Dunia ide hanya dapat diketahui melalui rasio. Plato menganjurkan agar manusia menggunakan rasionya untuk menemukan kebenaran.
Selanjutnya Plato menyusun filsafat manusia yang bersifat dualistik. Manusia terdiri dari dua unsur yang berbeda, yakni tubuh (benda) dan jiwa (ide-ide). Jiwa merupakan bagian dari dunia ide,sedangkan tubuh dari dunia yang bersifat fana. Fungsi jiwa adalah untuk mengendalikan nafsu yang bersumber dari tubuh. Fungsi jiwa seperti kusir pedati yang harus mengedalikan jalannya kuda (tubuh) yang menarik pedati itu. Selanjutnya, karena jiwa berasal dari dunia ide, maka ia tidak akan musnah meski kubuh (yang berasal dari dunia fana) sudah hancur (mati).
Keyakinannya pada keberadaan jiwa dan ide membawa Plato pada penyusunan metode dalam mendapatkan pengetahuan (epistemologi). Dia mengembangkan metode deduktif, yakni suatu cara berfikir yang dimulai dari premis-premis umum atau mayor untuk kemudian diperoleh kesimpulan-kesimpulan yang lebih khusus atau kesimpulan-kesimpulan yang tidak melampui premis-premis mayornya. Penggunaan metode ini sangat pas jika dalam berpikir kita berangkat dari premis-premis atau teori-teori yang sangat umum. Hingga hari ini cara berfikir ini masih digunakan bukan hanya dalam ilmu logika, tetapi juga dalam praktik berpikir ilmiah atau teoretis.
Dalam karyanya yang paling terkenal, yakni Republic, Plato mengemukakan pemikiran mengenai negara ideal (utopis) yang dipimpin oleh filsuf raja (philosopher king). Pemimpin negara ini bercirikan sebagai berikut: cerdas, rasional, mampu mengendalikan diri dalam berbagai situasi, mampu membuat keputusan yang adil bagi semua warga negara, dan tentu saja cinta pada kebijaksanaan. Karena sifat-sifatnya tersebut, sang filsuf raja ini menempati kelas atas dalam pemerintahan. Kelas berikutnya adalah kelas prajurit (warriors). Mereka adalah kelas yang sangat pemberani, kuat, dan terorganisir. Kelas berikutnya lagi adalah kelas pekerja (workers), diantaranya adalah para petani, pedagang, peternak, dan lain-lain.
Dalam filsafat manusia yang dikemukakan oleh Plato disebutkan bahwa kelas-kelas sosial tersebut analog dengan bagian-bagian tubuh manusia: kepala merupakan simbol dari filsuf raja (pemimpin bangsa), dada simbol dari prajurit, dan perut ke bawah (sampai kaki) simbol dari pekerja.
2.12.12      Aristoteles (384-322 SM)
Aristoteles adalah murid Plato. Namun, dia menentang ajaran gurunya tentang keberadaan dunia ide. Dia mengaku bahwa dia sangat menyayangi gurunya, tetapi kecintaannya pada kebenaran membuatnya dia berbeda pandangan dari gurunya itu. Menurutnya, tidak ada dunia ide itu, tidak ada kesegitigaan, atau kekudaan yang sumbernya dari dunia ide. Yang ada adalah segitiga atau kuda ini dan itu saja; jadi segitiga dan kuda yang konkret. Tetapi ia setuju dengan pendapat Plato, bahwa pengetahuan yang sejati harus berkenaan dengan yang umum dan universal, bukan hal-hal individual. Pengetahuan haruslah mengenai semua segitiga atau semua kuda, bukan mengenai segitiga atau kuda ini dan itu. Pelajaran penting yang dapat dipetik dari ajaran Plato tentang ide-ide adalah menjamin kemungkinan adanya pengetahuan yang bersifat umum dan kebenarannya tidak berubah-ubah. Namun, pengetahuan itu bukan dari dunia ide, tetapi dari benda-benda yang dapat diamati.
Oleh sebab itu, selain mengembangkan cara berpikir deduktif, dia pun mengembangkan cara berpikir atau metode berpikir induktif. Kebalikan dari deduksi atau metode deduktif, metode induktif dimulai dari pengamatan-pengamatan empiris dan kemudian ditarik kesimpulan yang isinya melampaui objek-objek yang diamati. Dengan demikian, dalam metode induktif ada proses generalisasi, yakni menarik kesimpulan yang lebih umum dari pada objek-objek yang diamati. Melalui metode ini maka Aristoteles mengembangkan sejumlah kajian yang menjadi cikal-bakal sejumlah ilmu pengetahuan modern, misalnya biologi, geologi, fisika, anatomi, disamping filsafat, psikologi, retorika, ilmu politik, dan lain-lain.
Dalam bidang filsafat Aristoteles mengajarkan sebuah teori tentang hylemorphism, teori “bentuk-materi”. Setiap benda memiliki bentuk dan sekaligus materi. Misal sebuah patung. Patung terdiri dari bahan tertentu dan bentuk tertentu. Bahan misalnya kayu atau batu; bentuk misalnya kuda atau raja. Bentuk tidak dapat lepas dari materi, dan demikian juga sebaliknya. Bahkan, sebelum menjadi bentuk patung, materi yang sama memiliki bentuk yang lain, misalnya kayu bundar dan panjang atau batu yang lonjong.
Namun, Aristoteles tidak mengajarkan materi dan bentuk yang dapat dilihat atau yang bersifat individual, malainkan sebagai prinsip-prinsip metafisis saja. Materi dan bentuk harus diandaikan, bukan harus dilihat dan bersifat individual. Bentuk-bentuk yang dimaksud oleh Aristoteles dianggap sebagai ide-ide (yang sudah ada dalam pikiran manusia) yang sudah pindah ke dalam benda-benda konkret.
Teori ini menjadi dasar bagi filsafat Aristoteles tentang manusia. Berbeda dari pandangan Plato, ia sangat menekankan kesatuan manusia. Manusia merupakan satu kesatuan substansi bentuk dan materi. Bentuk adalah jiwa dan tubuh adalah materi. Karena bentuk melekat pada materi, maka jiwa akan hancur begitu tubuh mati. Tidak mungkin ada keabadian jiwa.
2.13      Filsafat Abad Pertengahan (400-1500 SM)
Ini adalah zaman dimana filsafat berfungsi sebagi alat untuk pembenaran atau justifikasi ajaran agama (“the philosophy as a handmaiden of theology”). Sejauh filsafat bisa melayani teologi, ia bisa diterima. Namun, filsafat yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama dan gereja, ditolak. Banyak buku-buku filsafat zaman Yunani kuno yang ditemukan kembali di zaman ini, tetapi banyak di antaranya yang diberangus, karena dinilai pemikiran kaum kafir. Kebebasan berpikir dipangkas. Oleh sebab itu, zaman ini sering dinamakan Abad Kegelapan Filsafat. Relatif tidak ada ajaran filsafat baru yang berkembang pada saat ini.
Kekuasaan gereja yang begitu kuat bukan hanya menghambat perkembangan filsafat, tapi juga ilmu pengetahuan. Pada saat itu tidak dimungkinkan adanya temuan ilmiah yang bertentangan dengan ajaran gereja. Teori Kopernikus (1473-1543) yang kemudian disebut “Revolusi Kopernikan” pun ditentang gereja. Untuk pertama kali dalam sejarah ilmu pengetahuan filsafat, Kopernikus menemukan bahwa matahari adalah pusat alam semesta dan semua planet, termasuk bumi, mengelilingi matahari. Namun, teorinya itu bertentangan dengan ajaran gereja yang pada saat itu percaya bahwa bumi adalah pusat alam semesta dan semua planet (termasuk matahari) mengelilingi bumi. Oleh sebab itu, Kopernikus harus menahan diri untuk tidak memublikasikan temuannya secara terbuka.
Di bidang filsafat sendiri, terdapat beberapa cirri khas filsafat yang patut untuk dicatat. Cirri-ciri itu antara lain: filsafat banyak membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan keyakinan (iman) dengan rasio, keberadaan dan kesatuan tuhan, teologi dan metafisika, dan persoalan-persoalan epistemologis seperti pengetahuan mengenai yang universal dan individual.
Beberapa filsuf Kristen (Katolik) yang cukup terkemuka pada zaman ini diantaranya adalah augustinus (354-430), Boethius (480-525), Thomas Aquinas (1225-1274), Duns Scotus (815-877), William Ockham (1288-1348). Sedangkan para filsuf Muslim di antaranya: Alkindi (801-873), Alfarabi (850-970), Ibnu Siena (980-1037). Para filsuf Yahudi antara lain: Maimonides (1135-1204) dan Gersonides (1288-1344). Berikut ini salah satu contoh ajaran filsafat abad pertengahan yakni filsafat Thomas Aquinas.
2.13.1    Thomas Aquines   (1225-1274)
Thomas Aquinas adalah seorang filsuf paling terkenal pada masa abad pertengahan. Ada sejumlah pemikiran filsafat yang ditulis oleh dia, tetapi deskripsi di bawah ini akan dibatasi pada ajarannya mengenai “Lima Argumen Untuk Membuktikan Keberadaan Tuhan”. Argument-argumen tersebut adalah sebagai berikut:
2.13.2    Argumen Pertama: Gerak
Tidak ada sesuatu pun yang mampu bergerak dengan sendirinya. Sesuatu yang bergerak dipastikan memiliki sesuatu yang menggerakan. Sesuatu yang menggerakan pasti juga mempunyai penggerak, demikian seterusnya. Namun, ada akhir dari penyebab yang menggerakkan itu. Penyebab yang menggerakkan semua itu disebut penggerak pertama. Penggerak pertama itu harus berupa kekuatan yang maha besar, jadi pasti bukan manusia mahluk serupa manusia. Penggerak pertama itu adalah Tuhan.
2.13.3    Argumen Kedua: Sebab-Akibat
Tidak ada sesuatu pun yang eksistensinya disebabkan oleh dirinya sendiri. Tidak munkin sesuatu menjadi sebab sekaligus akibat bagi eksistensinya sendiri. Suatu kejadian adalah akibat dari suatu penyebab dan penyebab itu pun merupakan akibat dari penyebab-penyebab lainnya. Demikian seterusnya sampai ditemukan penyebab awal. Jika tidak ada penyebab awal, tidak akan terjadi rangkaian akibat sesudahnya. Atau, rangkaian kejadian tersebut tidak munkin tanpa penyebab awal. Penyebab awal itu adalah Tuhan.
2.13.4    Argumen Ketiga: Ada dan Tiada
Segala sesuatu yang terdapat dalam alam semesta ini dating dan pergi, lahir dan mati, ada dan tiada. Sesuatu yang bisa ada dan tiada berarti ada di dalam waktu, terkena arus waktu, jadi tidak munkin selamanya ada. Dengan begitu, ada masa di mana alam semesta ini belum ada. Keberadaan alam semesta dengan demikian bersifat kontingen (contingent being). Sangat tidak masuk akal jika ketika alam semesta ini belum ada, belum ada sesuatu yang Niscaya ada (exact being). Dipastikan bahwa ada sesuatu yang niscaya ada sepanjang masa. Sesuatu yang Niscaya Ada sepanjang masa. Sesuatu yang Niscaya Ada itu adalah Tuhan.
2.13.5    Argumen Keempat: Kelas Kualitas
Ada beragam kualitas yang melekat pada objek, mulai kualitas yang lebih baik sampai yang lebih buruk. Penilaian kualitas tersebut memerlukan acuan yang paling absolut dan sempurna. Acuan paling absolute dan sempurna itu tidak lain adalah Tuhan.
2.13.6    Argumen Kelima: Keteraturan Perencanaan
Alam semesta berjalan secara teratur dan keteraturan itu pasti bukan sesuatu yang kebetulan. Keteraturan itu geraknya mengikuti suatu pola, berjalan seperti sebuah anak panah menuju tujuan tertentu yang dikehendaki pemanahnya. Pemanahnya itu adalah Tuhan.
2.14      Filsafat Modern (1600-1900)
Filsafat modern berawal pada paruh kedua abad ke 16 Masehi, setelah terlebih dulu dimulai oleh Gerakan Renaissance dan humanism di Eropa Barat (pertengahan tahun 1300-an hingga 1600). Gerakan ini merupakan reaksi atas kekuasaan gereja. Menurut gerakan ini, manusia pada prinsipnya merupakan pusat dari alam semesta, sehingga memiliki kebebasan untuk mencari kebenarannya sendiri. Berbeda dari pandangan filsafat yang berkembang pada Abad pertengahan, pada zaman ini banyak filsuf berpegang teguh pada pendirian bahwa manusia pada hakikatnya bukan sebagai viator mundi (penjiarah di muka bumi), melainkan sebagai vaber mundi (pekerja atau pencipta dunianya). Manusia harus mencari sendiri kebenaran , bukan bersandar pada ajaran yang telah diberikan oleh gereja dan agama.
Upaya melepaskan diri dari kekuasaan gereja membawa mereka pada penggalian karya-karya lama dari zaman yunani kuno. Doktrin-doktrin heliosentris dari Pythagoras (582 SM-496 SM) serta karya-karya Archimedes (287 SM-212 SM), Flippokrates (460-370 SM), dan ahli-ahli fisika atomistik pada waktu itu, digali dan dikaji ulang. Leonardo da Vinci (1452-1519) Kopernikus (1437-1543), dan Galileo Galilei (1564-1642) misalnya menimba pelajaran berharga dari karya-karya mereka. Doktrin terkenal Phitagoras bahwa “alam semesta tertulis secara matematis”, menjadi asumsi yang berkembang  pesat di lingkungan para ilmuwan dan filsuf. (pada masa itu sulit untuk dibedakan antara ilmuwan dan filsuf. Sampai abad ke-18 pun apa yang dinamakan ilmu pengetahuan sering disebut “filsafat alam”. Ini tampak misalnya dari buku terkenal Isaac Newton yang dipublikasikan pada tahun 1687, berjudul The mathematical Principles of Natural Philosophy). Atas dasar asumsi itu, mereka mengajarkan bahwa cara terbaik untuk menjelaskan gejala alam bukanlah dengan mengacu pada ajaran gereja, melainkan pada eksperimentasi dan perhitungan-perhitungan matematis. Meurut mereka, “buku alam harus diinterogasi secara eksperimental dan matematis”.
Dalam bidang filsafat muncul kecenderungan untuk menggali akar-akar pengetahuan (epistemologi). Berkembangnya ilmu-ilmu alam (filsafat alam) mendorong para filsuf untuk mempertanyakan tentang apakah sebetulnya pengetahuan itu? Dari mana sebetulnya sumber pengetahuan? Apakah pengetahuan barasal dari pengalaman atau dari rasio manusia? Pertanyaan-pertanyaan tersebut memunculkan aliran-aliran rasionalisme dan empirisme.
Namun, berkembangnya ilmu-ilmu alam pun mendorong para filsuf untuk bertanya tentang hakikat manusia. Apakah manusia itu merupakan materi (alam fisik) atau berupa jiwa? Apakah proses kimiawi dan gerak mekanis yang terjadi pada alam juga terjadi dalam diri manusia? Atau manusia adalah pengecualian, sehingga tidak bisa dikenai proses kimiawi dan mekanis seperti itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menimbulkan bermacam-macam jawaban. Materialisme mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya adalah materi, jadi tidak berbeda dari materi-materi lain yang ada dalam alam semesta. Sebaliknya, idealisme mengajarkan bahwa bukan materi, melainkan jiwa yang merupakan intisari manusia, sehingga semua gerak-gerik badan manusia adalah bersumber dari kekuatan yang bersifat rohani, yakni yang ilahi dan jiwa manusia.
Para filsuf pada zaman ini di antaranya adalah: Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobbes (1588-1679), Rene Descartes (1596-1650), Spinoza (1632-1677), John Locke (1632-1704), Leibniz (1646-1716), Berkeley (1685-1753), Hume (1711-1776), Kant (1724-1804), Fichte (1762-1814), Hegel (1770-1831), Bentham (1748-1832), Schopenhauer (1788-1860), Comte (1798-1857), Jhon Stuart Mill (1806-1873), Kierkegaard (1813-1855), Marx (1818-1883) and Engels (1820-1895), Nietzsche (1844-1900), James (1842-1910).
Berikut ini beberapa contoh pemikiran filsafat yang dikemukakan oleh beberapa filsuf dari abad modern.


2.14.1    Francis Bacon (1561-1626)
Francis Bacon adalah  salah seorang filsuf pertama yang berusaha menggali perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan alam dan menyusun metode ilmiah yang disebut Novum Organum (Alat atau Metode Baru). Metode ini sangat menekankan metode induktif dalam mendapatkan pengetahuan atau dalam teori menyusun teori ilmu pengetahuan. Bacon yang tertarik pada upaya-upaya yang dilakukan oleh para ilmuan seperti Kopernikus, Gallileo Gallilei, Leonardo da Vinci dalam melakukan penelitian-penelitian ilmiah, percaya bahwa yang terpenting dalam menyusun teori ilmiah adalah metode induksi. Melalui metode ini para ilmuan berangkat dari pengamatan-pengamatan terhadap kasus-kasus khusus untuk kemudian menyusun kesimpulan-kesimpulan umum tersebut dipakai untuk menilai dan menyeleksi kasus-kasus lain secara deduktif. Jadi, metode baru ini beranjak dari fakta-fakta empiris ke kesimpulan sementara dan dari kesimpulan sementara bergerak lagi ke kesimpulan sementara lainnya, sebelum sampai pada suatu kesimpulan akhir atau teori ilmiah. Bacon menyebut langkah-langkah itu sebagai “tangga intelektual” (ladder of intelect).
Bacon adalah seorang filsuf yang sangat percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat menjadi alat kekuasaan. Dia menulis, “knowledge is power”. Dengan pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan, seorang individu dapat mempengaruhi dan menaklukkan orang-orang lain, dan suatu bangsa dapat mempengaruhi dan menaklukkan bangsa-bangsa lain.
2.14.2    Thomas Hobbes (1588-1679)
Dalam karya utamanya yang berjudul Leviathan, Hobbes menulis bahwa tingkah laku manusia pada dasarnya sejalan dengan hukum alam. Dia meminjam teori Newton tentang hukum gerak pertama yang nyatakan bahwa benda-benda akan bergerak secara tetap, kecuali mendapatkan gaya dari luar. Melalui teori Newton itu Hobbes mau menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya adalah serigala bagi serigala lainnya, karena selalu memiliki kecenderungan untuk menerkam, bersaing, dan berperang. Maka harus ada “gaya” dari luar diri mereka, yaitu hukum, peraturan, undang-undang yang ketat yang diberlakukan di lingkungan sosialnya. Namun jika tidak alami, akibatnya adalah hidup manusia bisa jadi membosankan, tidak menarik, miskin, menjijikan, dan tidak dapat bertahan hidup lama. Oleh sebab itu, perlu ada kontrak sosial yang didasarkan pada hukum alam yang juga tidak terlalu membatasi dan mengungkung manusia.
2.14.3    Rene Descartes (1596-1650)
Salah seorang filsuf yang sangat terkenal dari zaman ini adalah Rene Descartes. Ia disebut Bapak Filsafat Modern, tapi juga sering disebut-sebut Bapak Psikologi (Abidin, 2009). Yang menjadi perhatian utama filsafatnya terutama adalah masalah pengetahuan (epistemologi) dan manusia (filsafat manusia), khususnya masalah hubungan jiwa-badan.
Sebetulnya Descartes bukan hanya filsuf, tapi juga ahli dalam bidang matematika. Dalam ilmu ukur kita masih mengenal titik Cartesian, yakni titik-titik pada segi empat dalam sebuah grafik. Sebagai seorang ahli matematika dan filsuf, ia ingin mengetahui dari mana sesungguhnya sumber pengetahuan matematis itu. Asal mula pengetahuan matematis tentunya bukan dari pengalaman, karena pernyataan-pernyataan matematis tidak memerlukan pembuktian empiris (pancaindera). Sumber pengetahuan matematis pastinya berasal dari rasio. Ia menganggap bahwa pengetahuan harus menjadi persoalan pertama yang digali sebelum kita berfilsafat. Filsafat modern mulai dari epistemologi, bukan dari alam (metafisika dan ontologi). Dengan epistemologi maka dimungkinkan kita membahas alam semesta dan objek-objek pengetahuan lainnya.
Filsafat Descartes tentang epistemologi dikategorikan ke dalam aliran rasionalisme. Karena argumentasi-argumentasi-argumentasinya yang sangat kuat dalam meyakinkan pentingnya rasio dibandingkan pengalaman empiris dalam mendapatkan pengetahuan, maka Descartes sering disebut bapak rasionalisme modern. Filsafatnya (dan filsafat dari para filsuf rasionalis yang berasal dari negara-negara Continental lainnya) merupakan lawan dari empirisme Inggris (Hume dan Locke). Dalam salah satu karyanya tentang metode untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat niscaya, dia mengajukan empat prinsip berikut:
a)      Jangan pernah menerima ide sebagai hal yang benar, kecuali ide yang kita yakini kebenarannya itu sudah tidak dapat diragukan lagi.
b)      Untuk mencapai kesimpulan yang niscaya, pilah-pilahlah suatu permasalahan menjadi bagian-bagian kecil dan sederhana, kemudian pujilah masing-masing bagian tersebut secara hati-hati dan menyeluruh.
c)      Pengujian dilakukan dari bagian-bagian paling sederhana sampai yang paling kompleks secara bertahap, jangan pernah melompati satu tahapan pun dalam pengerjaannya.
d)     Catatlah secara detil dan menyeluruh setiap hasil pengujian tersebut dan jangan sampai ada yang terlewat atau tercecer sedikitpun.
Dari empat prinsip yang diajukan oleh Descartes di atas tidak satupun yang menuntut pengujian empiris!
Filsafat manusia Descartes cukup menarik karena mencoba menghubungkan dua substansi yang saling bertentangan yang terdapat pada manusia, yakni tubuh dan jiwa. Manusia adalah makhluk dengan dua substansi yang tidak terpisahkan, yakni tubuh dan jiwa. Kedua substansi tersebut satu sama lain saling berhubungan sehingga dalam setiap perilaku manusia kedua substansi tersebut saling memengaruhi satu sama lain. Dalam psikologi hubungan antara jiwa/badan tersebut dinamakan psikosomatik. Seorang individu yang sedang sakit secara fisik dapat berpengaruh pada sakitnya jiwa, demikian juga sebaliknya (Penjelasan lebih lengkap tentang filsafat manusia Descartes, lihat Abidin, 2009).
2.14.4    John Locke (1632-1704)
Berbeda dari Descartes, John Locke berkeyakinan bahwa semua pengetahuan manusia diperoleh melalui pengalaman, dan alat-alat indera (penglihatan, penciuman, peraba, dan lain-lain) merupakan pintu masuk bagi pengalaman tersebut. Keyakinan ini merupakan inti dari aliran empirisme. Locke percaya bahwa pikiran atau jiwa bayi yang baru lahir serupa dengan kertas kosong atau tabula rasa. Pengalaman sepanjang hidup si bayi hingga menjadi tua kelak serupa dengan tulisan yang dituliskan dalam pikiran dia. Jadi, tidak ada pengetahuan yang berasal dari luar pengalaman.
Semua pengetahuan manusia pada dasarnya merupakan ide-ide yang disajikan pikiran manusia melalui pengalaman yang pernah dialaminya. Ada dua tingkatan ide, yakni yang sederhana dan yang kompleks. Ide-ide sederhana adalah berupa ide-ide yang langsung diperoleh melalui indera, seperti warna jingga, rasa asam, bau harum, suara merdu, rasanya halus, dan lain-lain. Sedangkan ide-ide yang kompleks adalah ide-ide hasil penggabungan dari dua atau lebih ide-ide yang sederhana yang diolah oleh pikiran. Misalnya, konsep kuda, kursi, binatang, manusia, laki-laki, perempuan, dan lain-lain. Ide-ide kompleks pun tidak selalu harus nyata. Misalnya, kuda terbang, yang merupakan gabungan antara kuda dan hewan lain (misalnya, burung) yang punya sayap.
2.14.5    Karl Marx (1818-1883)
Karl Marx adalah tokoh filsafat modern yang paling banyak dikenal oleh dunia. Pemikiran-pemikiran filsafat politik dan ekonominya dianggap merupakan ancaman terhadap kapitalisme Barat. Pengaruh filsafatnya sangat luar biasa karena bukan hanya dikalangan akdemik, tetapi terutama di dunia politik dan ekonomi. Konon, sebelum “perang dingin” antara Blok Barat (Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya) dan Blok Timur (Uni Soviet atau Rusia dan sekutu-sekutunya) usai diawal tahun 1980-an, hampir separuh negara yang ada di dunia ini dipengaruhi oleh ajaran Marx. Negara-negara Uni Soviet (sekarang Rusia) dan negara-negara di Eropa Timur, China, Kuba, dan beberapa negara lain di Asia dan Afrika menerapkan idelogi komunisme yang dasar-dasar filsafatnya adalah dari ajaran Marx.
Berbeda dari filsuf-filsuf sebelumnya, Marx menjadikan filsafat lebih praktis. Dia mengecam filsafat konvensional atau tradisional. Menurut Marx, filsafat (dan juga ilmu pengetahuan) selama ini hanya berperang menjelaskan realitas atau masyarakat. Padahal yang terpenting adalah mengubah realitas atau masyarakat, yakni dari yang semula berada dalam kondisi tidak adil dan tidak sejahtera, menjadi adil dan sejahtera. Dengan demikian, filsafat bukan lagi suatu kajian teoretis belaka, melainkan menjadi suatu praktis politik dan ekonomi. Menurut Marx, sejarah peradaban manusia pada dasarnya adalah serangkaian pertentangan dan perjuangan kelas yakni antara kelas pemilik alat-alat produksi (eksploiters atau kelas atas) dan kelas yang bekerja untuk pemilik alat-alat produksi (yang dieksploitasi atau kelas bawah). Dulu kelas pemilik alat-alat produksi adalah para bangsawan pemilik tanah, sedangkan kelas yang dieksploitasi adalah para petani penggarak tanah milik bangsawan. Kini (pada saat Marx hidup) yang menjadi kelas pemilik alat-alat produksi adalah kaum borjuis atau kapitalis, sedangkan kelas yang dieksploitasi adalah kaum proletar atau buruh.
Di mana perang pemerintah diantara dua kekuatan yang berseteru tersebut? Pemerintah pada dasarnya merupakan lembaga yang diciptakan oleh kelas atas (eksploiters). Mereka menggunakan pemerintahan untuk menguasai perekonomian suatu negara atau masyarakat. Dengan kekuatan ekonominya mereka dapat menentukan nilai-nilainya pada pemerintah dan masyarakat luas. Mereka membayar pemerintah untuk menerbitkan beragam undang-undang yang menguntungkan ekonomi mereka, tetapi seringkali merugikan kelas bawah (petani atau buruh).
Oleh sebab itu, dibutuhkan kesadaran kelas, untuk menyatukan kekuatan kelas bawah dan merebut alat-alat produksi dari para pemilik modal yang sangat eksplitatif dan rakus tersebut. Alat-alat produksi harus direbut dan dimiliki secara kolektif oleh para pekerja (buruh). Ini adalah komunisme yang dicita-citakan oleh Marx. Untuk mencapai tujuan itu cara yang harus ditempuh adalah melakukan revolusi. Kaum pekerja (buruh) harus melakukan revolusi dan membangun negara komunis. Dalam masyarakat komunis, tidak lagi ada kelas-kelas dan pertentangan kelas; tidak ada pula kerakusan. Yang ada adalah kebaikan hati (generousity). Barang melimpah karena setiap orang mendapatkan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Marx memang mengecam kapitalisme. Kapitalisme dinilai jahat, karena menjadikan para pengusaha menjadi sangat kaya, tetapi buruh atau pekerja tetap miskin. Ia menegaskan bahwa kapitalisme dengan sendirinya akan hancur. Terdapat beberapa nilai yang melekat dalam kapitalisme, yang akan membawa pada kehancurannya sendiri (Magnis-Suseno, 1991). Runtuhnya kapitalisme berkaitan dengan nilai-nilai yang melekat di dalam sistem kapitalisme itu sendiri. Niali-nilai tersebut antara lain:
a)      Nilai dan martabat manusia hanya diukur dari kualitas pekerjaannya atau produktivitasnya, bukan dari kemanusiaannya. Akibatnya, faktor kepemilikan ekonomi menjadi sangat signifikan karena menjadi ukuran nilai dan martabat manusia.
b)      Nilai upah subsistensi. Nilai pekerjaan para buruh diukur dengan upah yang hanya memadai untuk bisa hidup (subsistensi). Tidak ada masalah berapa lama mereka bekerja dan keterampilan apa yang dimiliki oleh mereka, mereka hanya akan menerima upah sekadarnya (subsistensi).
c)      Nilai lebih. Nilai lebih adalah “kelebihan” nilai yang telah dilakukan oleh para buruh, tetapi tidak menjadi hak mereka. Mereka dipaksa bekerja melampaui batas sewajarnya tetapi mereka dibayar hanya untuk bertahan hidup. Jadi ada eksploitasi buruh oleh kapitalis.
Marx selanjutnya mengatakan bahwa kaum pekerja diramalkan akan berontak karena mereka pun mengalami alienasi (keterasingan). Ada beberapa dimensi keterasingan (Magnis-Suseno, 1991):
a)      Terasing dari produknya sendiri. Buruh tidak bisa menarik keuntungan dari barang-barang buatannya sendiri. Yang menarik keuntungan adalah pengusaha. Mereka hanya menjadi komoditas, bagian dari produksi yang dibayar murah. Dilema buruh: “tidak produktif, risikonya dikeluarkan; produktif, tidak memperoleh apa-apa”.
b)      Terasing dari pekerjaannya. Pekerjaan tidak memberi kebahagiaan atau kepuasan. Mereka bekerja bukan untuk bekerja, melainkan sekadar untuk bisa hidup. Mereka tidak memilih pekerjaan, melainkan terpaksa bekerja karena tidak ada pilihan lain.
c)      Terasing dalam dunia sosial. Dalam masyarakat kapitalisme, hubungan antar manusia cenderung disederhanakan menjadi hubungan pasar. Uang, dan bukan hubungan personal atau hubungan atas dasar cinta dan kepercayaan, menjadi faktor dominan. Segalanya diukur dengan uang. (Bahkan, percintaan dan perjodohan pun ditentukan oleh uang).
d)     Terasing dari alam. Dalam masyarakat kapitalisme, manusia menjadi adaptor alam, bukan penguasa alam. Disamping itu, industri menjauhkan manusia dari lingkungan alaminya.


2.15      Filsafat Kontemporer (1900-Dewasa ini)
Filsafat kontemporer, yang diawali pada awal abad ke-20, ditandai oleh variasi pemikiran filsafat yang sangat beragam dan kaya. Mulai dari analisis bahasa, kebudayaan (antara lain, postmodernisme), kritik sosial, metodologi (fenomenologi, heremeutika, strukturalisme), filsafat hidup (eksistensialisme), filsafat ilmu, sampai filsafat tentang perempuan (feminisme). Teme-tema filsafat yang banyak dibahas oleh para filsuf  dari periode ini antara lain tentang manusia dan bahasa manusia, ilmu pengetahuan, kesetaraan gender, kuasa dan struktur yang mengungkung hidup manusia, dan isu-isu aktual yang berkaitan dengan budaya, sosial, politik, ekonomi, teknologi, moral, ilmu pengetahuan, dan hak asasi manusia.
Ciri lainnya adalah filsafat dewasa ini ditandai oleh profesionalisasi disiplin filsafat. Maksudnya, para filsuf bukan hanya profesional dibidangnya masing-masing, tetapi juga mereka telah membentuk komunitas-komunitas dan asosiasi-asosiasi profesional dibidang-bidang tertentu berdasarkan pada minat dan keahlian mereka masing-masing. Oleh sebab itu, dewasa ini adalah batas-batas yang jelas untuk menentukan mana filsuf yang memiliki kualifikasi dan mana yang amatiran. Profesionalisasi disiplin filsafat pun tampak dengan jelas dari munculnya jurnal-jurnal terkemuka dalam bidang filsafat. Ada cukup banyak jurnal filsafat, baik yang diterbitkan dalam bentuk cetak maupun elektronik (on line atau e-journal). Leiter (2009) melakukan survei di sejumlah negara untuk mengetahui popularitas dan kualitas jurnal-jurnal filsafat. Hasilnya cukup mengejutkan, karena ditemukan 19 jurnal yang dinilai sebagai jurnal yang paling berbobot. Jurnal-jurnal tersebut diantaranya adalah: Philosophical Review, Journal of Philosophy, Philosophy and Phenomenological research, Philosophical Quarterly, dan lain-lain.
Sejumlah filsuf yang termasuk sebagai filsuf-filsuf kontemporer antara lain adalah: Wilhelm Dilthey (1833-1911), Edmund Husserl (1859-1938), Henri Bergson (1859-1941), Ernst Cassirer (1874-1945), Bertrand Russell (1872-1970), Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Thomas Kuhn (1922-1996), Gilbert Ryle (1900-1976), Martin Heidegger (1889-1976), Jean Paul Sartre (1905-1980), Simone de Beauvoir (1908-1986), Richard Rorty (1931-2007), Paul Ricour (1913-2005), Theodor W. Adorno (1903-1969), Jacques Lacan (1901-1981), Foucault (1926-1984), Levi-Strauss, Karl Popper (1902-1994), Jurgen Habermas (1929-….), Slavoj Zizek (1949-….), dan lain-lain.
Berikut adalah beberapa contoh pemikiran filsafat dari zaman kontemporer.
2.15.1    Wilhelm Dilthey 1833-1911
Selain seorang filsul, Dilthey pun adalah seorang sejarawan yang humanis, oleh sebab itu, dia sangat menentang upaya-upaya yang dilakukan oleh para ilmuan sosial pada zamannya untuk menjadikan ilmu pengetahuan alam (IPA) sebagai model bagi ilmu pengetahuan sosial (IPS). Ada kecenderungan para ilmuwan abad ke-19 dan bahkan hari ini untuk menjadikan metode IPA sebagai model untuk metode IPS. Dalam filsafat ilmu pengetahuan upaya-upaya seperti itu dinamakan positivasi IPS. Alasan yang dikemukakan oleh Dilthey kenapa dia menentang upaya-upaya itu adalah fakta bahwa ada perbedaan antara IPA dan IPS, terutam dalam objek kajiannya. Objek kajian IPA adalah benda-benda alam, sedangkan objek IPS adalah gejala tindakan manusia. Oleh sebab itu, metode penyelidikannya pun harus berbeda dari metode IPA.
Ia membedakan secara tegas antara Geisteswissenchaften (IPS) dari Naturwissenchaften (IPA). Meetode IPS tidak harus meniru metode IPA, karena IPS pada dasarnya adalah suatu hermeneutika, atau seni memahami makna-makna yang tersembunyi di balik gejala tindakan-tindakan atau aksi-aksi manusia. Disamping itu, tujuan IPS pun berbeda dari IPA karena IPS bertujuan untuk memahami motif tindakan individu dari “dalam”, sedangkan IPA menjelaskan gejala alam dari “luar”. Berikut adalah tabel perbedaan diantara kedua jenis ilmu tersebut.
Tabel 4. Perbedaan antara IPS (Geisteswissenchaften) dengan IPA (Naturwissenchaften)

Geisteswissenchaften
Naturwissenchaften
Objek kajian
Geist: ekspresi jiwa manusia (“kehidupan”) dalam bentuk action dan karya-karya manusia
Alam: organis dan inorganis
Metode
Verstehen (Pemahaman) Perangkatnya: analisis intelektual-rasional dan afektif-empatik
Erklaren (penjelasan-kausal)
Perangkatnya dan sifatnya: analisis intelektual, rasional, objektif
Tujuan
Mengungkap pengalaman subjektif atau “batin” (perasaan, ekspektasi, intensi, dll) dari individu atau masyarakat
Menjelaskan sebab-akibat objektif suatu gejala alam

Ada beberapa catatan mengenai tabel di atas. Pertama, Dilthey kadang-kadang menyebut objek Geisteswissenchaften itu “Erlebnis”, yaitu pengalaman khas individu atau masyarakat yang bermakna bagi individu atau masyarakat itu sendiri. Misalnya pengalaman tentang cinta, persahabatan, revolusi, ambisi, penderitaan, kebahagiaan, dan lain-lain. Kedua, tindakan (action) dan karya-karya manusia yang diselidiki oleh IPS pada dasarnya merupakan simbol. “Di balik” atau “di belakang” simbol tersebut terdapat dorongan-dorongan subjektif seperti cinta, persahabatan, pemberontakan jiwa, ambisi, penderitaan, kebahagiaan, dan lain-lain.
Ketiga, Dilthey menekankan pentingnya hubungan antardisiplin diantara ilmu-ilmu pengetahuan (IP) yang termasuk dalam Geisteswissenchaften (antara lain psikologi, seejarah, ilmu budaya, sosial, hukum, sastera). Alasannya, ekspresi jiwa tidak dapat dipilah-pilah ke dalam bagian-bagian (misalnya, bagian hukum, ekonomi, sosial, psikologi, dan lain-lain), sehingga semua ilmu yang termasuk ke dalam IPS memiliki hubungan bersifat antardisiplin atau interdisipliner. Keempat, verstehen adalah pemahaman ilmuwan sosial tentang pengalaman seorang individu atau masyarakat secara mendalam (depth) dan menyeluruh (comprehensive), berdasarkan pada titik pandang atau perspektif individu atau masyarakat yang sedang dipahami oleh ilmuwan itu.
Ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan sosial agar berhasil memahami (verstehen) pengalaman individu-individu lain atau masyarakat yang akan diteliti. Pertama, dia harus memiliki kemampuan untuk memahami makna dari pengalaman manusia secara umum, misalnya penderitaan dan kebahagiaan, cinta, kecemasan dan harapan, pikiran dan perasaan, dan lain-lain. Sumber untuk mendapatkan pengetahuan tersebut misalnya dari pengalaman/perjalanan hidup sehari-hari, sejarah peradaban manusia, karya seni dan sastra, dan alain-lain. Itu semua harus direfleksikan, dihayati oleh kita, agar kita menjadi sensitif terhadap gejala (ekspresi jiwa manusia). Ingat misalnya, bagaimana Sigmund Freud pun sangat memahami sejarah, kesenian, kesusasteraan, dan peradaban Barat (khususnya Yunani Kuno), sebagaimana tampak dari konsep-konsep dalam teorinya, misalnya: “narcisim”, “Oidipus complex”, “Elektra complekx”, dan lain-lain. Kedua, dia harus memiliki pemahaman diri yang baik. (Bagaimana kita bisa memahami orang lain jika kita tidak dapat memahami sendiri?) Ketiga, dia harus memahami kaidah, norma, atau konteks tempat munculnya ekspresi (tindakan dan karya manusia), termasuk di dalamnya: ekonomi, sosial, politik, sejarah, etnis, agama, budaya. Keempat, dia harus menguasai teori-teori tertentu, yang berhubungan secara pas (appropriate) dengan gejala yang hendak dipahami.
2.15.2    Jean Paul Sartre (1905-1980)
Belum pernah ada seorang filsuf pun yang begitu ekstrem seperti Sartre yang menegaskan tentang kebebasan manusia. Manusia, jika Sartre diminta untuk mendefinisikannya, identik dengan kebebasan. Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu dihadapkan pada beragam pilihan, dan pada saat itu pula berarti kita memiliki kebebasan untuk memilih. Bahkan, dalam situasi yang paling menekan karena ada ancaman pun, kita tetap bebas. Misalnya, saya ditodong oleh seorang perampok untuk menyerahkan harta-benda saya. Dalam kondisi ini saya masih memiliki kebebasan, apakah mau menyerahkan apa yang dia minta atau melawan. Apapun pilihan saya, selalu mengandung resiko yang harus saya pikul akibatnya.
Kebebasan yang kita miliki ternyata tidak menyenangkan. Bahkan sering membuat kita merasa cemas. Kebebasan bukanlah “berkah”, melainkan hukuman atau kutukan. Buktinya, kita sering melarikan diri dari kebebasan. Kebebasan mempersyaratkan tanggung jawab pribadi. Semua pilihan yang saya putuskan tidak selalu bisa saya prediksi hasilnya. Dalam kasus-kasus tertentu, kalaulah ternyata pilihan saya tidak tepat, maka hancurlah (sebagain) dari hidup saya. Oleh sebab itu, kita sering menjadi orang malafide, yakni orang yang tidak-autentik karena lari dari kebebasan dan enggan menghadapi resiko akibat kebebasan yang kita miliki. Tidak sulit mencari orang-orang yang tidak-autentik atau malafide seperti itu. Kita sering menemukan individu-individu yang mengasalkan segala perilakunya dari “takdir” atau “nasb”, atau dari kekuatan-kekuatan di luar dirinya, yang menurutnya tidak bisa ditentang atau dihindari. Mereka biasanya mengungkapkan pernyataan-pernyataan seperti, “sifat saya memang begitu, mau apa lagi?”, atau “kehendak para penguasa kita memang demikian, bagaimana kita bisa menentangnya?”, atau “itu sudah menjadi ketentuan para pemimpin kita, sehingga adil atau tidak adil harus kita lakukan”. Itulah pernyataan-pernyataan yang keluar dari mulut-mulut manusia malafide. Apa yang sebenarnya hendak dikatakan oleh mereka adalah, “semua yang saya lakukan itu bukanlah kehendak saya, atau tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan saya, jadi apapun yang terjadi, bukanlah tanggung jawab saya”.
Individu malafide pun bisa tampil dalam bentuk yang lain. Misalnya saja pada seorang individu yang segenap tindak-tanduknya bukan didorong oleh keinginan atau kehendak sendiri, melainkan karena ingin menyesuaikan diri dengan citra yang dibentuk oleh orang lain terhadap dirinya. Katakanlah seorang pelayan yang over-acting seperti yang dicontohkan oleh Sartre berikut ini:
Semua gerakan dan kelakukan pelayan itu sungguh-sungguh berlebihan. Perilakunya sangat ritual.ia membungkukkan badan dalam suatu cara yang begitu rupa, sehingga tampak penuh perhatian dan penuh rasa hormat pada para pelanggannya; ia mendemonstrasikan kemampuannya dalam menyeimbangkan baki yang dibawanya denga terlampau hati-hati. Gerakannya seperti gerakan sebuah permainan. Permainan yang sedang dia mainkan adalah permainan ‘menjadi seorang pelayan’. Ia sangat sadar akan kelakuannya yang memainkan peran pelayan, dan memainkan ‘tarian’ seorang pelayan. …. Semua yang dia lakukan timbul dari keinginannya untuk membuat kondisinya nyata…. Jadi, ia tidak lagi punya pilihan lain, selain secara total dan lengkap larut kedalam kondisi menjadi pelayan. Bukan hanya dia sendiri sebetulnya yang menghendaki berkelakuan seperti itu, tapi juga tekanan dari luar pun menuntutnya untuk demikian. (Sartre, dikutip dari Abidin, 2009, hal.189)
   Dalam bentuk yang lain lagi, manusia malafide bisa saja tampil pada individu atau psikolog yang meyakini teori-teori determinstik dan menjadikan teori-teori tersebut sebagai alasan untuk menyangkal kebebasan dan tanggung jawabnya. Teori yang menyatakan bahwa “watak manusia terbentuk oleh pengalaman-pengalamannya pada masa kanak-kanak awal”, atau “faktor-faktor biologis sangat menentukan perilaku agresif”, oleh individu atau psikolog malafide bisa dijadikan sebagai alasan untuk dimakluminya perbuatan-perbuatan amoral tertentu--atau agar dibebaskannya dari tanggung jawab moral, yang seharusnya dipikul oleh dirinya (Abidin, 2009).
2.16     Manusia sebagai ”Animal SymboliCum”:
2.16.1    Filsafat Manusia Ernst Cassirer (1874-1945)
            Apakah atau siapakah sebetulnya hakikat manusia itu? Ada sejumlah jawaban filsafat yang berusaha menjawab pertanyaan itu. Aristoteles misalnya mendefinisikan manusia sebagai animal rational, hewan yang berfikir (karena memiliki rasio). Filsuf-filsuf lain seperti Karl marx dan Hanna arendt menyebutnya homo faber, hewan yang bekerja. Ernst Cassirer menyebutnya animal symbolicum. Apa sebetulnya animal simbolicum itu?
Pada bagian ini akan dideskripsikan ringkasan pemikiran filsafat Ernst Cassir, yang sumbernya berasal dari  satu buku yang di tulis olehnya, berjudul And Essay On Man. An introduktion To A Fhilosofhy Of Human Cultur. 1944, Yale university press.(edisi bahasa Indonesia diterjamahkan oleh Alois A.Nugroho, berjudul manusia dan kebudayaan ; sebuah Esei tentang manusia. 1987. Jakarta: Gramebia). Didalam bukunya itu Cassirer membagi uraiannya kedalam dua bagian. Bagian pertama berisi uraian yang sangat memikat tentang hakikat manusia sebagai Animal Symbolicum, dan bagian kedua berisi uraian mengenai bentuk-bentuk simbolisme manusia ( bahasa, mite, religi, ilmu pengetahuan, dan seni) yang perwujudannya kedalam dunia sosial disebut “ Kebudayaan “. Berikut ini adalah ringkasan dari bagian pertama buku itu.
2.16.2    Filsafat Ernst Cassirer tentang manusia
Johanes vom uxkull (1864-1944), seorang ahli biologi Jerman  yang cukup terkemuka, menyatakan bahwa setiap organisme, apapun bentuk dan jenisnya, mempunyai pengalaman-pengalaman (dunia – dalam) dan lingkungan-lingkungan alamiahnya (dunia – luar) sendiri yang khas dan kaya. Oleh sebab itu, ia mengkritik setiap usuha yang dilakukan oleh para ilmuan untuk mengeneralisasikan pengalaman-pengalaman dan lingkungan-lingkugan mereka tersebut kedalam bentuk penyamarataan yang sangat artifisial.
Uexkull kemudian mengembangkan sebuah bagan tentang lingkungan biologis, yang sangat orisional dan gemilang. Menurut pendapatnya, cara terbaik untuk menjelaskan kehidupan hewan adalah dengan cara menemukan fakta-fakta anatomis komparatif,yakni membandingkan alam hewani dengan dunia manusiawi. Alasanya adalah bahwa dengan mengetahui struktur anatomis dari suatu spesies hewan tertentu, maka kita memiliki banyak data yang dibutuhkan untuk merekonstruksikan cara pengalaman khusus hewan itu. Pada awalnya dia mengadakan penyelidikan atas organisme-organisme “paling rendah”, dan kemudian memperluas kepada semua bentuk organisme yang “lebih tinggi”. Hasil penyelidikannya memperlihatkan bahwa setiap organismu, mulai dari yang paling rendah sampai paling tinggi, selalu sudah ‘pas’ atau ‘sesuai’ dengan lingkungannya. Hal itu dimungkinkan karena setiap organisme memiliki struktur anatomis tertentu yang pas dengan lingkungannya. Sejalan atau sesuai dengan stuktur anatomisnya, semua hewan memiliki sistem reporter (penerimaan stimulus) dan sistem efektor (yang menimbulkan suatu reaksi terhadap stimulus) tertentu. Keduanya bekerja sama secara kompak. Tampa kerja sama dan keseimbangan diantara kedua sistem, organisme tidak mungkin bisa melangsungkan hidupnya. Kedua sistem itu sama-sama terikat pada satu mata rantai  yang dinamakan “lingkaran fungsional hewani”.
Gagasan penting Uexkull tersebut oleh Cassirer coba dikembangkan secara filsafati, untuk mendeskripsikan dan memerinci ciri-ciri hakiki manusia dan dunianya. Pengembangan ini dimungkinkan karena manusia memiliki struktur fisiologi  yang tidak jauh berbeda dari hewan, dan tidak luput dari hukum-hukum biologis yang mengatur kehidupan organisme. Manusia, dengan perkataan lain, adalah makhluk biologis juga.
Akan tetapi Cassirer berusaha mengungkapkan apa yang tidak diungkapakan oleh Uexkull. Ia sangat yakin bahwa hakikat manusia tidak melulu bersifat biologis. Artinya, manusia tidak dapat diidentikkan dengan hewan. Disamping terdapat “lingkaran fungsional”, pada manusia terdapat karakteristik baru, yang sungguh-sungguh khas manusia. Melalui proses penciptaan yang terus-menerus secara historis, manusia telah menemukan cara baru untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Diantara sistem reseptordan sistem efektor (yang terdapat pada semua spesies hewan) pada manusia terdapat sebuah sistem yang oleh Cassirer disebut ‘’sistem simbolis’’.
Dengan adanya sistem baru ini, maka berubahlah kehidupan manusia. Manusia tidak lagi menempati lingkungan fisik yang sudah jadi, yang telah ‘’ditakdirkan’’ oleh Tuhan atau diberikan begitu saja oleh alam. Manusia pun tidak hanya hidup dalam realitas yang lebih luas saja, yang melampaui realitas dan pengalaman yang dimiliki oleh hewan. Disebabkan oleh sistem simbolis, manusia hidup dalam realitas yang sama sekali ‘’baru’’.
Menurut Cassirer, terdapat perbedaan yang sangat jelas dan tegas diantara reaksi-reaksi hewani dan aksi-aksi manusia. Hewan melakukan respons-respons langsung terhadap rangsang-rangsang dari luar, sedangkan pada manusia respons-respons tersebut ditunda dan diolah lebih dulu. Artinya, manusia respons-respons terhadap stimulus, ‘ditunda’ dan ‘diolah’ oleh sistem kognitif yang rumit, yang disebabkan oleh adanya sistem simbolis tadi. Manusia tidak lagi hidup dalam dunia fisik, terkungkung oleh fakta-fakta yang sudah ‘jadi’, tetapi bergerak dalam jarin-jaring simbolis yang sangat halus dan rumit. Jaring-jaring simbolis tersebut tidak lain adalah kebudayaan, yang mencaakup bahasa, mite, seni, ilmu pengetahuan, dan religi. Melalui jating-jaring simbolis inilah, melalui kebudayaanlah, maka dunia yang nyata menjadi dunia yang mungkin, dunia yang berarti tunggal menjadi dunia yang bermakna jamak.
Karena sistem simbolis yang terdapat dalam setiap pikiran dan pengalaman manusia, maka setiap kemajuan dalam pikiran dan pengalaman manusia pada prinsipnya berarti memperbaiki dan memperkuat jaringjaring tersebut. Jaring-jaring simbolis manusia setiap saat semakin kuat dan kaya, sejalan dengan menguat dan meningkatnya kekayaan pikiran dan pengalaman manusia. Setiap saat, setiap waktu, simbol-simbol tersebut semakin menguat dan padat, sehingga dalam menjalani kehidupan sehari-hari pun manusia tidak perlu lagi berhadap-hadapan langsung dengan realitas. Dalam setiap kehidupan yang dijalani oleh manusia, manusia tidak perlu lagi berhadap-hadapan dengan ‘’bendanya  sendiri’’ tanpa perantara simbolisme. Realitas fisik secara otonomis telah dibingkai dan diberi warna oleh manusia melalui kegiatan-kegiatan simbolik. Manusia tidak pernah lagi memberi reaksi langsung tanpa perantara terhadap stimulus-stimulus, melainkan membungkus dirinya secara rapat dengan bentuk-bentuk bahasa, kesenian, cerita-cerita mitis atau ritual-ritual religius. Ia tidak melihat, merasa, mengetahui apa pun selain melalui simbol-simbol.
Untuk memahami apa yang diungkapkan oleh Cassirer tadi, ambil contoh perilaku makan. Seekor kuda akan langsung memakan makanan yang ditemuinya begitu ia mengalami perasaan lapar. Namun, manusia mempersiapkan makanan yang akan dimakannya sebelum ia sendiri mengalami perasaan lapar. Ia mengolah hampir semua makanannya dengan cara mencampurnya dengan ramuan-ramuan bumbu penyedap dan memasaknya dengan beragam cara, menghidangkannya dengan beragam gaya, dan melakukan beragam ritual doa dengan dengan beragam keyakinan agama. Contoh lain yang hampir serupa adalah hubungan seks. Hewan dapat melakukan hubungan seks pada saat dorongan birahinya muncul atau pada saat ‘’musim kawin’’ tiba. Ia melakukannya secara langsung dengan lawan jenisnya, tanpa rasa cinta, ritual budaya dan agama. Namun, manusia ‘’membudayakan’’ dan mensakralkan hubungan seks itu melalui ritual budaya dan agama, menunda hubungan seks jika belum dilandasi oleh rasa cinta yang disertai komitmen.
Bahwa kegiatan-kegiatan simbolik pada manusia merupakan fakta yang sudah self-evident dan melekat pada manusia, bisa kita perhatikan bukan hanya dalam kajian teoritis (misalnya dalam ilmu dan filsafat), tetapi juga dalam pengalaman praktis dan kehidupan sehari-hari. ‘’dalam dunia praktis pun’’, demikian Cassirer menulis ‘’manusia tidak hidup dalam dunia berupa fakta-fakta kasar, tidak hidup menurut kebutuhan-kebutuhan atau dorongan-dorongan langsung secara spontan. Ia selalu hidup dalam imajinasi, kerinduan dan kecemasan, ilusi dan disilusi, fantasi dan impian, yang kesemuanya itu  diekspresikan melalui simbol-simbol (Cassirer, 1987, hlm. 52).’’  Ambillah contoh lain dari yang paling mudah tentang bagaimana kita memberi nama pada benda-benda yang kita temui, sampai contoh yang paling rumit tentang bagaimana setiap individu dan masyarakat memberikan berbagai interpretasi kepada setiap peristiwa yang dialami dengan menggunakan simbol-simbol. Kesemuanya itu akan menunjukkan satu hal: bahwa melalui kegiatan-kegiatan simboliknya, manusia selalu memberi arti dan interpretasi secara simbolik pada setiap benda atau kejadian, dan tidak bisa lain kecuali ia hidup secara demikian. Atas dasar itulah maka Cassirer mendefinisikan manusia sebagai ‘’animal symbolicum’’. Menurutnya, manusia adalah makhluk yang hidup dalam dunia simbol dan tidak dapat dicabut dari akar-akar simbolismenya. Tanpa akar-akar simbolismenya, manusia sulit untuk disebut manusia!
Untuk lebih mempertajam konsepsinya itu,  Cassirer coba memaparkan secara rinci dan menarik kecenderungan simbolis pada manusia, dengan cara membedakan dari perilaku ‘’simbolis’’ yang terdapat pada lingkungan hewan. Ia menunjukkan banyak temuan ilmiah yang penting yang berasal dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, khususnya dari ilmu biologi dan psikologi komparatif. Dari temuan-temuan tersebut, ia mengakui bahwa pada hewan seolh-olah terdapat ‘’stimulus representatif’’ (stimulus yang bersifat tidak langsung). Misalnya eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh wolfe terhadap kera-kera antrofoid, yang memperlihatkan efektifnya hadiah (reward) hanya dalam bentuk tanda-tanda (Cassirer, 1987, hlm. 42). Eksperimen-eksperimen tersebut seakan-akan membuktikan bahwa hewan pun belajar untuk merespons tanda-tanda itu sebagai ganti hadiah makanan, seolah-olah mereka merespons makanan itu sendiri.
Akan tetapi temuan-temuan tidak menggugurkan pandangan Cassirer yang semula, bahwa hanya manusia yang mempunyai simbol, sedangkan hewan tidak. Untuk memperkuat pandangan itu pertama-tama ia mengadakan penyelidikan atas lapisan-lapisan bahasa manusia. Menurutnya, kita perlu membedakan secara tegas antara bahasa emosi dan bahasa proposisi. Sebagian besar yang diungkapkan oleh manusian memang ada pada lapisan pertama, atau lapisan bahasa emosi. Pada lapisan ini kita memang dapat menemukan banyak analogi dan kesamaan dengan ekspresi-ekspresi hewani. Misalnya saja temuan Wofgang Koehler mengenai perilaku simpanse. Dia membuktikan bahwa hewan-hewan seperti simpanse pun, pada tingkat tertentu, mampu menyatakan diri dengan gerak-gerik bahasa emosional. Emosi-emosi seperti marah, takut, putus asa, gelisah, kangen, sedih dan gembira dinyatakn secara spontan dalam cara itu (Cassirer 1987, hlm. 44). Namun demikian, kita tidak pernah menemukan ada satu unsur pun dalam tingkah laku atau ekspresi hewan yang mirip dan sama dengan lapisan bahasa kedua, yakni bahasa proporsional. Pada lapisan ini kata-kata tidak lagi hanya berupa ‘’seruan’’ atau ‘’teriakan’’, atau ekspresi spontan dari perasaan, melainkan bagian dari kalimat yang memiliki struktur sintaksis dan logis (Cassirer, 1987, hlm. 44)
Didalam lapisan inilah simbol dikatakan khas manusiawi, karena kata-kata punya acuan atau makna ‘’objektif’’, tidak lagi berupa sesuatu yang ‘’subjektif’’ dan instingtif. Mengacu pada pendapat Koehler, Cassirer menulis bahwa seluruh ‘’bahasa’’ yang diekspresikan oleh simpanse sama sekali ‘’subjektif’’’ dan hanya dapat menyatakan emosi-emosi, tetapi tidak pernah menunjuk atau menggambarkan objek-objek. Tingkah laku simpanse, seperti yang kita amati dari wajah dan tubuhnya, maupun bunyi yang mereka teriakkan, sama sekali tidak menunjuk atau menggambarkan objek-objek.
Berdasarkan pada perbedaan antara lapisan bahasa pertama (disebut ‘’bahasa emosional’’) dan lapisan bahasa kedua (disebut ‘’bahasa proporsional’’) tersebut, Cassirer menarik batas yang tegas antara dunia manusia dan lingkungan hewan. Menurutnya, semua teori tentang bahasa hewan harus memerhatikan perbedaan ini. Ia menghimpun banyak informasi tentang masalah ini dan menemukan fakta, bahwa tidak pernah ada bukti mengenai hewan, yang pernah membuat perubahan menentukan dari bahasa subjektif atau emosional (efektif) ke bahasa objektif atau proporsional (kognitif). ‘’Koehler’’, demikian Cassirer merujuk pada karya-karya Koehler dan Georg Revens, ‘’menulis secara tegas bahwa berbicara adalah konsepsi antropologis yang harus disingkirkan jauh-jauh dari penelitian-penelitian dalam psikologi hewan (psikologi komparatif).’’ (Cassirer, 1987, hlm. 45)
Oleh sebab itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkah laku hewan dan ekspresi-ekspresi perasaannya adalah bukan bahasa (prabahasa). Cassirer kemudian merujuk pada pendapat Yarkes, yang menyatakan bahwa semua ekspresi hewan jauh lebih terbatas dibandingkan dengan bahasa manusia. Dari semua referensi yang mendukung argumentasinya tersebut, Cassirer menjadi semakin yakin bahwa hanya manusia yang mempunyai simbol, sedangkan hewan, tidak!
Untuk lebih memperjelas lagi pengertian tentang simbol, Cassirer secara teliti dan hati-hati membedakan antara simbol dan tanda. Ia menginventarisasi banyak informasi mengenai bagaimana hewan hanya mempunyai tanda, tetapi tidak mempunyai simbol. Misalnya pada kasus-kasus hewan piaraan seperti seekor kuda berikut ini:
‘’Beberapa waktu yang lalu terdapat sebuah kasus yang cukup menghebohkan dikalangan para ahli psikologi. Ceritanya begini. Seekor kuda bernama ‘’Hans yang cerdik’’ tampak memiliki kecerdikan yang luar biasa. Ketika kepadanya diajukan soal-soal aritmatika yang agak sulit seperti persoalan akar pangkat tiga, ia mampu menjawab soal-soal tersebut dengan benar. Cara ia menjawab adalah menendang-nendangkan kaki ke tanah sesuai dengan jawaban yang diminta. Para ahli psikologi dan para ilmuwan lainnya diundang untuk meneliti kasus ini. Hasilnya menjadi jelas, bahwa si Hans ternyata tidak menjawab soal-soal tersebut tapi hanya bereaksi terhadap gerakan-gerakan pemiliknya yang dilakukannya tanpa sengaja. Jika pemiliknya tidak tampak oleh si Hans atau bila pemiliknya tidak mengerti soal-soal yang diajukan, maka Hans pun tidak bisa menjawab soal-soal itu’’. (Cassirer, 1987, hlm. 47, catatan kaki 12).
Atau pada kasus tentang kepekaan seekor anjing dalam menangkap tanda-tanda seperti ekspresi wajah atau perubahan nada suara majikannya berikut ini:
‘’seorang ahli psikologi bernama Dr. Pfungst sedang mengembangkan beberapa metode yang baru untuk mempelajari perilaku hewan. Pada suatu hari ia bercerita bahwa ia baru saja menerima surat dari seorang wali kota. Di surat itu ditulis mengenai suatu persoalan yang cukup mengherankan. Setiap kali sang wali kota hendak pergi keluar rumah, si anjing kelihatannya merasa senang dan gembira. Didorong oleh rasa heran yang semakin intens, sang wali kota suatu hari melakukan eksperimen kecil-kecilan. Ia pura-pura hendak pergi keluar rumah. Seperti yang biasanya yang dilakukan jika mau bepergian, ia lalu memakai topinya, mengambil tongkatnya, dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk pergi. Namun, kali ini sebenarnya tidak bermaksud untuk bepergian kemana pun. Sang wali kota merasa heran, karena anjingnya diam saja disudut ruangan, tidak menghiraukan ritual majikannya. Setelah mengamati gerak-gerik anjing itu dan kondisi kamar sang wali kota, Dr. Pfungst dapat menjawab persoalan ini. Dalam kamar wali kota itu terdapat sebuah meja yang ada lacinya. Didalam laci itu terdapat dokumen-dokumen penting dan berharga. Biasanya, jika akan keluar rumah, sang wali kota selalu menarik gagang laci itu untuk memastikan apakah laci itu sudah terkunci dengan aman atau belum. Tapi ketika melakukan eksperimen itu, ia tidak melakukannya.’’ (Cassirer, 1987, hlm. 47, catatan kaki 13)
Dari dua contoh kasus tersebut Cassirer tidak secara gegabah menarik kesimpulan bahwa hewan (kuda dan anjing dalam contoh kasus itu) mampu menangkap atau memahami simbol-simbol manusiawi (aritmatika dan niat yang diekspresikan dalam ritual sebelum berjalan-jalan keluar rumah). Sebaliknya kedua spesies hewan tersebut hanya menangkap tanda, yakni tanda-tanda yang sudah diajarkan oleh si pemilik kuda dan tanda-tanda yang secara mekanis ‘’dipelajari’’ oleh anjing dari ‘’situasi berjalan-jalan’’ sang majikan (wali kota). Tanpa tanda-tanda itu, kuda dan anjing tidak bereaksi.
Menurut Cassirer, terdapat jarak yang sangat jauh antara kepekaan hewan-hewan dalam menangkap tanda-tanda ke pemahaman akan simbol-simbol manusiawi. Ia merujuk pada eksperimen-eksperimen Pavlop, yang menurut Cassirer membuktikan bahwa hewan-hewan dengan mudah dapat dilatih untuk hanya bereaksi pada stimulus atau rangsang tak langsung, yakni terhadap tanda. Bunyi bel misalnya menjadi tanda makan siang dan seekor hewan dapat dilatih untuk tidak menyentuh makanannya bila bel itu tidak (atau belum) berbunyi. Tetapi apa yang dapat kita pelajari di sini hanyalah bahwa si pelatih telah berhasil mengubah ‘situasi makan’ lebih rumit dengan memasukkan unsur baru ke dalamnya secara disengaja, yakni bunyi bel itu. Namun, tambah Cassirer, semua fenomena yang biasanya disebut refleks terkondisi sangat jauh berbeda dengan hakikat pemikiran simbolis manusia. Tanda dan simbol masing-masing terletak pada dua bidang yang berbeda: tanda adalah bagian dari dunia fisik, sedangkan simbol merupakan bagian dari dunia makna manusia. Tanda, bagaimanapun juga, merupakan sesuatu yang fisik dan substansial, sedangkan simbol hanya memiliki nilai fungsional.
Menunjuk pada kasus Helen Keller, seperti yang diceritakan kembali oleh Sullivan dalam The Story of my life, Cassirer menyatakan bahwa prinsip simbolisme dengan universitas, validitas, dan kemungkinan untuk diterapkan secara umum pada prinsipnya meyerupai kata magis, mantra ‘’sesam, buka pintu’’, yang merupakan pintu masuk ke dunia budaya manusia (Cassirer, 1987, hlm. 53). Oleh sebab itu, keadaan tercerabut dari simbol adalah keadaan terpencil dari realitas manusia.
Demikian bahwa salah satu ciri istimewa dan paling mencolok dari simbolisme adalah kemungkinannya untuk di terapkan secara umum. Namun, masih ada ciri lainnya. Simbol juga mempunyai makna yang beragam. Kita dapat mengungkapkan sebuah makna atau isi pikiran misalnya dengan bermacam-macam bahasa. Kita pun dapat mengungkapkan berbagai ide atau gagasan hanya dengan menggunakan sebuah bahasa. Hal itu tentu saja berbeda dari tanda. Setiap tanda atau sinyal berhubungan dengan benda-benda yang diacunya secara khusus dan tetap. Untuk memperkuat pendapatnya, Cassirer, lagi-lagi menunjuk hasil eksperimen Pavlop.
‘’Dalam eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh Pavlop, anjing-anjing dengan mudah dapat dilatih untuk mendekati makanan hanya dngan memberinya tanda-tand tertentu. Anjing-anjing itu tidak akan makan sebelum mereka mendengar bunyi yang ditentukan secara random oleh pelaatihnya. Namun, hal itu tidaklah sama dengan simbolisme manusia. Simbolisme-simbolisme manusia tidak dicirikan oleh keseragaman, melainkan  oleh keanekaragaman. Simbol-simbol manusiawi tidak keras atau kaku, tetapi kenyal atau fleksibel.’’ (Cassirer, 1987, hlm. 48)
Kita dapat mengajukan pertanyaan: bagaiman Cassirer menjelaskan perhubungan antara ‘’pemikiran relasional’’ (pemikiran yang menghubungkan satu kasus dengan kasus lain atau satu gejala dengan gejala lain) dan ‘’pemikiran simbolis’’ (kasus-kasus atau gejala-gejala itu dibingkai dalam bentuk simbol)? Dalam menjawab pertanyaan itu, ia mengatakan ‘’tanpa sistem simbol yang rumit, tidak mungkin tumbuh dan berkembang pemikiran relasional.’’ Sebagai pengagum filsafat Immanuel Kant (Kantianism), Cassirer mengatakan bahwa jiwa manusia tidak sama sekali ‘’kosong’’, seperti tabula rasa, melainkan sudah memiliki kemampuan kategorisasi berdasarkan pada simbol-simbol yang telah dikuasainya. Dengan perkataan lain, pemikiran relasional sepenuhnya tergantung pada pemikiran simbolis, dan bukan pada data-data yang dipersepsi. Simbol, seperti yang selalu ditegaskan Cassirer berulang-ulang, bukanlah agian dari dunia fisik, melainkan dari dunia makna manusiawi. Maka, untuk menangkap makna itu, manusia tidak tergantung pada data inderawi yang konkret dan langsung (pada data-data penglihatan, pendengaran, perabaan, kinestetik). Ia memberi contoh geometri sebagai berikut:
‘’Dalam geometri elementer pun kita tidaak terikat pada persepsi mengenai bentuk-bentuk konkret individual. Kita tidaak berkenan lagi dengan benda-benda fisik atau objek-objek perseptual, karena yang kita pelajari adalah relasi-relasi spasial. Untuk menyatakan relasi-relasi itu kita selalu menggunakan simbol-simbol yang adekuat.’’ (Cassirer, 1987, hlm. 79)
Kemampuan itu tentunya adalah khas manusia. Sekali lagi Cassirer menegaskkan bahwa hanya manusia memiliki simbol, sedangkan hewan tidak. Kesimpulan yang ditarik adalah Cassirer dari permenungannya yang panjang dan melelahkan itu adalah bahwa tanpa simbolisme, manusia tidak dapat dikatakan sebagai manusia. Manusa tanpa simbolisme dapat disejajarkan dengan hewan-hewan lain, kalau tidak dalam struktur anatomisnya, ya, dalam kecenderungan gerak-gerik dan tingkah lakunya. Meminjam perumpamaan yang dibuat oleh plato mengenai gua dan Dunia Ide, Cassirer menulis demikian:
‘’Dapat disimpulkan bahwa tanpa simbolisme, hidup manusia sama seperti tawanan yang terkurung di dalam gua. Hidup manusia akan dikerangkeng oleh batas-batas kebutuhan biologis, naluriah, dan kebutuhan sesaatnya yang praktis. Tanpa simbolisme, manusia tidak dapat menemukan pintu gerbang bagi ‘’dunia ideal’’ seperti yang diungkapkan oleh agama, kesenian, filsafat, dan ilmu pengtahuan’’ (Cassirer, 1987, hlm. 62)
Oleh sebab itu, berkat simbollah, berkat ‘’religi, kesenian, filsafat, dan ilmu pengetahuan’’ –lah, maka manusia baru sungguh-sungguh menjadi manusia!



BAB III
FILASAFAT TIMUR
2.1  Munculnya Filsafat
Akibat dari berkembangnya kesusasteraan Yunani dan masuknya ilmu pengetahuan serta semakin hilangnya kepercayaan akan kebenaran yang diberikan oleh pemikiran keagamaan, peran mitologi yang sebelumnya mengikat segala aspek pemikiran kemudian secara perlahan-lahan digantikan oleh logos (rasio/ ilmu). Pada saat inilah, para filsofof kemudian mencoba memandang dunia dengan cara yang lain yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah. Dalam mencari keterangan tentang alam semesta, mereka melepaskan diri dari hal-hal mistis yang secara turun-temurun diwariskan oleh tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai berpikir sendiri. Di balik aneka kejadian yang diamati secara umum, mereka mulai mencari suatu keterangan yang memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian kejadian itu. Dalam artian inilah, mulai ada kesadaran untuk mendekati problem dan kejadian alam semesta secara logis dan rasional. Sebab hanya dengan cara semacam ini, terbukalah kemungkinan bagi pertanyaan-pertanyaan lain dan penilaian serta kritik dalam memahami alam semesta.Semangat inilah yang memunculkan filosof-filosof pada jaman Yunani. Filsafat danilmu menjadi satu. Filsafat, terutama Filsafat Barat, muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berfikir-fikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama pada saat itu yang dianggap sebagai “tirai besi keilmuan” lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
2.2  Filsafat Timur
Filsafat Timur merupakan sebutan bagi pemikiran-pemikiran filosofis yang berasal dari dunia Timur atau Asia, seperti Filsafat Cina, Filsafat India, Filsafat Jepang, Filsafat Islam, Filsafat Buddhisme, dan sebagainya. Masing-masing jenis filsafat merupakan suatu sistem-sistem pemikiran yang luas dan plural. Misalnya saja, filsafat India dapat terbagi menjadi filsafat Hindu dan filsafat Buddhisme, sedangkan filsafat Cina dapat terbagi menjadi Konfusianisme dan Taoisme. Belum lagi, banyak terjadi pertemuan dan percampuran antara sistem filsafat yang satu dengan yang lain, misalnya Buddhisme berakar dari Hinduisme, namun kemudian menjadi lebih berpengaruh di Cina ketimbang di India. Di sisi lain, filsafat Islam malah lebih banyak bertemu dengan filsafat Barat. Akan tetapi, secara umum dikenal empat jenis filsafat Timur yang terkenal dengan sebutan “Empat Tradisi Besar” yaitu Hinduisme, Buddhisme, Taoisme,dan Konfusianisme.
Filsafat Timur memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan filsafat Barat, yang mana ciri-ciri agama terdapat juga di dalam filsafat Timur, sehingga banyak ahli berdebat mengenai dapat atau tidaknya pemikiran Timur dikatakan sebagai filsafat. Di dalam studi post-kolonial bahkan ditemukan bahwa filsafat Timur dianggap lebih rendah ketimbang sistem pemikiran Barat karena tidak memenuhi kriteria filsafat menurut filsafat Barat, misalnya karena dianggap memiliki unsur keagamaan atau mistik. Akan tetapi, sekalipun di antara filsafat Timur dan filsafat Barat terdapat perbedaan perbedaan, namun tidak dapat dinilai mana yang lebih baik, sebab masing-masing memiliki keunikannya sendiri. Selain itu, keduanya diharapkan dapat saling melengkapi khazanah filsafat secara luas.
4.3 Pemikiran Timur sebagai Filsafat
4.3.1 Keberatan-Keberatan
Banyak ahli tidak melihat pemikiran Timur sebagai filsafat melainkan sebagai agama, karena dianggap tidak rasional, tidak sistematis dan tidak kritis. Kriteria radikal (berpikir secara mendalam), sistematis, dan kritis berasal dari filsafat Barat. Selain itu, pemikiran Timur seringkali diterima begitu saja oleh para penganutnya tanpa suatu kajian kritis; mereka hanya menafsirkan, berupaya memahami, dan kemudian mengamalkannya. Akan tetapi, sebenarnya hal itu tidak bisa menjadi kriteria untuk menentukan pemikiran Timur digolongkan sebagai filsafat atau tidak, sebab seringkali kategorisasi filsafat dan bukan filsafat ditentukan oleh Barat yang memaksakan kriteria kriterianya terhadap Timur. Pemikiran-pemikiran Timur banyak yang memiliki kedalaman, bersifat analitis, dan kritis, bahkan melebihi pemikiran Barat, misalnya seperti Konfusius, Lao Tzu, dan Siddharta Gautama.
4.3.2        Pemikiran Timur memenuhi Definisi Filsafat
Definisi menurut asal kata filsafat adalah cinta kepada kebenaran. Dilihat dari definisi filsafat, sebenarnya pemikiran Timur dapat dikategorikan sebagai filsafat, sejauh filsafat Timur merupakan usaha manusia untuk memperoleh kebenaran, yang didasarkan pada rasa cinta akan kebenaran itu sendiri. Pengetahuan akan kebenaran selalu berkaitan dengan kebijaksanaan dan mengandung dua unsur, yakni pengetahuan akan kebaikan tertinggu dan tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi. Pengetahuan dan tindakan haruslah hadir di dalam diri seorang yang bijaksana. Kedua hal ini ada di dalam pemikiran sejumlah pemikir Timur seperti Lao Tzu, Konfusius, Siddharta Gautama, para filsuf Hindu, dan para filsuf Islam, sehingga pemikiran mereka dapat disebut filsafat Timur.
4.3.3        Pemikiran Timur memenuhi Kriteria Filsafat
Selain melalui definisi, filsafat Timur juga dapat memenuhi kriteria-kriteria sebuah filsafat seperti yang lazim menjadi kriteria filsafat Barat, yakni kritis, sistematis, dan radikal Tentu saja ada perbedaan cara dengan yang dipahami oleh filsafat Barat. Aspek kritis dapat dipenuhi bila pemikiran-pemikiran yang telah ada diolah secara kritis dan terbuka terhadap modifikasi. Pengolahan dilakukan melalui dialog, diskusi, adu argumentasi, dan kesiapan untuk membuka diri terhadap pemikiran baru. Aspek sistematis sebenarnya telah ada di dalam pemikiran-pemikiran Timur, dan dapat berbeda-beda antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya. Misalnya filsafat Cina didasarkan pada konstruksi kronologis, mulai dari penciptaan alam hingga meninggalnya manusia. Di sini, yang penting terdapat alur yang runut dalam setiap sistem pemikiran, ada masalah yang jelas, ada proses pengolahan informasi sebagai upaya penyelesaian masalah, dan ada solusi bagi masalah tersebut. Mengenai sifat radikal dalam arti mendalami obyeknya, hal itu juga telah lama berakar pada pemikiran Timur. Siddharta Gautama, misalnya, mencoba menggali hakikat hidup sampai sedalam-dalamnya, melakukan pembaruan terhadap sistem India yang sudah ada, dan  membentuk sistem baru yang dikenal sebagai Buddhisme.
4.4      Perbedaan dengan Filsafat Barat
Filsafat Barat dan Filsafat Timur tampak amat berbeda sebab berkembang didalam budaya yang amat berbeda, dan sepanjang sejarah tidak terlalu banyak pertemuan di antara keduanya, kecuali di dalam filsafat Islam. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada persamaan di antara keduanya.
4 .4.1 Pengetahuan
Filsafat Barat sejak masa Yunani telah menekankan akal budi dan pemikiran yang rasional sebagai pusat kodrat manusia. Filsafat Timur lebih menekankan hati  daripada akal budi, sebab hati dipahami sebagai instrumen yang mempersatukan akal budi dan intuisi, serta intelegensi dan perasaan. Tujuan utama berfilsafat adalah menjadi bijaksana dan menghayati kehidupan, dan untuk itu pengetahuan harus disertai dengan moralitas.
4.4.2 Sikap Terhadap Alam
Filsafat Barat menjadikan manusia sebagai subyek dan alam sebagai obyek sehingga menghasilkan eksploitasi berlebihan atas alam. Sementara itu, filsafat Timur menjadikan harmoni antara manusia dengan alam sebagai kunci. Manusia berasal alam namun sekaligus menyadari keunikannya di tengah alam.
4.4.3 Cita-cita Hidup
kalau filsafat Barat menganggap mengisi hidup dengan bekerja dan bersikap aktif sebagai kebaikan tertinggi, cita-cita filsafat Timur adalah harmoni, ketenangan, dan kedamaian hati. Kehidupan hendaknya dijalani dengan sederhana, tenang, dan menyelaraskan diri dengan lingkungan.

4.4.4 Status Manusia
Filsafat Barat amat menekankan status manusia sebagai individu dengan segala kebebasan yang ia miliki, dan masyarakat tidak bisa menghilangkan status seorang manusia dengan kebebasannya. Filsafat Timur menekankan martabat manusia tetapi dengan penekanan yang berbeda, sehingga manusia ada bukan untuk dirinya melainkan ada di dalam solidaritas dengan sesamanya.



BAB IV
PENUTUP
5.1  Kesimpulan
Filsafat merupakan dasar-dasar dari keseluruhan yang terjadi pada diri manusia serta makhluk hidup lain yang ada di muka bumi ini baik dari awal penciptaan manusia dimuka bumi ini, ilmu-ilmu pengetahuan, dan ilmu-ilmu lainnya. Lahirnya filsafat karena rasa ingin ketahuan manusia terhadap sesuatu hingga lahirlah para-para filsuf baik dari belahan Bumi Barat maupun dari belahan Bumi Timur. Dengan adanya filsafat ini manusia dapat berfikir dari alur yang berpikir rasional dan meninggalkan alur pikir yang selalu mengaitkan sesuatu dengan mitos atau mistis yang kejadiannya bisa saj secra kebetulan. Filsafat merupakan teoritis ilmu yang dapat mematahkan teori lain dengan adanya pembuktian yang menyatakan bahwa teori itu dapat diterima dengan akal pikiran serta terbukti kebenarannya atau disebut empirisme. Secara garis besar filsafat Timur banyak memasukkan unsur-unsur agama yang menjadikan filsafat Timur memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan filsafat Barat, sehingga banyak ahli berdebat mengenai dapat atau tidaknya pemikiran Timur dikatakan sebagai fisafat, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara filsafat Barat dan Timur keduanya tidak dapat nilai mana yang lebih baik karena memiliki keunikan tersendiri. Selain itu, keduanya diharapkan dapat saling melengkapi khazanah filsafat secara luas.
5.2 SARAN
            Filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal. Jadi kami merasa ilmu filsafat ini ilmu yang tinggi yang tentu juga perlu pemahaman tinggi untuk memahaminya. Jika ada kesalahan atau ketidaksamaan pendapat dalam makalah ini, pembaca dapat memberikan masukan atau kritikan yang membangun pada kami.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Zainal Abidin. Pengantar Filsafat Barat
                Muhammad Harsono. 2010. Makalah Filsafat Timur. Filsafat-ilmu.blogspot.com




FILSAFAT TIMUR DAN BARAT

Posted by : Unknown 0 Comments

- Copyright © Erwin Jr - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -