Archive for Januari 2017

FILSAFAT
TIMUR DAN BARAT
HERWIN
1604411065
FAKULTAS
TEKNIK IMFORMATIKA
UNIVERSITAS
COKROAMINOTO PALOPO
2016/2017
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini
denganpenuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan
sanggupmenyelesaikan dengan baik.Makalah ini disusun agar pembaca dapat
mengetahui beberapa aliran-aliran filsafat pendidikanislam dan barat yang saya
sajikan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusundengan berbagai
rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dariluar.
Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya
makalah inidapat terselesaikan.
Makalah
ini memuat tentang aliran-aliranfilsafat pendidikan islam dan barat‖ dan saya
uraikanuntuk menyelesaikan tugas dan karena menarik perhatian penulis untuk
dicermati dan perlumendapat dukungan dari semua pihak yang peduli terhadap
dunia filsafat pendidikan.Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada
guru/dosen yang telah banyak membantupenyusun agar dapat menyelesaikan makalah
ini.Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupunmakalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk
saran dan kritiknya.Terima kasih.
Palopo,
7 Desember 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..........................................................
1.1 Latar
Belakang..........................................................................................
1.2 Rumusan masalah......................................................................................
BAB II FLSAFAT BARAT.............................................................................
2.1 Filsafat:
Sebuah Perkenalan Awal.............................................................
2.2
Hubungan Filsafat
dengan ilmu pengetahuan...........................................
2.3
Esiptemologi..............................................................................................
2.4
Epistemologi dan Psikologi.......................................................................
2.5
Sumber dan Struktur
Pengetahuan............................................................
2.6
Persoalan Validitas
(Kebenaran) Pengetahuan..........................................
2.7
Metafisika..................................................................................................
2.8
Kosmologi.................................................................................................
2.9
Filsafat Manusia........................................................................................
2.10 Etika........................................................................................................
2.11 Sejarah
Filsafat Barat..............................................................................
2.12
Filsafat
Yunani Kuno (600 SM – 500 SM).............................................
2.13 Filsafat Abad
Pertengahan (400-1500 SM)............................................
2.14 Filsafat Modern (1600-1900)............................................
2.15 Filsafat Kontemporer
(1900-Dewasa ini)..............................................
2.16
Manusia Sebagai Animal Symbolicum....................................................
BAB III FILSAFAT TIMUR...........................................................................
3.1 Munculnya
Filsafat..................................................................................
3.2 Filsafat
Timur...........................................................................................
3.3 Pemikiran
Timur sebagai Filsafat.............................................................
3.4 Perbedaan
dengan Filsafat Barat.............................................................
BAB IV PENUTUP...........................................................................................
4.1 KESIMPULAN........................................................................................
4.2 SARAN.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
3.5 Latar Belakang
Filsafat
dan ilmu adalah dua kata yang sering terkait, baik secara substansial maupun
secara historis karna kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat,
sebaliknya paerkembangan ilmu memperkuat keberadapan filsafat,
kelahiran filsafat di yunani menunjukkan pola pemikiran bangsa yunani dari
pandangan mitologi akhirnya lenyap dan pada gilirannya rasiolah yang
lebih domain, dengan filsafat pola yang berfikir yang selalu tergantung
rasio.
Dengan berkembangnya
pola fikir manusia, maka berkembang pula tentang pemikiran dan pembahasan di
dalam filsafat. Filsafat dibagi menjadi empat periode. Namun pada
pertemuan ini kami membahas hanya dua periode yakni, periode modern dan periode
kontemporer yakni Filsafat klasik, filsafat abad pertengahan, filsafat modern
dan filsafat kontemporer. Untuk pembahasan lebih lanjut, kami akan membahas
dalam pembahasan selanjutnya.
3.6 Rumusan
masalah
3.6.1
Bagaimanakah
sejarah perkembangan filsafat di Barat pada periode modern dan kontemporer ?
3.6.2
Bagaimanakah
sejarah perkembangan filsafat di Islam Timur pada periode modern dan
kontemporer ?
3.6.3
Apa
perbedaan yang mencolok tentang sejarah perkembangan filsafat yang ada di Barat
dan di Islam timur ?
BAB
II
FILSAFAT BARAT
2.1 Filsafat: Sebuah
Perkenalan Awal
Secara
etimeologis (asal-usul kata), istilah filsafat berasal dari kata yunanai philia
(=love, cinta) dan sophia(= wisdom, kebijaksanaan). Namaun, jika hanya
mendasarkan diripada arti etimologi istilah in, maka kita tidak akan dapat
memahami definisi filsafat dalam pengertian operasionalnnya dan perkembangannya
kemudian. Hla yang sama barangkali akan dialami seandainya kita berusaha
memahami istilah-istilah lain dalam ilmu pengetahuan. Misalnya saja pengertian “psikologi”. dengan hanya meninjau arti
etimologis istilah psikolog (psyche=jiwa;logos=pengetahuan atau ilmu) akan
membawa kita pada pengertian bahwa fisikologi adalah ilmutentang jiwa. Padahal kita tahu bahwa dalam
perkembangannya yang libih kemudia, psikolog tidak lagi mendefinisikan
pisikologi sebagai ilmu pengetahuan tentang tingkah laku dan proses-proses
mental manusia (simith, dkk., 2002;feldman, 1999).
Tidak
mudah memberikan definisi yang beragam tentang filsafat. Banyak filsuf
memberikan definisi yang beragam tentang apa itu filsafat tidak mudah untuk
didefinisikan, maka kita akan menemukan beberapa faktor yang menjadi penyebab
di antarannya:
a) Para
filsuf tidak setuju (berbeda pendapat) dalam menentukan prioritas objek kajian
(subject matter) filsafatnya ada
filsuf yang memberikan tekana pada alam, manusia, tuhan ada juga yanga memberikan tekanan pada
bahasa, sosial, politik,serta budaya.
b) Perbedaan
dalam memberikan tekanan pada objek kajian filsafat mendorong mereka
mendefinisikan filsafat secara berbeda satu sama lain. Pehatikan beberapa
conroh definisi filsafat yang didefinisikan sejumlah filsafat yang berbeda-beda
berikut ini:
a. Filsafat
adalah pencarian makna hidup manusia.
b. Filsafat
adalah analisis dan kritik atas ilmu pengetahuan, sampai ditemukan hakikat ilmu
pengetahuan sebenarnya.
c. Filsafat
adalah analisis bahsa, upaya untuk memahami hakikat bahasa sarana komunikasi
manusia.
d. Filsafat
adalah kritik kebudayaan.
e. Filsafat
adalah upaya pemahaman-diri melalui simbol-simbol manusiawi (budaya, politik,
bahasa, religi, kesenian).
Jika
definisi-definisi tersebut dipertimbangkan secara sendiri-sendiri, maka masing-masing
baru menggambbarkan sistem filsafat secara keseluruhan.
a) Sejak
perkembangannya ilmu-ilmu pengetahuan empires (baik dalam ilmu pengetahuan
alam, ilmu pengetahuan sosial, maupun ilmu bahasa). Filsafat redefinisi dalam
hal peran dan kontribusinya untuk pengetahuan manusia. Filsafat dewasa ini
tidak lagi mengklaim “induk segala ilmu”), tetapi secara sadar-diri kehidupan
manusia. Filsafat dewasa ini tidak samadengan filsafat Zaman Yunani kuno
(Socrates,plato,Aristoteles,dan para filsafat klasik lainnya) dan para filuft
moderen (seperti Rane Descatres). Di kedua periode sejarah filsafat tersebut
filsafat dimaksudkan sebagai upaya raksasa untuk melakukan penemuan-penemuan
tentang hakikat alam semesta (alam, manusia, tuhan). Pada masa itu, seorang
filsuf seperti Aristoteles (384-322 SM) maupun menulis berbagai kajian dalam
berbagai bidang ilmu pengetahua, mulai dari metafisika sampai fisika,
matematika, kedokteran, biologi, astronomi,dan psikologi. Hal yang sama pun ada
pada filsuft moderen seperti Descartes (1592-1660) yang sangat fasif berfikir
dan menulis tentang masala-masala fisika, psikologi, sama fasihnya dengan
menulis metafisika (fisafat). Akan tetapi, para filsuf dewasa ini mempersempit
kajiannya terhadap aspek-aspek tertentu dari alam semesta. Dewasa ini secara
filsuf yang tertarik pada bahasa, tidak serta merta mengetahui mengenai hakikat
alam semesta. Seseorang filsuf yang tertarik pada masalah hakikat ilmu
pengetahuan, tidak akan berbicara tentang Tuhan dan hal-hal metafisika.
Seseorang filsuf yang tertarik untuk menemukan makna hidup manusia, tidak
malakukan analisis secara mendalam terhadap bahasa-bahasa manusia.
b) Para
filsuf dewasa ini lebih tertarik untuk menganalisiskehidupan manusia secara
nyata, baik kehidupan manusia sebagai individu maupunsosial dan kultural.
Meraka mereka tertarik pada masalah-masalah eksistensial seperti pengalaman
manusia, makna hidup, makna “aku”, makna penderitaan dankebahagiaan, makna
kebebasan dan keterkungkungan. Ini dimulai terutama sejak Kierkegaard
(1813-1855), Hursell (1859-1938), dan para eksistensialis lainnya seperti
Martin Heidegger (1889-1976) dan Paul Sartre (1905-1980). Parafilsuf pasca
–eksistensialisme pun, yakni struktrualisme, teori kritis, dan post-medernism,
menulis tentang topik yang lebih kontekstual. Mereka menulis tentang pluralisme
manusi, tentang dominasi-dominasi struktural yang mengungkung manusia, tentang
ketertindasan perempuan, tentang kekuasaan dan penindasan yang tersembunyi
dibalik kehidupan masyarakat, tentang makna kebudayaan lokal, dan lain-lain.
Meski
objek kajian filsafat sangat beragam, dan selalu mengalami perkembangan, tetapi
pada dasarnya ada beberapa kesamaan yang dapat diidentifikasi dalam karya-karya
mereka. Pertama, karya-karya meraka
pada umumnya berupaya menemukan hakikat (insentif) atau makna dari apa yang
sedang mereka teliti. Jika meneliti manusia, maka yang hendak dicari jawabannya
adalah apa sebetulnya hakikat manusia itu (atau, apa makna menjadi manusia).
Jika mereka meneliti alam semesta, maka yang mereka cari adalah jawaban tentang
apa hakikat alam semesta itu (atau, apa maknayang terkandung di balik alam
semesta yang kita tinggali ini). Jika meneliti kebudayaan, maka mereka sedang
berusaha mememukan jawaban tentang apa hakikat kebudayaan itu (atau, apa makna
kebudayaan bagi hidup manusia). Kedua,
hakikat yang dicari oleh mereka bukan hhanya hakikatobjek yang diteliti, tetapi
juga sabjek (filsuf itu sendiri) yang sedang meneliti atau sedang melakukan
pencarian. Contoh: jika seorang filsuf menemukan dan bisa membuktikan secara
logis bahwa hakikat alam adalah materi dan manusia adalah bagian dari alam (materi), maka ia pun memahami hakikat
dirinnya sebagai materi (tubuh). Ketiga, para filsuf (berbeda dari
parailmuan) tidak melakukan penelitian empires, baik survei,eksperimental, atau
studi korelasional, pemikiran-pemikiran filsafat mereka lebih menitik beratkan
pada pemikiran logis dan rasional. Artinnya, yang ditentukan dalam berfilsafat
adalah kemampuan dan kekuatan berfikir logis dan rasional.
2.1.1 Jenis-Jenis Filsafat
Merujuk
pada karya Pater Koestembuan (1968), dapatlah dikatakan bahwaterdapat tiga
jenis filsafat, yakni filsafat sebagai analisis, filsafat sebagai sintesis, dan
filsafat sebagai upaya mencari ,makna
hidup.
2.1.2
Filsafat
Sebagai Analisis
Filsafat
sebagai analisis berarti bahwa filsafat merupakan suatu analisis terhadap
masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Beberaspa contoh analisis yang dilakukan oleh filsafat antara lain adalah:
a)
Analisis atas common sense. Contoh: ketika melihat
sebatang pohon, orang
awam pada umumnya sudah
cukup puas dengan mengatakan, “saya melihat sebatang pohon.” Namun, sebagian
besar filsuf misalnya akan bertannya,
“apakah pohon yanng tampak itu sama dengan pohon yang sebenarnya? ”
pertanyaan-pertanyaan yang tampak artifisial ini sebetulnya memiliki
konsekuensi yang cukup penting jika diperluas kepada ilmu pengetahuan.
Misalnya, apakah teori-teori ilmu pengetahuan betul- betul mengambarkan dan
menjelaskan realita yang sesungguhnya? Apakah teori-teori tersebut sungguh-sungguh
objektif, lepas dari subjektivitas para ilmuwannya? Selain mana peran para
ilmuan memberikan warna subjektif dalam pembentukan teori-teori mereka?
b)
Analisis atas
masalah-masalah etika atau moral. misalnya: eatunasia (upaya mengakhiri hidup
pasien oleh dokter atas dasar kemanusiaan) dan hujuman mati. Pertanyaanya, atas
dasar apa manusia (seorang dokter, misalnya) mencabut nyawa manusia lain?
Bagaimana pertanggungjawaban di depan tuhan?
c) Analisis
atas masalah-masalah estetika. Misalnya: gambar lukisan orang telanjang.
Pertanyaannya, apakah gambar orang telanjang termasuk pornografi atau estetika
(seni keindahan)? Apakah gambar orang telanjang sama dengan keindahan
(estetika) atau justru melanggar norma-norma sosial, sehingga harus dimasukkan
ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Anti Pornografi?
d) Analisis
tentang keberadaan tuhan dan agama. Mengapa orang beragama? Apakah tuhanmemang
menciptakan manusia atau, seperti dikemukakan oleh fouerbach (1894-1872) dan
Karl Marx (1818-1883) bahwa justru manusia sendiri yang menciptakan tuhan ?
apakah pernyataan-pernyataan religius bisa diverifikasi (dibuktikan
kebenarannya)? Apakah rasio manusia bisa mendeksripsikan kebenaran dan
sifat-sifat Tuhan.
e) Analisis
atas ilmu pengetahuan. Apakah dasar-dasar atau asumsi-sumsi yang menjadi
landasan ilmu pengetahuan? Apakah kemajuan ilmu pengetahuan berkembang secara
evolusioner atau revolusioner? Apakah ilmu pengetahuan kebaikan pada manusia
dan peradaban atau justru mambawa kehancuran pada peradaban?
f) Analisis
atas negara. Bentuk negara apa yang terbaik bagi kehidupan manusia – demokrasi,
otoritarianisme, militerisme, teknokrasi? Apa dasar pilihan kita atas bentuk,
bentuk negara tersebut? Apakah demokrasi merupakanbentuk pemerintahan yang
terbaik? Mengapa dalam negara demokrasi perlua ada kontrol rakyat terhadap
penyelenggaraan negara (pemerintah)?
g) Analisis
atas manusia. Apakah setiap tingkah laku digerakkan oleh kehendak pribadinnya
atau ditentukan oleh ketentuan-ketentuan yang tidak bisa dikontrol oleh manusia
(misalnya oleh ketidaksadaran dan gerak kinestetik dari sistem saraf pusat
kita)? Mengapa manusia perlu memiliki moral tertentu sehingga tingkah lakunnya
tidak seperti hewan, yang hanya mengandalkan gerak naluriah dan impulsif?
h) Analisis
atas masyarakat dan kebudayaan . masyarakat dan kebudayaan seperti apakah
terbaik sebagai tempat untuk tumbuh dan berkembangnya manusia-manusia masa
depan yang otentik dan unggul? Nilai-nilai apa yang mendasri kebudayaan dan
kehidupan masyarakat dan anggota-anggota masyarakat terjamin kebebasan dan
keotentikannya?
i)
Di samping aspek-aspek
kehidupan yang telah dijelaskan di atas, filsafat pun melakukan analisis
terhadap aspek-aspek kehidupan lainnya, misalnya politik, hukum, ekonomi, dan
lain-lain.
2.1.3
Filsafat
sebagai Sintesis
Filsafat
sebagai sintesi berarti bahwa filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk
mensintesiskan pengalaman dan pengetahuan kedalam suaru visi atau pandangan
mengenai realitas. Oleh sebab itu, seorang filsuf seperti Ernst Cassires
(1874-1945) misaklnya merasa perlu untuk
mengumpulkan banyak inpotmasi tentang ilmu budaya, agama, psikobiologi,
psikologi, psikologi komperatif (lihat Bab 3 dalam buku ini), untuk bisa sampai
pada suatu sintesi bahwa hakikat manusia
adlah hewan pengguna simbol (animal
symbolicum). Demikian juga halnya dengan filsafat Bergson (1858-1941)
tentang elan vital, yang merupakan
hasil dari upaya mensintesiskan barbagai imformasi dari fisika, bioligi dan
bahkan dari agama-agama besar. Hal yang sama bisa ditemukan dalam filsafat
Scopenhauer (1788-1860) dengan kehendak butannya dan filssafat Descartes dengan
dualisme materi dan jiwanya (lihatnya
Abidin, 2009).
Salah
satu cabang filsafat yang dinamakan metafisika merupakan bagian dari filsafat
sintesis ini. Dalam metafisika kita bisa menemukan pandangan-pandangan yang
bersifat materialistik atau idealistik tentang kenyataan. Menurut para
materialis (para filsuf penganut paham materialisme), kenyataan pada dasarnya
materi. Ide atau “roh” jika memang ada, pada dasarnya merupakan produk dari materi.
Sebaliknya menurut para idealis (para filsuf penganut paham idealisme), semua
kejadian pada dasarnya bersifat mental atau spiritual, apa yang tampak material
pada dasarnya modifikasi atau perwujudan dari roh (jiwa), apakah itu bersifat
individual (“aku”), kolektif (masyarakat), atau yang tunggal (Tuhan).
2.1.4
Filsafat
sebagai pencarian Makna Hidup
Filsafat
pun dapat menawarkan pemikiran tentang makna kehidupan. Filsafat juga ini
disebut sebagai filsafat hidup, karena mencoba mencari jawaban mengnai pentanyaan-pertanyaan
tentang makna hidup. Pernyataan-pernyataan yang coba dicari jawabannya antara
lain: apa sebetulnya makna kehidupan ini? Apakah sesungguhnya tujuan hidup
manusia itu? Apakah tujuan hidup manusia pada dasarnya untuk menemukan
kesenangan,melayani ummat manusia lainnya, aktualisasi-diri, mendapatkan
status, merebut kekuasaan, atau memperoleh penghargaan dan prestise? Apakah
kehidupan itu sudah bermakna dan kita tinggal menjalaninya,atau sebetulnya
belum bermakna sehingga kita sendiri yang harus membuatnya bermakna? Apakah
kebahagian kita atau justru membuat hidup kita lebih optimaldan bahagia?
Sebagian
dari filsafat Socrates, plato, Aristoteles, dan, pemikiran filsafat sejumlah
fulsuf medern seperti Schopenhauer dan para eksistensialis dapat dikategorikan
sebagai filsafat hidup. Filsafat mereka merefleksikan kerja keras untuk
menyelami makna kehidupan dan memikirkannya secara filsafat. Meski mereka pun
memikirnya gejala alam fisik dan biologis, tetapi pemikiran mereka tentang
biologis, tetapi pemekiran mereka tentang gejala tersebut pada akhirnya
ditujukan untuk memahami maknna hidup manusia, termasuk makna hiduo mereka
sendiri.
Akan
tetapi,pembedaan tiga jenis filsafat tersebut pada kenyataannya tidak setajam
yang dikemukakan oleh Koestemabaum dan tidak dapat digeneralisasika pada semua
pemikiran filsafat. Ambil contoh filsafat Ernst Cassires (1874-1945). Dia
mengatakan bahwa manusia pada dasarnya merupakan animal symbolicum, hewan atau binatang pengguna simbol-simbol.
Filsafat Cassires tentang animal
symbolicum pada dasarnya merupakan hasil sintesis dari pengalaman orang
lain (misalnya, pengalaman Hellen Keller, seperti yang diceritakan kembali oleh
Sullivan) dan dari berbagai temuan ilmiah dari psikobiologi, psikologi
komperatif, ilmu-ilmu budaya, agama, dan bahasa. Akan tetapi, dalam porsi
tertentu, ia pun melakukan analisis terhadap pengalaman diri dan menyajikan
gambaran teistik (ketuhana) serta pemahaman dirinnya (makna hidup manusia).
Meskipun
demikian, pembangan yang dibuat oleh Koestenbaum tersebut sebagian tergambarkan
pada sejumlah alirah filsafat abad ke-20 dan konteperor. Misalnya, positivisme
logis. Aliran filsafat ini hanya tertarik pada analisis bahasa (jadi, filsafat
sebagai analisis atas teori-teori ilmu pengetahuan), dan tidak begitu tertarik
untuk membuat sintesis dan pencarian makna hidup atau metafisika. Demikian pula
dengan filsafat post-modernisme yang tertarik pada kritik sosial dan
kebudayaan, dan mengecam adanya filsafat dengan sintesis-sintesis besar
(filsafat universalistik).
2.1.5
Filsafat
sebagai Tinjauan kritis terhadap berbagai Masalah kemanusiaan
Di
samping ketiga jenis filsafat seperti dikemukakan oleh Koestambaum di atas,
terhadap jenis filsafat lain yang disebut filsafat sebagai kajian kritis
terhadap berbagai masalah kamanusiaan, melalui filsafat, para filsuf coba
mengkritik dan mengungkap ke permukaan apa yang ada dibalik gejala kehidupan yang oleh orang awam
dinilai sudah lazim atau tidak ada lagi masalah. Ciri kritis filsafat ini terutama
tampak dari pemikiran-pemikiran filsafat dari Karl Marx (1818-1883) dan para
filsuf yang berasal dari gerakan filsafat kritis, seperti Max Hokheimer
(1895-1973), Theodor Adorno (1903-1929-...). menurut mereka, di balik kehidupan
masyarakat dan pemerintah yang kita jalani, terhadap ideologi-ideologi
tertrentu yang langsung maupun tidak langsung memengaruhi dan bahkan menominasi
tingkah laku dan pengalaman kita. Ideoloagi-ideologi tersebutdibuat oleh para
penguasa (politik dan ekonomi) dan hanya menguntungkan mereka, tetapi
menyengsarakan masyarakat banyak. Jadi, ada ketidak adilan dalam kehidupan
sosial manusia. Para filsuf yang beraliran teori kritis coba mengungkap gejala
ini dan mengkritis kehidupan yang sebetulnya eksploitatif dan tidak adai itu.
Lebih jauh bahkan filsafat mereka menjadi praktis, karena ingin ingin mengubah
kondisi yang tidak adil itu menjadi kondisi adil.
2.1.6
Metode
dan Kebenaran Filsafat
Tidak
seperti ilmu pengetahuan, filsafat menggunakan metode-metode empiris seperti
survei atau eksperimen. Filsafat bukan ilmu empires, yang meneliti hubungan
sebab-akibat atau korelasi antara satu atau lebih variabe dengan variabel
(-variabel) lainnya. Filsafat pun tidak membatasi gejala berdasarkan pada
populasi dan sampel. Filsafat tidak menggunakan instrumen pengambilan data
seperti interviu, kuesioner, atau alat-alat yang bisa digunakan di laboratorium
(teleskop, mikroskop,unsur-unsur kimia, dan lain sebagainnya). Karena persoalan
filsafat sangat luas, tidak dibatasi oleh popu;asi dan sampel, maka satu-satu
alat atau metode yang digunakan oleg filsafat adalah kemampuan dan ketajaman
berpikir, disertai oleh kemampuan berpikir logis dan rasional.
Ada
banyak metode filsafat. Tetapi yang terkenal antara lain adalah: dialektika
(plaoto, Heger, Marx dan kaum Marxis), skeptisisme (Descartes), kritik
transendental (Kant), fenomenologi (Husserl dan eksistensialis),
intuisi,(bergson) dan seterusnya. Meski ada banyak metode filsafat, tetapi
secara umum metode-metode tersebut mempunyai satu ciri yang sangat esensial,
yakni logis (keheren). Pada umumnya para filsuf memiliki sistem filsafat yang
sangat ketat, yang dibangun oleh kemempuan yang sangat logis dan sistematis.
Kerena cara berpikir logos dan sistematis menjadi ciri utama dari metode
filsafat maka jenis kebenaran filsafat terutama adalah kebenaran koherensi.
Sesungguhnya,
secara tradisional, terdapat tiga jenis kebenaran yang dapat menjadi tolak ukur
untuk mengetahui kebenaran pengatahuan manusia, yakni koherensi, korespondensi,
dan pragmatis. Koherensi adalah kebenaran sesuatu pengetahuan, dimana
pernyataan-pernyataan yang menyususn pengetahuan tersebut tidak saling
bertentangan, melainkan saling bertautan secara logis (koheren). Contoh: jika
seorang filsuf meyakini bahwa hakikat kenyataan pada dasarnya adalah materi,
maka manusia sebagian dari kenyataan adalah uuga meteri. Tidak mungkin ada
kenyataan spiritual dalam kehiduapan; tidak mungkin ada jiwa yang bersifat
ilahiah dalam diri manusia. Konsekuensi dari keyakina ini adalah bahwa tidak
mungkin akan ada tuhan, surga, atau neraka, setelah kita meninggal dunia.
Sebagai materi maka kita mengalami proses kehidupan yang alamiah, yakni
mengalami aus atau penyusustan. Artinnya, sebagian materi kita akan musnah oleh
waktu, sehingga tidak bisa hidup lagi setelah kia musnah (meninggal).
Selain
ditepapkan dalam pemikiran-pemikira filsafat, contoh kebenaran koherensi tampak
dari pernyataan-pernyataan atau aksioma-aksioma matematika. Tidak perlu ada
pembuktian empires atau pengalaman inderawiuntuk membuktikan kebenaran
pernyataan-pernyataan matematik. Tidsk perlu menunjuk pada benda-benda tertentu
untuk membuktikan bahwa 3+2=5,atau 100 x 100=10.000.
Koresponsensi
adalah jenis kebenaran suatu pengetahuan, di mana pernyataan-pernyataan yang
menopang pengetahuan tersebut memiliki acuan pada kenyataan. Misalnya, jika
kita mengatakan bahwa bunga itu merah, maka kebenaran dari pernyataan itu
adalah warna merah yang kita persepsi. Jaika kita membaca sebuah teori, maka
kebenaran dari teori yang kita baca adalah kalau ada kesesuaian (korespondensi)
dengan fakta yang dijelaskan oleh teori itu. Jika ada survei yang menyebutkn
bahwa 2 dari 3 laki-laki beristri di jakarta memiliki WIL (wanita idaman lain),
maka kebenaran dari survei itu harus sesuai dengan jumlah yang sebenarnya.
Berbeda dari kebenaran koherensi yang tidak begitu mempermasalahkan acuan
luarnya (realitas yang teratami oleh pancaindra), korespondensi justru sangat
memberikan tekana pada acuan luar (kenyataan).
Pragmatis
adalah jenis kebenaran suatu pengetahuan dengan cara mengukur keguanaan dari
pengetahuan itu. Suatu pengetahuan atau pernyataan memiliki nilai kebenaran
jika bisa dimanfaatkan atau digunakan. Jika kita mengetahuai bahwa matahari
merupakan sumber energi, maka berarti pengetahuan itu bisa dimanfaatkan,
misalnya dengan menjadikan cahaya matahari sebagai energi listrik atau energi
yang menggerakkan kendaraan bermotor.
Nah,
dari tiga jenis kebenaran tersebut, filsafat lebih menekan-kanka pada kebenaran
koherensi. Alasannya terutama karenahakikat kenyataan yang dikaji filsafat
tidak sepenuhnya teramati (observable),sehingga
kebenaran pengetahuan filsafat i tidak sepenuhnya dapat dibuktikan secara
empires. Tidak semua pengetahuan manusia memiliki acuan empires. Pengetahuan
manusia, khususnya filsafat, sering malampaui fakta-fakta empires, sehingga
teori korespondensi tentang kebenaranrurang relevan dijadikan sebagai tolak
ukur bagi kebenaran filsafat.
2.1.7
Bidang-bidang
dan Bagian-bagian Filsafat
Jika
kita mengamati karya-karya besar para filsuf, terutama karya-karya filsuf
Yunani seperti Aristoteles (384-322 SM) dan filsuf jerman terkemuka seperti
Imauel Kant (1724-1804), maka kita bisa membedakan adanya tiga tema besar dalam
kajian filsafat, yakni: kenyataan, Nilai, dan pengetahaun. Ketiga tema tersebut
masing-masing dikaji oleh tiga cabang besar filsafat. Kenyataan merupakan
bidang kajian metafisika, nilai adalah bidang kajian eksiologi, dan pengetahuan
merupakan bidang kajian epistemologi. Masing masing bagian filsafat tersebut
memiliki sub-sub bagaimana sendiri seperti berikut ini.
Tabel 2 Cabang-cabang
Filsafat
TEMA
|
CABANG FILSAFAT
|
SUB CABANG FILSAFAT
|
DEFINISI
|
Kenyataan
|
Metafisika
|
Ontologi
|
Studi filsafat yang mengkaji
persoalan persoalan tentang ada (dan Tiada)
|
konsmologi
|
Studi filsafat yang mengkaji
persoalan-persoalan tentang alam semesra, asal-usul dan unsur-unsur yang
membentuk alam semesta
|
||
Filsafat manusia
|
Kajian filsafat mengenai
persoalan-persoalan tentang hakikat manusia, hubungan jiwa dan tubuh,
kebebasan dan keterbatasan manusia
|
||
Filsafat agama
|
Cabang filsafta yang mencari
jawab tentang persoalan-persoalan agama, munculnya agama, dan kebutuhan
manusia terhadap agama
|
||
pengetahuan
|
Esiptemoli
|
Teori pengetahuan
|
Studi filsafat tentang
sumber-sumber dan validitas pengetahuan
|
Logika
|
Studi tentang penyususna argumen-argumen
dan penarik kesimpulan-kesimpulanyang valid
|
||
Filsafat bahasa
Filsafat ilmu pengetahuan
|
Kajian filsafat tentang hakikat,
asal-usul, kegunaan, dan makna bahasa
|
||
Studi tentang landasan-landasan
filsafat ilmu pengetahuan, sumber-sumber ilmu pengetahuan, proses-proses
pembentukan teori ilmiah, kriteria kebenaran ilmiah
|
|||
Nilai
|
Aksiologi
|
Etika atau filsafat moral
|
Kajian filsafat mengenai
bagaimana seharusnya manusia bersikap dan bertingkah laku,apa makna etika
atau moralitas dalam kehidupan manusia
|
Estetika
|
Bagian dari filsafat yang
mengkaji mengenai keindahan, kesenian, yang diakibatkan oleh keindahan
|
||
Filsafat sosial dan politik
|
Studi filsafat mengenai
(dasar-dasar) negara, perhubungan individu dengan negara, persoalan keadilan,
hak dan kewajiban negara serta warga negar.
|
||
Filsafat hukum
|
Cabang filsafat yang mengkaji
persoalan-persoalan hukum dan teori-teori keadilan.
|
Terdapat
dua catatan penting mengenai isi tabel diatas. Pertama, sub-sub cabang filsafat diatas hanyalah sebagian saja
banyak sub cabang filsafat lainnya. Disamping yang telah disebutkan pada tabel
tadi, terdapat sub-sub cabang filsafat lainya seperti filsafat pendidikan,
filsafat sejarah, filsafat ketuhanan, filsafat kebudayaan, dan lain-lain. Hal
itu menunjukkan luasnya objek kajian filsafat, yakni mencakup banyak hal yang
ada dalam kehidupan manusia.
Kedua, pembagian
sub-sub cabang filsafat tadi pada kenyataanya tidak seketat atau sekaku yang
mungkin kita bayangkan setelah melihata tebel tadi. Seorang filsuf yang
mengklaim bahwa pemikiran filsafatnya berupa kajian ontologis mengenai “Ada”
misalnya, sering kali pula membahas masalah-masalah eksistensi manusia,
kebudayaan, kondisi masyarakat,bahkan etika. Ini misalnya tampak filsafat
Heidegger. Dalam bukunnya yang terkenal, Being
and Time (1979), dia menulis bahwa filsafatnya dimaksudkan untuk mencari
dan memahami “Ada”. Akan tetapi, dia mengaku bahwa “Ada” hanya dapat ditemukan
pada eksistensi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, maka dalam
bukunnya itu dia membahas mengenai keontetika, kecemasan, dan
oengalaman-pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari (lihat abidin, 2009).
2.1.8
Ciri-ciri
Persoalan Filsafat
Filsafat
adalah sekumpulan pengetahuan manusia yang diperoleh melalui proses berfikir
yang sangat logis dan sistematis. Toko-tokoh yang menghasilkan pengetahuan
filsafat tersebut disebut filsuf-filsuf. Namun, filsafat pun pada dasarnya
adalah suatu pendekatan (approach)
dalam memandang, mendekskripsikan, objek-objek kajiannya (kenyataan, nilai, dan
pengetahuan). Disebut pendekatan lain seperti ilmu pengetahuan, agama, media
massa, dan poengetahuan sehari-hari. Yang membedakan filsafat dengan
jenis-jenis pengetahuan lainnya tadi, antara lain adalah sebagai berikut:
a)
Ruang lingkup
persoalannya luas. Filsafat bukan ilme pengethuan empires, sepetri halnya
psikologi, microbiologi, atau fisika plasma. Pernyataan-pernyataan
filsafat melampaui batas-batas
pernyataan ilmu-ilmu empires. Oleh sebab itu, untuk mencari jawaban atas
pernyataan –pernyataan filsafat, katakanlah mengenai hakikat manusia, ia
memerlukan, bukan hanya data yang bisa diamati secara langsung ( secara
empires), tetapi juga sejauh yang bisa dipikirkan oleh manusia.
b)
Tingkat abstraksi
persoalnnya tinggi. Filsafat tidak berkenaan dengan hal-hal individu seperti
pohon ini atau bayi itu, atau dengan
hal-hal kolektifseperti manusia Sunda dan manusia Jawa, melainkan dengan
hakikat alam, realitas, atau manusia pada umumnya,atau hakikat kebudayaan pada
umumnya. Artinya, persoalan filsafta mengatasi ruang dan waktu. (itulah
sebabnya persoalan dan jawabanfilsafat tidak pernah bisa kadaluarsa, out of date, melainkan selalu aktual).
c)
Persoalannya mendasar
(fundemental). Filsaft melibatkan prinsip-prisip yang di atasnya terdapat
konsepsi kita mengeni manusia, diri sendiri, dan juga mengenai nilai, yakni apa
yang penting bagi kehidupan kita (koestembaun, 1967). Prinsip-prinsip tersebut
biasannya menjadi pedoman bagi kita, terutama ketika sedang mengalami krisis
dalam menjalanka hidup, misalnya ketika menderita, putus asa, diorientasi
nilai. Dalam krisis, kita ingin kembali pada jawaban atas persoalan-persoalan
itu.
d) Peroalan
tidak dapat dipecahkan oleh metode ilmiah, yakni melalui observasi atau
eksperimen. Misalnya, persoalan moral dari kloning tidak bisa dipecahkan
melalui hasil jarak pendapat atau survei, karena dampak moral yang diakibatkan
oleh kloning bukanlah masalah kuantitas orang yang menyatakan setuju atau tidak
setuju. Persoalan moral harus ditinjau melalui tinjauan filosofis (dan agama
juga secara agama), karena menyangkur keberadaan dan harkat manusia, serta
peran tuhan dalam penciptaan manusia.
e)
Pendekatan bukan hanya
memberi tekanan pada fakta sebagaimana
adannya (das Sein), tetapi juga pada bagaimana
seharusnya (das Soller). Dengan
perkataan lain, yang menjadi persoalan
filsafat bukan hanya menjelaskan fakta, tetapi juga membagi tanggapan atas
nilai dari fakta itu. Ambil sebuah
contoh tentang masalah kloning. Filsafat tidak hanya ingin mengetahuai
bagaimana proses kloning itu terjadi, tetapi juga apanimplikasi etis dan
moralnya bagi manusia di masa-masa yang akan datang. Demikian juga halnya
dengan kondisi sosial. Filsafat tidak mendeskripsikan dan menjelaskan
peran-peran dan kuasa-kuasa sosial dalam masyarakat (seperti halnya sosiologi
misalnya), melainkan mengkaji iplikasi etis dari peran-peran pemegang peran dan
kuasa, sehingga mengakibatkan munculnya masalah etika dan moral (antara lain
pelanggaran hak asasi manusia).
2.2
Hubungan
Filsafat dengan ilmu pengetahuan
Filsafat
seng disebut sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan. Sejarah ilmu
pengetahuan memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan berasal dari berkembangnnya
dari filsafat. Sebelum ilmu penetahuan lahir, filsafat telah memberikan
landasan yang kuat. Para filsuf Yunani klasik seperti Demokritos sampai tiga
serangkai guru dan murid yang sangat terkenal yakni Socrates, Plato, dan
Aristoteles telah berbicara tentang atom, naluri,emosi,bilangan dan ilmu hitung
(Matematika), demokrasi, sistem pemerintahan dan kemasyarakatan, yang kemudian
dikembangkan oleh fisika, biologi, kedokteran, matematika, ilmu, budaya,
psikologi, sosiologi, dan ilmu poitik.
Lalu, setelah ilmu-ilmu pengetahuan
melepaskan diri dari filsafat dan dengan tegas menyatakan kemandiriannya,
bagaimana bentuk hubungan filsafat dengan ilmu pengetahuan? Bagaimana dengan
kedudukan dan kegunaan filsafat selanjutnya? Kedudukan filsafat dan hubungannya
dengan ilmu pengetahuan dapat digambarkan sebagai berikut.
a)
Tujuan filsafat untuk
memahami hakikat dari sesuatu objek yang menjadi kajiannya tetap dipertahankan,
tetapi informasi atau pengetahuan yang menunjangnya harus bisa dipertanggung
jawabkan bukan hanya secara rasional (logis), tetapi juga secara faktual
(dialami langsung dalam kehidupan kita). Oleh sebab itu, filsafat (harus)
mengadakan kontak dengan ilmu pengetahuan, mengambil banyak informasi atau
teori-teori terbaru darinya, dan mengembangkan secara filsafati. Inilah yang
telah dilakukan misalnya oleh Bergson, Cassires, Husserl, Faocault, dan para filsaft
mederen serta konten porer lainnya. Pemikiran filsafat yang dikembangkan oleh
sangat kaya dan ilustrasi-ilustrasi yang berasal dari temuan-temuan ilmiah yang
berkembang pada zamannya.
b)
Tujuan filsafat untuk
mempersoalkan nilai dari suatu objek (aksiologi) tetap dipertahankan. Hal ini
pun dilakukan fisafat terhadap ilmu pengetahuan. Akibatnya adalah bahwa
temuan-temuan ilmiah yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan
(dan juga ketuhana), idebri kritik atau koreksi. Ingat misalnya, masalah
kloning dan euthanasia. Filsafat memberikan evaluasi dan krirtik terhadap
dampak moral dan kemanuaan kedua masalah tersebut bagi hidup mereka.
c)
Filsafat pun memberikan
kajian dan kritik terhadap persoalan-persoalan metodoligi ilmu pengetahuan. Ini
misalnya, dilakukan dalam filsafat ilmu pengetahuan, kritik filsafat atas cara
kerja dan metodologi ilmu pengetahuan pada prinsipnya menguntungkan ilmu
pengetahuan, karena dapat menjernihkan dan menyempurnakan ilmu pengetahuan.
Kajian positivisme Auguste Comte (1798-1857), neopositivisme (positivisme
logis), falsifikasoinalisme Karl Popper(1902-1994), dan bahkan fenologi Edmuad
Husserl (1859-1938) tentang ilmu pengetahuan bukan hanya memperkoat metodologi
ilmu-ilmu penegtahuan sosial dan kemanusiaan (humoniora). Kritik-kritik mereka
terhadap ilmu-ilmu sosial dan humoniora melahirkan paradigma-paradigma baru
dalam ilmu sosial yakni yang bersifat humanistik dan kritis, di samping
positivistik.
2.2.1
Beda
antara filsafat dengan ilmu Pengetahuan
Filsafat
bukan ilmu pengetahuan, ia berbeda dengan ilmu pengetahuan dalam beberapa hal
berikut ini: pernyataan inti, ruang lingkup masalah yang didekati, metode,
fokus kajian, dan tentu saja hasil (teori).lihat tabelberikut ini.
Tabel 3. Perbedaan
antara filsafat dengan ilmu pengtahuan
FILSAFAT
|
ILMU PENGETAHUAN
|
|
PERNYATAAIN
INTI
|
- Apa?
(hakikat)
- Mengapa?
(sebab-akibat yang bersifat ultimate) dari mana (asal-usul) dan kemana (apa
yang terjadi berikutnya)?
|
-
mengapa?
(sebab-akibat)
-
bagaimana? (dinamika)
-
berapa banyak?
(kuantifikasi, presentase, frekuensi)
|
RUANG
LINGKUP MASALAH
|
- luas,
mencakup semua hal yang memungkinkan untuk dipikirkan
|
-
terbatas pada gejal
atau aspek-aspek tertentu, swjauh ynag dapat diukur secara impires.
|
METODE
|
- logis-rasional
|
-
ilmiah, mencakup
rasional, empires,dan terukur
|
FOKUS
KAJIAN
|
- fakta
(das Sein) dan nila (dos Sollen)
|
-
fakta (das Sein), terutama dalam pure science
|
HASIL
TEORI
|
- insentif
(dalam),
- ekstensif
(luas),
- kritis
(karena berkaitan dengan nilai)
|
-
khususnya dapat IPS:
terbatas pada populasi dan “kelas” objek yang diteliti
|
dari
tabel diatas tampak jelas bahwa apa perbedaan antar filsafat dengan ilmu
pengetahuan dalam hal pertanyaan-pertanyaan pokok yang diajukan oleh kedua
disiplin ini. Filsafat mengajukan pertanyaan yang intinnya dimaksudkan untuk mengetahui
“apa” (esensi atau sifat dasar) dari suatu masalah, kejadian, atau objek,
sedangkan ilmu pengetahuan menjawab pertanyaan “bagaimana” (dinamika atau
proses) dari suatu masalah atau objek itu berjalan. Ilmu pengetahuan mengajukan pernyataan mengenai kuantitas, baik dari
jumlah objek (frekuensi) maupun signifikasi pengaruh atau hubungan (taraf
signifikansi). Meski sama-sama mengajukan pertanyaan mengenai “mengapa”, kedua
disiplin itu berbeda sama sekali kedalamannya. Jawaban yang dituntut dalam ilmu
pengetahuan untuk pertanyaan “mengapa” terbatas pada sejumlah variabel yang
terukur, sehingga dapat dijawab melalui metode-metode empires seperti
eksperimen. Sedangkan, pernyataanfilsafat berkaitan dengan sebab-musabah yang
terdalam (ultimate causation), sehingga jawabannya tidak dapat ditemukan
melalui penggunaan metode-metode empires. Misalnya, mengapa ada kehidupan jika
pun akhirnya akan mendatangkan penderitaan? Mengapa yanga ada itu ada? Mengapa
saya hidup di dunia ini saat ini, bukan kehidupan diabad-abad yang akan datang?
Mengapa manusia memerlukan moralitas?
Ruang
lingkup masalah kedua disiplin ilmu itu pun berbeda. Filsafat tidak membatsi
dari objek-objek atau masalah-masalahyang dapat dialami atau dibuktikan secara
empires, tetapi pada pada objek-objek atau masalah-masalah sejauh dapat
dipikirkan secara rasional. Maka, ruang lingkup masalah filsafat bisa sangat
luas, misalnya mengenai keberadaan tuhan, jiwa, moralitas dan lain-lain. Ini
berbeda dengan ilmu pengetahuan. Objek atau masalah ilmu pengetahuan adalah
gejala-gejala yang dapat diobservasi dan dialami secara empires, bahkan terukur
secara kuantitatif.
Fokus
kajian filsafat bukan hanya pada pakta sebagaimana adanya tapi juga nilai,
yaitu sesuatu yang harusnya ada atau melekat pada pakta tersebut. Oleh sebab
itu, banyak filsuf yang meras tidak puas hanya dengan menggambarkan suatu objek
keadaan, atau masalah apa adanya, melainkan secara kritis menjelaskan bagaimana
seharusnya atau idealnya objek, keadaan atau masalah tersebut. Atas dasar itu dapat
dipahami kenapa sebagian filsuf bukan hanya memiliki keberfihakan pada nilai
kebenaran, tetapi jugapada nilai kemanusiaan (humanisme) ; pada kelompok
masyarakat tertindas (Marxisme dan teori kritis); dan lain-lain. Bagaimana
dengan ilmu pengetahuan? Ilmu pengetahuan kurang mempermasalahkan nilai, karena
fokusnya pada deskripsi dan penjelasan serta prediksi fakta atau gejala.
Karena
berbeda dengan pertanyaan, ruang lingkup dan fokus kajian-kajiannya, maka
metode kedua disiplin itu pun masing-masing memiliki perbedaan. Dalam filsafat
tidak ada penelitian eksperimentalatau studi korelasional, misalnya. Filsafat
tidak mengukur dan tidak membuktikan hubungan antarvariabel. Meski ada beragam
metode dalam filsafat, tetapi ciri utamanya adalah rasional dan kritis.
Sebaliknya, ilmu penngetahuan menggunakan metode ilmiah, yang bukan hanya
rasional, tetapi juga empires, mengukur pakta-pakta dan saling hubungan antara
fakta atau variabel yang satu dengan fakta atau variabel yang lain.
Hasil
atau produk filsafat dan ilmu pengetahuan berbeda, karena metode dan area
masalahnya pun berbeda. Hasil pemikiran filsafat berupa pemikiran-pemikiran
filsafat yang isinnya atau ruang lingkupnya relatif luas, kritis, intensif atau
dalam. Sebaliknya, hasil ilmu penegetahuan yang isinya relatif lebih detil
dibandingkan pemikiran filsafat, tetapi relatif terbatas pada fakta-fakta
empires, atau gejala-gejal yang dianggap termasuk ke dalam populasi objek yang
diteliti olehilmu pengetahuan.
2.3 Esiptemologi
Pengertian Esiptemologi Asal
kata istilah esiptemologi adalah dari bahasa yunani efistem (pengetahuan) dan logos (teori). Dengan demikian,
esiptemologi adalah suatu kajian atau teori filsafat mengenai (esensi)
pengetahuan.
Menurut
Koestembaum (1968), secara umum esiptemologi berusaha untuk mencari jawaban
atas pertanyaan “apakah pengetahuan?” akan tetapi, secara spesifik,
esiptemologi berusaha menguji masalah-masalah yang kompleks seperti: hubungan
antara pengatahuan dengan kepercayaan pribadi, status pengetahuan yang
melampaui pancaindra, status ontologis dari teori-teori ilmiah, hubungan antar
konsep-konsep atau kata-kata yang bersifat umum dengan objek-objek yang
ditinjau oleh konsep-konsep atau kata- kata tersebut, dan analisis atas
tindakan mengetahui itu sendiri.
2.3.1
Hubungan
Antara Pengetahuan Dengan Kepercayaan Pribadi
Pada
umumnya orang awam percaya begitu saja bahwa pengetahuan atau persepsi kita
mengenai suatu objek adalah gambaran yang sebenarnya dari objek itu. Mislanya,
gambaran tentang sebuah pohon (yang ada dala pikiran kita) sama dengan pohon
sebenarnya yang dilihat oleh kita. Orang awam tidak akan mempermasalahkan
validitas dari hubungan antara pengetahuan yang mereka miliki dalam fakta
sebenarnya dalam kenyataan.
Akan
tetapi, para filsuf mempertanyakan faliditas dari kepercayaan itu. Mereka akan
bertanya, apakah kepercayaan itu bisa di pertanggungjawabkan? Kenyataan
menunjukkan bahwa pengetahuan yang kita miliki sering berbeda dengan kenyatan
yang sebenarnya. Misalnya, kita seolah-olah melihat garis dasar yang bengkok di
dasar kolam renang, tetapi pada kenyataan garis tersebut adalah lurus. Contoh
lain saya ambil dari eksperimenyang dilakukan oleh fisikolog sosial bernama
Soloman Asch mengenai ilusi optik: kiat memiliki cahayya keci yang
bergerak-bergerak di dinding dalam ruang yang gelap, tetapi ternyata itu hanya
ilusi optik, karena pada kenyataanya cahay itu diam tidak bergerak. Bahkan,
didalam fisika moderen pun dunia yang sebenarnya-dunia elektron, mesons,
photons, dan neutrineus, dunia ruang non- Euclidean, dunia radiasi elektronis
yang tidak kelihatan-sangat berbeda dari dunia yang dipesepsi yakni, dunia yang
diamati melalui pancaindra. Kita melihat objek-objek yang padat, padahal
sebetulnya hanya ruang kosong yang hanya sedikit titik labuh yang dinamakan
elektron-elektron dalam lingkungan yang mempunyai kemampuan untuk menyerap
gelombang radiasi elektronmagnetik dan merefleksikan gelombang-gelombang
lainnya. Demikian juga fisiologi neurologis membuktikan bahwa persepsi
merupakan gejal yang terjadi pada otak, dan bahwa perubahan-perubahan kimiawi
dan listrik dalam konteksmerefleksikan perubahan-perubahan dalam dunia nyata
melalui entitas-entitas yang sangat teorotis yang dinamakan gelombang
elektromagnetik.
2.3.2
Status
pengetahuan yang malampaui pancaindra
Banyak
orang percaya bahwa pengetahuan kita berasal dari pancaindra. Pengetahuan
tentang sebuah gejala adalah ermin dari gejala itu. Pengetahuan kita tentang
kuda adalah representasi dari seekor, beberapa, atau banyak kuda yang pernah
kita amati. Jika memang demikian, jika pengetahuan diperoleh melalau
pancaindra, lalu bagaimana dengan pengetahuan yang mengatasi (melampaui)
pancaindra, misalnya metafisika dan juga agama? Bagaimana generalisasi ilmiah
seperti “semua sel berkembang melalui mitosis” (padahal para psikolog hanya meneliti
sejumlah gejala agresi, bukan semua agresi)? Pernyatan-pernyatan tersebut
menuntuk jawaban-jawabanepistemologis. Salah satu jawaban yang mungkin
dikemukakan oleh fara filsuf adalah peran penting rasio dalam membentuk
pengetahuan yang melampaui pancaindra tersebut, sebagaiman yang dikemukakan
oleh para rasionalis.
2.3.3
Status
Ontologis Teori-teori Ilmia
Apa
status ontologis dari teori-teori yang sangat umum seperti teori tentang alam,
perambatan cahaya, dan lain-lain yang berhubungan dengan teori-teori tersebut?
Gelombang cahay tidak bis dilihat seperti kita melihat uang, orang, atau
barang. Namun, dapat dikatakan bahwa ia (cahaya itu) ada, mempunyai realitas
dan entitasnya sendiri. Ia ada, meski tidak bisa divisualisasikan secara
akurat. Suatu gelombang dalam arti kurva sinus konseptual atau gelombang
dilautan dapat divisualisasikan, tetapi gelombang fisik sebenarnya yang tanpa
medium, kecepatannya yang luar biasa dan kekuatan yang tak terbayangkan, adalah
diluar kemampuan imajinasi dan visualisasi kita. Konsep yang demikian tidak
bisa dipikirna sebagai realitas fisik semata-mata tanpa interpretasi kita. Esiptemologi harus sapat
memberi fondasi dan justifikasi atas keberadaan realitas seperti itu. Hubungan
antara konsep-konsep atau kat-kata yang bersifat umum untuk objek-objek yang
ditinjau oelh konsep-konsep atau kat kat tersebut.
Dalam
ilmu pengetahuan, filsafat, dan kehidupan sehari-hari kita memiliki
konsep-konsep yang sangat umum sepetri lingakaran, segitiga, keadilan,
kebaikan, kebahagiaan, penderitan, dan lain-lain. Bagaimana hubungan antara
konsep-konsep tersebut? Apakah konsep-konsep tersebut betu-betul dapat
merefresentasikan objek-objek yang sebenarnya? Apakah semakin umum sebuah
konsep, mak semakin menjauh dan kurang merefresentasikan objek-objenya?
Esiptemologi coba mencari jawab atas pernyataan-pernyaan tersebut.
2.3.4
Anaisis
Atas Tindakan Mengetahui Itu Sendiri
Apa
yang terjadi dalam kognisi, pikiran, atau rasio kita pada saat kita mengetahui
sesuatu? Apakah mengetahui sesuatu objek itu dikarenakan oleh proses-proses
fisologis yang terjadi dalm sistem saraf pusat, yakni reaksi dan saling
menghubungi antar neutron-neutron tertentu akibat adanya stimulasi dari suatu
objek? Atau seperti yang dikatakan oleh Imanuel Kant Edmund Husserl, yakni
bahwa mengetahui dimungkinkan karena terjadinya proses pemberian makna yang
kita berikan terhadap objek? Husserl (1859-1938) menyebutkan bahwa mengetahui
pada dasarnya merupakan suatu proses tindakan kesadaran yang dimulai dari
objektifikasi, identifikasi, korelasi, konstitusi (lihat misalnya dalam Abidin,
2009). Konsekuensi , tidak ada pengetahuan yang murni objektif, terlepas dari
subjek yang mengkonstitusikannya (menciptakannya).
Dari
deskripsi di atas menjadi jela bahwa epistemologi, dengan demikian, merupakan
studi yang cukup penting di lingkungan akademik karena ia menguji dasar-dasar
dan proses-proses terbentuknya semua pengetahuan manusia, termasuk pengetahuan
ilmiah (ilmu pengetahuan). Filsafat ilmu pengetahuan, yang merupakan bagian
dari epistemologi, menjadi salah satu mat kuliah dasar di tingkat pasca sarjana
(S-2 dan S-3) di hampir semua perguruan tinggi didunia, termasuk di indonesia.
2.4 Epistemologi dan
Psikologi
Dari
paparan di atas tampak jelas bahwa beberapa tema yang dikaji oleh efistemologi
dewasa ini juga dikaji oleh psikologi. Akan tetapi, pendekatan kedua disiplin
tersebut tentu saj berbeda, karena yang satu (psikologi) menggunakan pendekatan
ilmiah, sedangan yang lainnnya (efistemologi) filosofi. Psikologi tertarik pada
fakta-fakta, misalnya rata-rata waktu beraksi (reaction time) yang dibutuhkan antara melihat lampu merah dengan
menginjak rem, kecepatan anak-anak usia 6 tahun dalam memcahkan soal-soal
teretentu, efektivitas ganjaran (reward)
terhadap kinerja, dan lain sebagainnya. Esiptemologi tertarik pada upaya untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “apakah kebenaran” , “apa hubunga logis
antara suatu gagasan dengan sumber-sumber inderawinnya?” psikologi
menggeneralisasikan dan mendekskripsikan peristiwa-peristiwa yang berhubungan
dengan persepsi, belajar, dan seterusnya: sedangkan epistemoligi berkenaan
dengan makna dan keniscayaan kognitif dari proses-proses tersebut. Esiptemologi tidak memilki
kemampuan kita untuk membedakan warna, melainkan bertanya apa warna yang tampak
pada objek sungguh-sungguh terdapat pada objek itu sendiri atau diluar dirinya
(misalnya, dalam diri orang yang memperspsikannya). Psikologi menyelidiki
faktor-faktor kognitif yang memengaruhi dan berbentuk persepsi, sedangkan
epistemplogi menguji hubungan logis antara stimulus yang dialami dengan
keberadaan dan hakikat dunia di luarnnya. psikologi menyelidiki pengtingnya
insentif dalam proses belajar, epistemologi mempelajari batas-batas dan
jangkauan pengetahuan manusia. Jadi, kedua disiplin tersebut memang beda karena
pendekatannya masing-masing berbeda
2.4.1
Ruang
Lingkup Efistemologi
Menurut J.F.Ferrier
(dalam Koestembaum, 1968) epistemologi pada dasarnya berkenaan dengan penguji
filsafat terbatas batas-batas, sumber-sumber, strukter-struktur, metode-metode,
dan validasi (kebenaran) pengetahuan. Berikut akan dideskripsikan
ruang lingkup epistemologi sebagaimana dikemukakan oleh Ferrier tadi.
2.4.2
Batas-batas
Pengetahuan
Para
ahli filsafat seperti John Lock (1632-1704), Devid Hume (1711-1776), dan
Imanuel Khan (1724-1804) sering mengajukan pertaanyaan seperti ini: apakah
pengetahuan terutama pengetahuan yang benar, mungkin tercapai oleh manusia? Ada
sejumlah jawaban yang diajukan dalam filsafat, di antaranya: skeptisisme, realisme naif, skeptisisme
Descartes, realisme kritis, kritisisme Imanuel Kant, dan positivisme logis.
Skeptisisme.
Menurut paham ini, tidak mungkin kita mencapai pengetahuan, selain berupa
pengenalan-pengenalan yang bersifat sementara. Gejala atau realitas selalu
berubah dan perangkat perseptual (indera) manusia tidak sempurna, sehingga
hasil persepsi (pengetahuan) manusia tidak pernah bisa dipercaya. Demikian,
juga rasio atau pikiran manusia sangat terbatas, sehingga tidak akan pernah
mungkin sampai pada pengetahuan yang sejati. Oleh, sebab itu, kita jangan
meyakini kebenaran pengetahuan manusia, melaikan harus meragukannya.
Realisme
Naif. Pandangan ini biasannya dianut oleh orang awam
(common sense). Menurut paham ini,
pengatahuan sangat dimungkinkan sejauh bersesuaian dengan objek yang
dipersepsi. Pengetahuan, konsep, atau gambaran tentang pohon, misalnya, harus
bersesuaian dengan pohon yang diamati. Pengetahuan kita adalah gambaran yang
sesungguhnya dari realitas diluar kita. Dunia adalah sebagaimana tampak pada
indra kita atau sebagaimana ia memanifestasikan dari dalam kesadaran kita.
Objek dalam kesadaran ini adalah gambaran sebenarnya dari objek di luar kita.
Dengan demikian, pengetahuan yang melampaui atau diluar realitas yang nyata,
adalah tidak mungkin. Pengetahuan hanya mungkin sejauh yang dapat diamati dan
dibuktikan melalui indera kita.
Skeptisisme
Descartes (Skeptisisme Metodis). menurut
Descartes, segala sesuatu (termasuk apa yang adal dalam pengetahuan kita dan
bahkan pengetahuan itu sendiri) dapata diragukan kebenarannya. Jika saya
melihat angsa, saya dapat meragukan keberadaan angsa itu (jangan-jangan saya mengalami halusinasi atau bermimpi tentang
angsa!) jika saya mencium aroma makanan, saya pun dapat meragukan kebaradaanya
makana tersebut (jangan-jangan saya sedang lapar, sehingga aroma apa pun
diasosiasikan dengan makanan!). namun,
dari yang dapat saya raggukan ternyata ada satu hal yang tidak dapat diragukan dan tidak mungkin
bisa diragukan. Apakah itu? Yaitu, adanya aku yang sedang meragukan , apa
saja-realitas, pengetahuan nilai. Ia adalah
kepastian yang tidak bisa diragukan, maka semua pengetahuan
mempersyaratkan adanya aku, subjektivitasku. Ia adalah starting point dan sekaligus
ending point untuk setipa
pengetahuan.
Realisme
kritis. Meski pengetahuan hanya mungkin sebatas
pengalaman indera (sebaimana yang diyakini oleh realisme naif), tetapi
pengetahuan yang mengatasi pengalaman pun dimungkinkan, sejauh justifikasi
rasional terhadapnya. Paham ini mengatasi realisme naif, karena ia mengaku
adanya peran pikiran manusia. Pikiran manusia menambahkan dan sekaligus
mendistorsi data dari dunia lauar; namun ide-ide dan konsep-konsep yang kita
miliki harus sesuai bersesuaian dengan ( correspondenca
to) data. Jika, tidak, berarti ide-ide dan konsep-konsep tersebut keliru (salah).
Kritisisme
Immanuel Kant.
Menurut Kant, realitas pada dasarnya terbagi
kedalam dua dunia, yakni dunia fenomenal (phenomenon,
atau dunia sebagaimana menampakkan diri pada pengamat) dan dunia noumenal (noumenal, atau dunia yang sesungguhnya,
yang berada didalam diri realitas itu sendiri). Meskipun dunia noumenal itu
ada, tetapi keberadaanya di luar pengetahuan kita. Kita tidak dapa
sungguh-sungguh menjangkaunny. Kant memberikan nama Ding-an-sich (ada-dalam-dirinya-sendiri). Pikiran manusia tidak
dapat menembus noumenal ini. Pengetahuan manusia hanya terbatas pada dunia
fenomenal, dunia pengalaman. Kita tidak mengetahui apa pun diluat dunia
pengetahuan. Di dalam dunia penomenal, pengetahuan kita merupakan campuran dari
apa yang diterima (dialami) oleh kita dari luar dengan proyeksi-proyeksi dan
harapa-harapan kita sendiri: ruang dan waktu adalah “kondisi sunjektif dari
sunsebilitas kita” atau “bentuk dari intuisi” yakni, mereka adalah proyeksi
dari pemikiran kita sendiri dan penambahan dari kualitas murni atau bahkan
material dari pengalaman (warna, bentuk,suara) yang masuk kesadaran dari luar.
Di pihak lain, pemahaman penyumbangan prinsip-psinsip yang diberi nama “kategori-kategori”
atau “konsep-konsep murni” misalnya, kasatuan, pluralisme, substansi, sebab
akibat, kemungkinan, atau keniscayaan. Bentuk-bentuk intuisi dan konsep-konsep
murni dan bahan-bahan formal pengalaman. Contoh: pemahaman saya tentang kekasih
saya hanya terbatas pada apa yang saya tangkap tubuh, raut wajah, tingkah laku,
emosi, dan sikap dia (fenomenal). Saya tahu tinggi dan berat badannya,
kesukaan-kesukaanya, hal-hal yang mencemaskan, bahkan tingkat kecerdasannya.
Namun, eksistensi dan keberadaan dia yang sesungguhnya (noumenal) sangat gelap buat saya. Terbukti bahwa sering kali saya
salah dalam memahami dia, sehingga seringberselisih paham atau berantem dengan dia.
Positipisme
Logis. oleh aliran filsafat ini maslahnya yang
kita bisa diketahui dan tidak bisa diketahui diubah dalam bentuk yang bermakna
dan yang tidak bermakna. Menurut aliran ini, kriteria yang untuk menbedakan
yang bermakna dari yang tidak bermakna adalah pembuktian atau verifikasi
empires. Misalnya pernyataan, “ skemarin sore di jakarta huajn deras,” adalah
tidak bermakna, meski pasti benar (bagaiman mungkin jiwa bisa sadar diri
jika tidakada alam yang menopang
hidupnya?) dengan demikian, bats-batas pengetahuan dan juga ukuran kebenaran
suatu pengetahuan adalah kemungkinannya untuk di verifikasi.
2.5 Sumber dan Struktur
Pengetahuan
Apa
sebetulnya sumber penegetahuan itu? Bagaimana strukturnya? Ada sejumlah aliran
filsafat yanag mencoba menjawab pertanyaan tersebut, antara lain rasionalisme
dan empirisme.
2.5.1
Rasinalisme
dan Empirisme
Menurut
rasionalisme, pengetahuan pada dasarnya diperoleh dari pemikranan logis dan
deduktif melalui rasio manusia.
Sebaliknya, menurut empirisme, pengetahuan, sedangkan rasionalisme pada
karakter kekuatan logika dan metematika.
Pertentangan
kedua paham ini telah ada sejak Zaman pra-Socrates-yakni, antara Heraklitus
(empirisme) dan Parmenides (rasionalisme) sampai pasca-socrates yakni antara
plato (rasionalisme) dan Ristoteles (empirisme) dan memuncak pada abad ke-17,
yakni antara John Locke dan David Hune dari kabu empirisme melawan Descartes,
Leibnis, dan Spinosa dari kubu rasionalisme.
Untuk
memahami perbedaan antara rasionalisme danemperisme mari kita lihat persoalan
mengenai pengetahuan a priori, atau
pengetahuan tentang suatu objek sebelum kita memiliki penegalamn tentang objek
ini. Rasionalisme abad ke-17 berpandangan bahwa sesuatu atau beberapa
pengetahuan yang sangat tentang dunia secara logis tidak tergantung dari
pengalaman. Dengan perkataan lain, rasionalisme percaya bahwa ada
proposisi-proposisi tentang dunia yang dapat diverifikasi dan dijustifikasi
hanya oleh karena rasio, tanpa memerlukan bantuan pengalaman.
Pernyataan-pernyataan seperti “semua kejadian ada sebabnya,” “semua manusia
akan mati”, adalah tiga contoh pernyataan a priori. Beberapa filsuf
rasionalisme mengakui adanya pernyataan-perntayaan seperti “jumlah penduduk
indonesia adalah 240 juta jiwa” atau “sel-sel dewasa mempunyai 23 pasang
kromosan,” yang diperoleh dari pengalaman, tetapi banyak pengetahuan yang
krusial diperoleh dari rasio, tanpa bantuan observasi. Para rasionalis yang
ekstrim sepetrivParmenides, Leibnes, dan Spinosa bahkan menyatakan bahwa semua
pengetahuan pada alam semesta dapat diperoleh dengan cara pemikiran deduktif
yang hati-hati, tanpa mengacu pada fakta-fakta.
Empirisme
menolak kemungkinan pertimbangan a
priori. Bagi seorang penganut emperisme, pengalaman empirisme adalah
satu-satunya sumber pengetahuan. Tidak ada pengetahuan yang tidak berasal dari
pengalaman. John Locke bahkan menegaskan bahwa jiwa atau pikiran manusia pada
dasarnya adalah seperti kertas kosong, seperti tabula rase: pengalanya yang
mengisi jiwa atau pikiran itu sehingga ia seolah-olah mempunyai pengetahuan a priori.
Seorang
empires lainnya, David hume menegaskan, “semua gagasan kita atau persepsi-persepsi
kita yang lebih lemah adalah tiruan dari kesan-kesan kita. “ dengan, demikian,
pengetahuan a priori ditolak; ia
hanya mengakui pengetahuan a posteriori (penegtahuan yang diperoleh dari, atau
setelah, pengalaman).
Dalam
konteks ilmu pengetahuan berikut ini: apakah ilmu pengetahuan mendasarkan dari
pada pengetahuan a priori atau fakta-fakta empires? Ilmu pengetahuan,
tentu saja mendasarkan diri pada fakta-fakta empires. Namun, disadari atau tidak didasari , ilme
pengetahuan pun mengakui adanya pengetahuan a
priori . Misalnya, ilmu pengetahuan mengakui adanya hukum sebab-akibat atau
kausalitas, yakni bahwa gerak suatu gejala (variabel-variabel indefenden). Kita
tahu bahwa salah satu tujuan ilmu pengetahuan adalah mencari den menjelaskan
sebab-sebab dari suatu gejala yang diselidikinya dan tujuan itu didasari pada
keyakinann a priori.
2.5.2
Hakikat
Pengetahuan A Priori
Apakah
pengetahuan a priori, atau
pengetahuan yang telah ada dalam diri kita tanpa tergantung pada pengalaman
hakikat pengetahuan a priori
(koestembaum, 1968):
a)
A
priori
sesuatu yang bersifat intinsik. Pendapat ini dikemukakan oleh para
rasionalisme abda ke-17, seperti Descatres, Leibniz, Spnosa, dan Wolf.
Menurutmereka, ide-ide a priori
adalah ide-ide bahwa (innate idea).
Manusia mempunyai potensi, disposisi untuk menembangkan ide-ide yang bersifat
universal seperti ide-ide matematis. Ide-ide matematis adalah ide-ide yang
tidak tergantung pada pengalaman. Orang buta dapat menjadi sesorang ahli
metematika yang andal, sejauh dia pemiliki rasio.
b)
A
priori sebagai lumen
natureale. Manusia mempunyai cahaya batin atau alami (lumen naturale) sehingga mempu membedakan ide-ide yang meragukan
dari ide-ide yang jelas, self-evident.
Pernyataan “jarak terdekat antar dua titik merupakan garis lurus” adalah
kebenaran yang mutlak dan jelas, dan penyataan itu adalah a priori, sehingga tidak
perlu pengalaman untuk membuktikannya. tidak perlu ada pembuktian empires untuk memmbuktikan
kebenaran pernyataan ini. Bandingkan denga pernyataan, “pohon itu berwarna hijau”.
Pernyataan ini mungkin benar, tetapi tidak self-evident,
karena diperoleh dari pengalaman.
c)
A
priori adalah asumsi yang mutlak deperlukan. Pendapat
ini dikemukakan oleh Immanuel Kant. Ia bermaksud mencari
pengandaian-pengandaian atau hipotesis-hipotesis logis yang harus ada sebelum
pengalaman terjadi pada kita. Kant memahami a
priori sebagai kaca mata berwarna
yang memberi warna pada pengalaman kita. Jiwa dianggap terdiri dari serangkaian
kamar kecil atau kotak yang kedalamnya masuk informasi dari pengalaman kita.
Oleh sebab itu, a priori adalah mutlak perlu untuk mengalami dunia
dalan suatu cara yang sesuai atau pas dengan struktur pikiran kita.
Asumsi-asumsi tersebut mutlak perlu agar pengetahuan kita menjadi pasti-
seperti tidek terbatasnya ruang dan waktu-meskipun pengetahuan itu kemudian
mengatasi pengalaman.
Impretasi
lain mengenai teori Kant adalah demikia. Keberadaan pengetahuan a pripri , karena kebalikannya, “Aku
tidak ada”, pasti salah.
d)
Penolakan atas
pengetahuan a priori. Penolakan ini terutama dilakukan oleh para
penganut emperisme, antara lain John Stuard Mill (1806-1873). Penolakan mereka
didasarkan pada dua alasan. Alasan pertama adalah bahwa semua pernyataan a priori adalah hipotesisi empires. artinya pernyataan
ini hanya berupa dengunngan sementara yang seumbernya diperoleh dari pengalaman
empiris. Menurut Mill, kebenara a priori tidak bersifat niscaya atau pasti, karena pada
dasarnya adalah hipotesis empires, didasarkan pada pengamalan. Alasan kedua
adalah bahwa semua pernyataan a prioris adalah analisis, diperoleh melalui analisis
terhadap bahsa atau matematika.
Analitik vs
Sintetik. Kant membedakan dua jenis proposisi
yaitu sintetik dan analitik.
Proposisi sintetik berisi tertang sesuatu yang merupakan halnya atau bukan
halnya tentang kenyataan. Misalnya, “emas ini beratnya 20 gram,” di mana “emas”
menunjukkan penampakan fisik dan “beratnya 20 gram” merupakan informasi baru,
yang tidak diperoleh melalui analisis. Proposisi analitik – dinamakan juga
tautologi –adalah proposisi dimana presikat hanya semata-mata hanya menjustifikasi
atau menyatakan kembali apa yang telah ada pada subjek kalimat. Contoh: “semua
biru adalah warna,” “lingkaran adalah bulat”, “semua segitiga memiliki tiga
sisi”. Semua pernyataan itu menunjukkan bahwa predikat-predikatnya tidak
memberi informasi baru terhadap sabjek-sabjeknya.
A priori vs A posteriori. A priri adalah pengetahuan yang tidak diperoleh melalu
pengalaman. Dalam hubungannya dengan pernyataan analisis dan sistem menjadi
tampak: semua proposisi analisis adalah a
priori – yakni, proposisi yang kebenaranya dapat dipastikan hanya melalui
pengujian makna istilah-istilahnya, tanpa mengacu pada obserpasi atau
eksperimen. Sedangkan, semua proposisi atau a
posteriori adalah sintesis – yakni,
diperoleh manusia pengalaman, bukan hasil analisis bahasa atau matematika.
2.5.3
Hakikat Pengetahuan
Sintesis A priori
Kant
mendamaikan pertentangan para rasional dan empires dengan mengajukan
kemungkinan pengetahuan yang yang bersifat sintesis
a prioriti . Menurut Kant, pengetahuan ini
memberi kita informasi melalui dunia, katena karakter sintesinya, tapi
secara logis mendahului pengalaman, karena karakter a prioriti –nya. Ia berkeyakinan bahwa “meski semua pengetahuan
mulai dengan pengalaman, tetapi berarti berasal dari pengalaman.” Para
rasionalis menerima pengetahuan ini, sedangkan para empires menolaknya.
Pendapat
Kant boleh jadi benar. Pengetahuan a
priori adalah alat atau perlengkapan
yang kit bawa pada pengalaman dan digunakan untuk mengklarifikasi,
mengorganisasikan, dan mengantisifasi pengalaman. Definis-definis, hukum-hukum
matematia teori-teori ilmiah adalah bagian dari pengalaman, tapi juga
mendahului pengalaman. Contoh: “lingkungan yang crowdedmenimbulkan stres”. Ini adalah sintesis (membeli onformasi
baru), tapi juga a priori , karena
menjadi perlengkapan buat kita untuk antisifasi pengalaman yang akan datang
(mendahului pengalaman), misalnya dalam aplikasinya (contohnya: “hindari
lingkungan yang crowded, jika tidak
ingin mengalami stres”).
2.6 Persoalan Validitas
(Kebenaran) Pengetahuan
Esiptemologi
tidak hanya berusaha menjawab pertanyaan mengenai apakah suatu pengetahuan itu
benar atau tidak benar,tetapi juga
mencari jawaban ats pernyataan mengenai apa yang dimaksud oleh seseorang
ketika ia mengatakan bahwa pengetahuan itu benar? Apa yang menjadi
kriteria-kriteria kebenarannya?
Secara
tradisional, terdapat tiga teori mengenai kebenaran teori korespondensi tentang
kebenaran, teori koherensi tentang kebenaran, dan teori pragmatis tentang
kebenaran.
2.6.1
Teori
Korespondensi
Menurut
paham ini, kebenaran terjadi jika ada kesesuaian antara bentuk-bentuk simbolik
bahasa seperti kata, kalimat, gagasan, atau pikiran, dengan keadaan nyatanya,
yakni objeknya yang berada diluar kita. Kebenaran, dengan demikian, adalah
adanya ekuivalensi, adanya hubungan suatu hal dengan lainnya (isomorphism), atau adanya kesamaan antar
aspek simbolis atau resperensatif , yakni objek yang disimbolisasikannya.
Naman,
tiga kesulitan jika kita mengambil sikap ini. Ambillah tiga contoh pernyataan
berikut: (1) “mahasiswa laki-laki dikelas ini mengenakan dasi”, (2) “atom klori
mempunyai tuju elektron pada kulit luernta,” (3) “6=3=9”. Pernyataan (1) tidak
mengalami kesulitan untuk membuktikan, karena pertikel ini tidak bisa kita
selididki secara langsung. Kebenaran dari pernyataan ini jadi kabur, jika
menggunakan teori korespondensi. Demikian juga dengan pernyataan (3), karena
tidak ada peristiwa perseptual yang bisa dijadikan acuannya.
2.6.2
Teori
Koherensi
Menurut
teori ini, kebenaran terjadi jika suatu sistem proposisi secara internal
koheren (runtut) satu sama lainnya. Pernyataan “2+2=4” adalah benar, sejauh
pernyataan itu koheren dan sistem dengan seluruh pernyataan matematika.
Pernyatan “2+2=4” itu salah karna bukan tidak sesuai dengan fakta, melainkan
tidak koheren dengan pernyatan-pernyataan lain dalam matematika (misalnya,
bertentangan dengan 2+2=4). Pernyataa “manusia dalah makhluk yang tidak bebas,
karena setipa perilaku manusia di tentukan oleh paktor-pakro eksternal” adalah benar
jika kita menganut paham determinisme. Koherensif menjadi konsisten
proposis-proposis, teori-teori, dan observasi-observasi kita, tetapi tidak
menjamin konsistensi antar ideatau teori kita dengan keadaan sebenarnnya.
Misalnya:semua mahasiswa dikela ini perempuan , A adalah mahsiswa dikelas ini,
maka ia adalah perempuan,” adalah benar, meski secara emfiris tidak benar karna
dikelas ini ada mahasiswa laki-laki. Filsafat Hegel, dan juga positivisme
logis, adalah penganut paham ini. Bagi heger dan positivisme logis, logika dan
matematika merupaka metode yang paling penting untuk menyusun pengetahuan yang
benar.
2.6.3
Teori
Pragmatik
Teori
progmatik (dari kata yunani pragma,
tindakan) tentang kebenaran menghubunggkan maknakebenaran dengan, proses
konfirmasi, pengujian, atau verifikasi. Menurut teori ini, kebenaran bukan
suatu keadaan, melainkan tindakan kebenaran bukan hubungan statis antara
pikiran dan dunia luar, melainkan berkaintan dengan konsekuensi terhadap
tinadakan. Teori progmatika tentang kebenaran dapat dipandang sebagai posisi
esiptemologi yang praktis. Makna gagasan atau pernyataan ditemukan di dalam
kemampuan untuk prediksi, ekspektasi, antisipasi – yakni tinadakan masa depan –
yang dibawakannya. Contoh: (1) pernyataan “ia mencintaiku” menunjukkan pada
perilaku di mas depan: karena ia mencintaiku, maka ia akan memberi perhatian
padaku, akan tersenyum ketika menyambutku, tidak terpengaruh oleh
kesialan-kesialan yang sering menimpa diriku. (2) teori “frustasi memyebabkan
agresi” menunjuk pada perilaku di masa depan: untuk menghindari agresi, hindari
frekuensi.
2.6.4
Teori
Perpormatif
Teori
performatif tentang kebenaran meyakini bahwa suatu pernyataan disebut benar
jika diputuskan atau dikemukakan oleh orang-orang atau tokoh-tokoh yang
memiliki oteoritas tertentu di bidangnya. Dalam kehidupan yang sebenarnya
kriteria untuk mengukur suatu kebenaran serinkali tidak berkenaan dengan acuan
empires (korespondensi) atau konsistensi antara satu pernyataan dengan
pernyataan lainnya (koherensi), melainkan dengan orang atau tokoh yang mengungkap “kebenaran” itu. Jadi,
kriteria kebenarannya sering mengacu otoritas orang atau tokoh yang
mengemukakan suatu argumentasi. Ini sering terjadi di politik, agama, kehidupan
sehari-hari, dan bahkan didunia akademik. Misalnya, seorang guru besar
terkemuka merancang suatu teori A tentang gejala stress. Ia mendapatkan
pengakuan dan penghargaan internasional untuk teori tersebut. Maka, teori A itu
dijadikan sebagai benchmark atau
acuan untuk semua fisikolog yang hendak menjelaskan suatu peristiwa atau gejala
stress. Karena si guru besar itu cukup terkemuka, maka apa pun yang dikatakan
olehnya dianggap sebagai suatu kebenaran, meski barangkali tidak semua yang
dikatakannya benar!
2.6.5
Teori
Konsensu
Teori
konsensu tentang kebenaran memiliki pandanga yang berbeda dari empat teori yang
telah dijelaskan diatas. Menurut teori ini, kriteria kebenaransuatu pernyataan
tidak teletak pada pernyataan itu sendiri (seperti yang ditegaskan oleh teori
koherensi dan teori koherensi dan korespondensi), atau pada konsekuensi praktis
dari pernyataan itu (seperti yang ditegaskanoleh teori pragmatis), atau pada
otoritas orang atau tokoh yang mengemukakan pendapat itu ( seperti yang
diungkapkan oleh teori performatif), melainkan pada pengakuan sesuatu komunitas
yang mendukungpernyataan tersebut. Ini bererti bahwa kebenaran suatu pernyataan
pada dasarnya terletak pada aspek sosialdan psikologis, bukan pada isi atau
bentuk dari pernyataan tersebut.
Dalam
ilmu pengetahua, kriteria kebenaran seperti ini kerap kali kita temukan.
Misalnya dalam psikologi. Banyak sarjana fisikolog yang membanta teori-teori
psikoanalisis dan nilainnya tidak ilmiah, karena dibangun berdasarkan pada
metode-metode “ilmiah” (misalnya eksperimen-eksperimen). Tetapi kenapa
psikoanalisis hingga dewasa ini masih diakui kebenarannya dan dipertahankan
sebagai salah-satu paradigma besar dalam fisikolog? Teori konsensus akan
menjawab bahkan hai itu dikarenakan sesuatu teori tidak terletak pada
pengguanaan atau kecanggihan metode-metodenya tetapi terutama pada ada atau
tidak adanya komunitas yang mendukung teori tadi. Jadi, masalah kebenaran pada
dasarnya tidak berkaitan dengan aspek pisiologis dan psikologis.
Siapa
komunitas yang dimaksudkan oleh teori konsesu tadi? Tentunya adalah komunitas
ilmia, yakni sekumpulan ilmuan yang mendukunga suatu pradigma
(perspektif)tertentu dan melakukan sejumlah riset derdasarkan pada paradigma
tersebut. Mereka biasnnya membentuk asosiasi yang memiliki perspektif atau
paradigma yang sama, penerbitan jurnal dan pertemuan-pertemuan ilmia oleh para
pendukung para digma yang sama, dll. Misalnya saja komunitas psikoanalisis,
yang terjadi pada para psikolog psikiater yang mendukung teori-teori
psikoanalisis.
Menurut
teori konsensus, kebenaran sebuat teori menurut sebuah paradigma atauperspektif
A, tidak dapat diperbandingkan dengan kebenaran teori-teori ,menurut paradigma
B atau C. Kebenaran menurut paradigma psikoanalisis tidak dapat dibandingkan
dengan kebenaran menurut pradigma-pradigma lain seperti behaviorisme, psikologi
kognitif, neuropsychology, dan lain-lain. Demikian juga sebaliknya.
2.7 Metafisika
Koestembaun(1968)
mendefenisikan metafisika sebagai studi mengenai
karakteristik-karakteristikyang sangat umun dan paling besar dari kenyataan
yang sebenarnya (ultimate reality.
Metafisika menguji apsek-aspek kenyataan seperti ruang dan waktu, kesadaran,
jiwa dan materi, ada (being),
eksistensi, perubahan, subtansi dan sifat, akttual dan potensi, dan lain
sebagainnya. Persoalan-persoalan mengenai aspek-aspek dari kenyataan tersebut,
secara implisit, sebenarnya muncul dalam ilmu pengetahuan, agama, dan bahkan common sense, akan tetapi, sejumlah
filsuf tidak meras puas mengandalkan disiplin-disiplin atau bidang-bidang
pengetahuan tersebut di dalm pemikiran pemikiran metafisika mereka.
Metafisika pad asasnya meneliti
penelitian perbedaan antara penampakan (appearanca)
dan kenyataan (realita). Karena
benda-benda tidak sepenuhnya tanpak sebagaimana adanya, maka tugas metafisika
adalah untuk mengungkap apa yang ada di dasar pengalaman kita, atau kenyataan
apa yang sesungguhnya tersembunyi dibelakang penampakn indra kita. Ada sejumlah
aliran yang coba mangungkap hakikat kenyataan dibalik penampakan tersebut.
Misalnya, identitas atau personalisme menyatakan bahwa kenyataan yang paling
dasar sesungguhnya sepupa atau berhubungan dengan kesadaran manusia.
Materialisme dan maturalisme percaya bahwa kenyataan paling dasar pada prinsip
sama dengan peristiwamaterial dan natural. Mekanisme meyakini bahwa kenyataan
yang kita alami pada dasarnya di tentukan atau didigerakkan secara kebetulan
dan ber-jalan seperti mesin. Organisme atau vitalisme percaya bahwa kenyatan yang bisa diibaratkan
(dimetaforkan) seperti organisme yang hidup.
Sejarah pengetahuan manusia
menunjukkan, bahwa di dalam proses mendapatkan pengetahuan, manusia tampaknya
tek henti-hentinya berusaha untuk menyatukan berbagai fakta dan beragam gejala
yang beragam kedalam suatu kesatuan. Mereka membawa fakta-fakta yang beragam
dan tersebar kedalam satu kesatuan sistem yang kehoren, menyeluruh, dan cerdas.
Puncak dari kebutuhan untuk menyatukan semua hal kedalam satu kesatuan itu ada
pada metafisika. Metafisika bermaksud bukan hanya menggabungkan dalam suatu
sistem atau visi dari hasil-hasil dari
ilmu pengetahuan,tetapi jugamenggabungkan pandangan common sense, seni (puisi dan karya-karya seni lain), agama, serta
kewajiban moral, kedalam satu pandangan yang menyatu dan menyeluruh mengenai
kenyataan. Akibatnya adalah bahwa pernyataan-pernyataan atau proposis-proposis
metafisika jadi sangat umum, evokatif, dan sering pula samar-samar (kurang
jelas). Oleh sebab itu, bisa dipahami bahwa sejumlah filsuf yang berasal dari
abd kesembilan belas dan keduapuluh – misalnya para eksistensialis, para
positifis, denganalasan yang hampir sama, yakni terlalu abstrak dan tidak
memiliki kontribusi praktis dan langsung
pada kehidupan.
2.7.1
Apakah
Metafisika
Perlu diakui bahwa
tidak semua fulsuf mendukung adanya metafisika dalm filsafat. Ada sejumlah filsuf yang menentang
metafisika. Sebut saja misalnya Auguste Comte, seorang filsuf prancis sekaligu
positivisme (lihat Abidin 2009). Menurut Comte, metafisika sudah out of dite ,sudah seharusnya
ditinggalkan karena tidak dapat menjelaskan ralita secara tepat. Dia menjelaska
bahwa sejarah ummat manusia pada dasarnya merupakan sejarah perkembanganakal
budi manusia. Akal budi manusia, sebagaimana tercermin dalam sejarah peradaban
manusia, melawati tiga tahapan penting, yakni tahap mitis atau teologis, tahap
metafisika atau tahap positif . tahap positif adalah tahap akal budi manusia
yangpaling tinggi karena membawa peradaban manusia menjadi peradabam moderen.
Ciri utama dan tahap ini adalah tahap
dimana metode atau cara berfikir menjadi sangat ilmiah. Tahap positif adalah
tahap diman metode atau cara berfikirilmu pengetahuan alma menjadi medol bagi
pengembangan pengetahuan termasuk, ilmu-ilmu sosia, filsafat bahkan common sense dalam kehidupan sehari
hari. Dengan sampainya sejarah manusia pada tahap positif , maka caraberfikir
mitis dan metafisika harus segera ditinggalkan.cara berfikir metafisika (dan
juga cara bepfikir teologis atau mitis) tidak dapa lagi dipertahankan dalam
kehidupan massa kini.
Namun, banyak filsuf yang
berkeyakinan bahwa metafisikatidak dapat diabaikan dalam filsafat, bahkan
sangat pengting keberadaanya. Koestambaum (1968) memerinci beberapa alasan
mengapa metafisika pentinga.
a)
Metafisika tidak bisa
dihindari. Ketika menyaksikan dan mengalami kehidupan sebagai adil dan tidak
adil, bersahabat, dan tidak bersahabat, teratur dan kacau balau (chaotik), baik dan jahat. Tanpa disadari
keta menghubungka peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta tersebut satu sama lain,
sehingga secara samar-samar kita membangun pandangan yang kabur, tetapi
menyeluruh tentang kehidupan. Gambaran itu dalah campuran dari common sense, filsafat, ilmu, dan agama
metafisika secara sistematis membangun pandangan dunia yang implisis tersebut
disertai dengan argumentasi-argumentasi dan implikasi-implikasi logisnya.
b)
Etafisika adalah
landasa pengetahuan. Kita memiliki kecenderungan untuk menyusun pengetahuan
kita secara kokoh. Untuk keprluanitu, kita memrlukanmetafisika. Metafisika
dalaha prokondisi logis pengetahuan. Pohon pengetahuan akan runtuh jika
arak-akarnya tidak kuat. Ambil contoh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
memiliki itga landasan filsafat, yakni metafisika (atau sering juga dinamakan
landasan ontologi), epistemologi dan
kasiologi. Landasan metafisika ilmu pengetahuanmemungkinkan ilmu pengetahuan
dapat menetukan bats-bats kajian objek secar tegas.
Disamping
itu, sering terjadi ketika kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan teoritas yang
diajukan untuk mendapatkan jawaban-jawaban sampai ke akar-akarnya, secara tak
terhindarkan kita akan mendarat di
wilayah metafisika. Pernyataan-pernyataan metafisika muncul dalm setiap usaha
atau kerja kognitif, termasuk kerja dalm ilmu pengetahuan.
c)
Metafisika dapat memecahkan masalh-masalh atau mesteri-misteri
kehidupan sehari-hari, yang menuntut untuk segala diberikan jawaban. Misalnya,
pernyataan mengenai kebenaran Tuhan: jika tuhan ada dan ia Maha adil dan
bijaksana, lalu mengapa ada penderitaan? Mengapa kebahagiaan hanya dirasakan
oleh manusia-manusia tertentu, tetapi tidak dirasakan oleh manusi-manusia lain
yang tidakberunrung?
d)
Metafisika adalah
landasan nilai. Isu-isu metafisika sangat, berhubungan dengan
persoalan-persoalan eksistensi manusia dan dengan masalah kehidupan yang lebih
baik. Pada umunya kita sangat cocern dengan isu-isu mengenai kehidupan manusia
seperti kelahiran dan kematiaan, cinta dan benci, keamanan dan kecemasan,
persahabatan dan permusuhan, damai dan perang, kebahagiaan dan penderitaan,
kebermaknaan dan keridakmaknaan, dan lain-lain. “harusnya kita mengenai
kehidupan dan dunia sebagaimana adanya?” “atau haruskah kita mengubahnya
menjadi sesuatu yang kita inginkan, atau berharap agar dunia menjadi lebih
baik? “Apakah ada makna dan tujuan yang
bersifat ilahi di belakang dunia yang nyata ini? “apakah kita mampu
memahami atau menangkap tujuan yang bersifat ilahi itu?”
Jika jawabannya untuk pertanyaan
terakhir itu adalah “tidak”, maka untuk menemukan makna kehidupan yang sejati,
kita jangan pernah berharap petunjuk dan bantuan daru kekuatan ilahi. Kita
harus menyesuaikan tujuan- tujuan kita, agar sejalan dengan apa yang diberikan
oleh alam dan lingkungan sekitar kepada kita dan puas dengan kesenangan yang
ada. Kita harus berusaha menubah dunia dengan mengejar tujuan-tujuan kita, dan
itu hanya bisa dilakukian dengan menggunakan ilmu dengan teknologi. Kulkas,
komputer, internet, mesin cuci, obat-obatan dan tumah sakit, televisi, mobil,
dan lain-lain barang-barang mewah hasil IPTEK, menjadi alat-alat yang mutlak
diperlukan unutk mendapatkan makna hidup, mengatasi kematian dan kecemasan,
bahkan menjalani persahabatan dan
mendapatkan cinta dari seseorang kekasih. Antusiasme untuk menjalani kehidupan
dengan cara ini adalah karakteristik dari naturalisme dan materalisme. Naturalisme berpandangan bahwa dunia yang nyata adalah
dunia alam fisika, dunia yang terbuka pada kita melalui metode ilmiah.
Naturalisme adalah pandangan dunia bahwa tudak ada ruang untuk dunia lain,
selain dunia alam fisik itu. Materialisme berpandangan bahwa fisika-lebih
khusus lagi, kinetika- adalah ilmu dasar dan bahwa semua kejadian dan semua hal
(termasuk manusia) dapat direduksi pada fungsi-fungsi atau bentuk-bentuk
materi.
Di pihak lain, jawaban atas
pertanyaan apakah ada makna dan tujuan ilahi dibalik alam yang nyata ini, boleh
jadi jawabannya “ya”. Dalam arti ini kita percaya bahwa ada kenyataan yang
lebih dalam dan tinggi-atau, ada kebenaran di belakang penampakan dunia alamiah
ini- yang mampu memenuhi kerinduan jiwa kita. Kemungkinan untuk memenuhi
kerinduan pada yang luhur dan sakral ini merangsang manusia untuk berspekulasi
mengenai kenyataan ideal, kenyataan ilahi. Pandangan metafisika yang bersifat
spekulatif mengenai adanya kekuatan ilahi misalnya tampak pada idealisme Heger
(1770-1831), fichte (1762-1814); filsafat proses Whitehead (1861-1947). Menurut
idealisme, di balik alam fisik yang serba
berubah ini terdapat kekuatan ilahi (oleh Hegger disebut “Roh Absolut”) yang
terus berkembang secara dialektif untuk menjadi laebih baik lagi. Alam fisik
pada dasarnya adalah perwujudan dari kekuatan ilahi ini.
2.7.2
Apakah
Metafisika Mungkin?
Sejak Zaman yunani
kuno, bahkan hingga dewasa ini,hampi sebagian besar filsafat diwarnai oleh
pemikitan pemikiran metafisika, kendali cukup banyak juga filsuf yang meragukan
dan menolak metafisika. Para filsuf yang menolak metafisika berasala bahwa
metafisika tidak mungkin karena melampau batas-batas kemampuan indra untuk
membuktikan kebenaran-kebanarannya. Kebenaran-kebenara yang ditawarkan oleh metafisika terlalu luas dan
spekulatif, sehinnggas tidak dapat
dibuktukan dan diukur kebenarannya.
Jika dikelompokkan, para pengkritik
terhadap metafisika terdiri dari empat kelompok, yakni: para spektif,
positivis, eksistensialis, dan posmodernis. Kelompok pertama diwakili misalnya
oelh Hume dan Kant. Kelompok kedua diwakili oleh Comte dan para positifist logis. kelompok ketiga
diwakili oelh Kierkegaard, Sarter, pase filsuf eksistensialis lainnya. Kelompok
keempat di wakili oelh Laytard, foucault, dan para postmodernis lainnya.
2.7.3
Ontologi
Persoalan yang digeluti
oleh ontologi adalah persoalan makna, hakikat (nature), dan struktur ada. Tugas ontologi, sebagaimana dikemukakan
oleh Aristoteles, adalah: “menyelidiki ada sebagai adanya dan atribut-atribut
yang terdapat padanya atas dasar hakikatnya sendiri/ “pada zaman modern,
persoalan-persoalan ontologi ini diselidiki antara lain oleh Martin Heidegger
(1889-1976) dan Paul Tillich (1886-1965), dengan pendekatan yang tentu saja
berbeda dari Aristoteles. Salaha satu dari penyelidikanmereka adalah: “ada
tidak menunjuk pada sesuatu, melainkan merupakan suatu sifat yang memiliki oleh
segala sesuatu yang ada, dan atas adasra itu maka mereka ada.”
Menurut Aristoteles, Ontologi pada dasarnya dimaksud
untuk mencari makna ada dan struktur umum yang terdapat pada ada, struktur yang
dinamakan kategori dan susunan ada. Akan tetapi, hasil pencarian Aristoteles
menunjukkan bahwa pernyataan mengenai makna dan membawa kita pada penghargaan
terhadap keajaiban eksistensi manusia, sedangkan studi mengenai kategori
membawa pada sebab pertama, asal-usul dari segala sesuatu (Tuhan). Tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa motif yang sesungguhnya dalam studi mengenai
ontologi adalah jastifikasi atas pengetahuan dan emosi etis.
2.8 Kosmologi
2.8.1
Prinsip-prinsip
Pengklafikasikan di dalam Kosmologi
Sebelum masu ke dalam
filsafat kosmologi, penting bagi kita untuk memahami terlebih dulu perbedaan
antara penampakan (appearance) dan
kenyataan yang sebenarnya (ultimate
reality). Pada dasarnya posisi-posisi metafisiska suatu filsafat bisa
dilihat dari perbedaan itu, kendati umum yang mendekskripsikannya para filsuf
menggunakan istilah-istilah yang berbeda antara apa yang tampak melengkung seperti kubuh, tetapi kenyataannya ia merupakan kumpulan tak berhingga dari asap (uap
air), gas, dan unsur-unsur alam
(kimiawi) lainnya. Bunga tampak
merah, tetapi kenyataannya warna merupakan
hasil interaksi antara cahaya dan sistem saraf manusia.
Posisi-posisi metafisik
aliran-aliran filsafat dapat kita kenali dengan sebagai penampakan dan sebagai
kenyataan. Misalnya, kita mengalami banyak sekali hal atau kejadian yang
bersifat individual dalam dunia ini (plularity)
. jika hal-hal atau kejadian-kejadian yang banyak sekali tersebut dianggap
nyata, maka posisi metafisika kita dinamakan pluralisme kuantitatif. Di lain pihak, jika seperti parmenides dan
spinoza, beranggapan bahwa berbagai peristiwa dan benda-benda yang tampak
banyak sekali itu pada perinsipnya adalah manifestasi mnyesatkan dan hayali
dari kenyataan dasar yang tunggal (singular)
maka pandangan kita dinamakan monisme
kuantitatif atau singularisme. Jiak pluralitas
bentuk-bentuk bahan-seperti yang kita temukandi atas meja para ahli
kimia-dianggap nyata, sementara pluralisme bentuk dianggap hanya penampakan
belaka, maka pandangan kita dinamakan pluralisme
kuantitatifatau singularisme.
Jika pluralitas bentuk-bentuk bahan seperiti yang di meja para ahli
kimia-dianggap nyata, sementara pluralitas bentuk yang dianggap hanya
penampakan belaka, maka pandangan kita dinamakan pluralisme kualitatif atau seperti halnya pandangan dualisme
jiwa-materi Descartes, dinamakan dualisme
kualitatif. Demikian juga, jika pluralisme bentuk dianggap sebagai
penampakan belaka,yakni sebagai manifikasi dari bentuk bahan tunggal-seperti
pandangan Thales (640-550) Sm, yang berkata bahwa semua terbuat dari air atau
bahan-bahan yang berarti—maka pandangan itu dinamakan monisme kualitatif.
Disamping itu, kita pun dapat
memberi nama pada pandangan-pandangan spekulatif tertentu dengan cara
memerhatikan sistem tertentu yang dipercaya mendasari semua memerhatikan sistem
tertentu yang dipercaya mendasari semua penampakan. Misalnya, idealisme. Idealisme berpandangan bahwa
aspek-aspek totalitas pengalaman kita yang dinamakan mental atau ideal lebih
menyerupai atau lebih dekat dengan struktur kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality) dibandingkan dengan
unsur-unsur non-ideal atau meterial dalam pengalaman. Gejala alam fisik yang
tanpak dan dialami oleh kita hanyalah penampakan saja (appearance), sedangkan di balik itu ada kenyataan yang sesungguhnya
(reality), yakni berupa dunia mental,
jiwa, atau ideal. Kerena pandangan idealisme mereduksikan meteri pada jiwa,
maka dinamakan juga monisme.
2.8.2
Idealisme
sebelum
ada beberapa jenis idealisme. Jenis-jenis idealisme tersebut dapat dikenal dari
filsasfat-filsafat tertentu yang menempatkan aspek-aspek kehidupan mental
sebagai kenyataan yang sebenarnya (ultimate
reality). Misalnya saja personalisme
(atau idealisme personalik). Aliran
filsafat ini beranggapan bahwa personal (pribadi) merupakan metafor yang sangat
tepat untuk memahami dan mendeskripsikan alam semesat. Alam semesta adalah
suatu totolitas yang bergerak hidup dan
dikendalikan oleh seorang person. Di
samping itu, ada jenis idealisme subjektif, sebagaiman dipelopori oleh George
Barkeley (1685-1753). Selain tuhan, menurut Barkeley, kenyataan yang
sesungguhnya ada jiwa-jiwa manusia. Ada pun, Leibniz (1646-1716), dengan
monadismennya, masuk ke dalam panpychins,
kerena pandangannya yang menyatakan bahwa semua objek pada dasarnyya merupakan
entites atau jiwa-jiwa spiritual. Selain itu, ada pula jenis-jenis idealisme
lainnya seperti: idealisme voluntaristik
(kehendak manusia adalah akar-metafor untuk menjelaskan alam, misalnya dalam
filsafat Scopenhauer), idealisme
absolut atauobjektif (Hegel), dan solipsisme (diri manusia individual
adalah satu-satunya entitas yang ada).
2.8.3
Materialisme
Kebalikan
dari idealisme, materialisme menggunakan objek-objek material atau natural
sebagai metafor kenyataan yang sesungguhnya, sehingga semua penampakan
diseduksikan pada materi atau alam. Pandangan-pandangan meterialistik moderen
cenderung mekanistik dalam arti bahwa mereka menggunakan mesin sebagai metafor dasarnya. Gerak alam semesta,
dan juga tingka laku indonesia, serupa dengan pergerakan mesin-mesin. Pandangan
materialisme sering merupakan suatu bentuk casualism,
yakni pandangan bahwa hukum alam tidak lain adalah suatu yang terjadi secara
kebetulan dan bukan digerakkan oleh suatu tujuan tertentu (baik oleh tuhan
maupun oleh manusia). Sedangakan penganut meterialisme meyakini bahwa alam
semesta dekat dengan berhubungan erat dengan nilai-nilai tertinggi manusia dan
tema sentral pendangan meterialistik adalah bahwa alam semesta berpihak pada
nilai-nilai manusia.
Pada zaman Yunani Kuno filsafat
meterialisme dinamakan juga realisme materialistik adalah bahwa alam semesta
berpihak pada niai-nilai manusia.
Pada Zaman yunani kuno filsafat
meterialisme dinamakan juga realisme materialistik. Menurut realisme
materialistik unsur atau anasir paling dasar dari alam semesta pada dasarnya
bersifat bendawi atau materi. Pandangan ini dikemukakan misalnya oleh Empedocles
(490-430 SM), Democritos (460-370 SM), dan Anaxagoras (500-428 SM). Menurut
Empeducles, kenyataan dibangun dari empat unsur, yakni tanah, air, udara, dan
api. Menurut Anaxogaros, kenyataan yang sesungguhnya pada dasarnya berasal dari
benih (seeds), sedangkan menurut
Democritos berasal dari atom-atom (lihat uraian tentang pemikiran para filsuf
laksik ini di bab 2 buku ini). Dalam perkembangannya yang kemudian materialisme
modern mengubah objek-objek material khusus seperti tanah, benih, atau atom
dengan prinsip-prinsip umum seperti “alam”. Misalnya seperti yang dikemukakan
dalam naturalisme atau realisme naturalistik dari George Santayana (1863-1952) dan John
Dewen (1859-1952)
2.8.4
Dualisme
Dualisme meyakini bahwa
alam semsta tidak bisa direduksi hanya pada unsur-unsur material saja(seperti
materialisme naturalisme) atau spiritual saja (seperti idealisme). Pada
kenyataan kedua unsur tadi merupakan kenyataan sejati yang tidak dapat diubah
keberadannya. Pendapat Plato mengenai perbedaan antara teh sensible worlddan teh inteligible world, Descartes menegnai
pendapat antara jiwa (res cogitans)
dan materi (res extense), dan Kant
mengenai perbedaan antara dunia noumenal dan dunia fenomenal dapat
dikategorikan sebagai pendapat-pendapat dualistik menganai kenyataan.
2.9 Filsafat Manusia
Persoalan yang khas
dibahas dalam filsafat manusia terutama adalah mengenai hakikat psyche-yakni, kesadaran, dir, atau roh-perhubungan jiwa-badan, dan kehendak
bebas. Pada bagian ini hanya akan dibicarakan persoalan terakhir, yakni kehendak
bebas.
2.9.1
Kehendak
Bebas (Indeterminisme) vs. Determinisme
Parafilsuf tertari
meneliti masalah kehendakbebasmetafisika,
bukan kebebasan fisik. Kendala-kendala atau pembatasan –pembatasan yang
berasal dari luar kendali manusia (misalnya cacat bahwa, keturunan, asal ras,
dan lian-lain) pada hakikatnya bersifat fisik dan praktis, sedangkan masalah
tentang kebebasan kehendak adalah metafisika dan teorotisme. Adalah masuk akal
bahwa setiap peristiwa mempunya- sebab-sebab yang mendahului dan menentukannya,
oleh para filsuf rasional hal itu dianggap sebagai hukumyang berlaku pada
setiap peristiwa apa pun di dalam alam ini (the
principle of the uniformity of nature). Dalam perspektif rasionalisme,
tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Dengan demikian,
keberadaan kehendak bebas manusia pun adalah tidak mungkin, karena bertentangan
denagn prinsip atau hukum alam. Tindakan manusia tidak bebas dan tidak
ditentukan oleh manusia sendiri, melainkan ditentukan oleh kondisi-kondisi yang
mendahuluinya, misalnya budaya dan fosiologis dan kimiawi yang terjadi dalam
tubuh. Jika, manusia adalah makhluk alam, maka hukum keseragaman alam berlaku
juga padanya. Dengan demikian, tindakan dan pilihan manusia sudah bisa
diprediksikan sebelumya. Pandangan yang menyatakan bahwa kehendak bebas tidak
mungkin ada hanya ilusi belak dinamakan determinisme.
Namun, jika kita percaya bahwa kehendak
bebas adalah tidak mungkin, maka kita dihadapkan pada paradoks ganda. Pertama, ada bukti yang kuat (prima facie evidence) mengenai
pengalaman psontatitas dan kehendak bebas. Kita seringmerasa dan mengalami
bahwa kita mempunyai kebebasan untuk memiliki: menurut paksaan itu atau
mengakibatkannya. Jika kehendak bebas secara logis tidak mungkin, maka
pengalaman kehendak benas itu pasti ilusi. Para pedukung emperisme, yang
memberi bobot ontologo pada pengalaman, mungkin lebih mengakui bukti itu
ketimbang para rasionalisme, yang mengarah pada determinisme universal. Para
rasionalis, di pihak lain, lebih
mengakui hasil-hasil raso meraka dan menolak pengalaman kehendak bebas atas
dasar kepercayaan determinisme universal.
Paradoks kedua berkaitan dengan
masalah etis.Motoritas, etika,hukum, ranggung jawab, kewajiban-senua itu adalah
istilah-istilah yang konon hanya terdapat didalam masyarakat yang
beradab-adalah omong kososng dan tidak bermakna jika kita percaya bahwa tidak
ada kebebasan (seperti yang dianot oleh determinisme). Kita memang dihadapka
pada dilema:atau mendenganrkan rasio dan menolak kemungkinanTanggungjawab
individu, atau menolak rasio dan mempertahankan kemungkinan kehidupan etis.
Jika kita percaya akan adanya kehendak bebas maka kepercayaan kita dinamakan
indeterminisme atau libertarianisma.
Perlu diakui bahwa pandangan ilmiah
tentang manusia pada dasarnya adalah “deterministik”. Eksistensi manusia
(termasuk perilaku-perilaku dan pengalaman-pengalamannya) diasumsikan dibatasi
oleh masyarakat, dikondisikan oleh lingkungan, dan ditentukan oleh
paktor-paktor biologis atau genetis. Manusia sama sekali tidak dipndang sebagai
makhluk atau individu bebas. Tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan manusia
tidak dipandang berasal dari (atau ditenrukan oleh) diri sendiri (self-determinisme), melainkan oleh
kekuatan-kekuatan eksternal yang tidak yag tidak dikontrol. Kekuatan-kekuatan
tersebut diberi nama: “lingkungan”, “hereditas”, “conditioning”, “super-ego”,
“dorongan”, “kebutuhan”, “masa lalu”, dan lain-lain.
penerimaan atas determinismebukan
hanya bersdasarkan pada fakta ilmiah, tetapi juga merupakan kecenderungan
manusia untuk melepaskan diri dari tanggung jawab pribadi. Seperti diungkapkan
oleh Sartre (1905-1980), manusia sebetulnya menyadari bahwa mereka memiliki
kebebasan (kehendak bebas). Manusia bahkan identik dengan kebebassan. Akan
tetapi, menusia memilih hidup secara tidak autentik, yaitu berusaha melepaskan
kebebasan dan melepaskan diri tanggung jawab pribadinya. Kebebasan bukanlah
sesuatu yang menyenangkan, melainkan menyesatkan, memuakka(nausea). Jika memang kehendak bebas, maka kita terpaksa menanggung
beban untuk setiap keputusan yang kita buat dan mempertanggung jawabkan, baik
secara moral maupun secara legal (hukum). Jika ada kehendak bebas, maka
persoalan-persoalan memberikan makna ada kehidupan, menemukan rahasia kehidupan
dan kedamaian jiwa, hidup rukun bersama orang lain, menghindar dari penderitaan
dan ancaman – semua itu harus dupikul secara pribadi. Maka, dengan
menghilangkan kebebasan, dan menerima determinisme, maka semua keputusan dan
tindakan kita, terutama yang dianggap buruk atau jahat, dipermaklumkan.
Determinisme lainnya bersuber dari
kenyataan religius, sehingga disebut determinisme relegius. Semua religi
mengajarkan bahwavTuhan menciptakan dan mengatur alam dan seluruh isinya. Akan
tetapi, sebagian dari penganut religi-religi tersebut ada yangg meyakini bahwa
bukan hanya alam dan kehidupan, bahkan semua perilaku manusia pun, telah
ditentukan oleh tuhan. Telah ada garis hidup atau takdir yang harus dijalani
oleh manusia, dan manusia tidak bisa menghindarinya, meski ia telah cukup
berusaha. Ingat saja misalnya takdir dan penderitaan yang menimpaOedipus, yang
diluar kemampuannya, membunuh bapaknya (raja Laius) dan mengawini ibunya (ratu
Jacosta). Posisi metafisika dari pandangan deterministik yang bersifat teologis
ini dinamakan fatalisme.
2.10 Etika
Etika sebetulnya
merupakan bagian dari aksiologi, yakni kajian filsafat tentang nilai. Nilai
dalah suatu kualitas yang kita berikan kepada sesuatu (objek) sehingga sesuatu
itu dianggap bernilai tau tidak bernilai. Pada bagian
Penjelasan mengenai kasiologi akan dibatasi
pada masalah nilai etik, yaitu analisis fillsafat mengenai tingkah laku manusia
yang dinilai baik tau buruk.
Menurut
Koestembaum (1968), etika pada dasarnya berkenaan dengan dua persoalan berikut
ini, yakni:
a)
Pesoalan mengenai
kehidupan yang baik, mengenai perintah-perintah atau keharusan-keharusan moral
b)
Teori-teori mengenai
etika (mateitika)
Pada bagian ini kita tidak akan
memasuki persoalan pertama(mengenai keharusan-keharusan moral), tetapi lebih
membatasi diri teori-teori etika (metaetik). Teori-teori etika dapat dibagi
kedalam dua kategori berikut: Teori-teori translatability
dan teori-teori untranslatabillty.
Sebagian besar isi dari penjelasan dibawah ini merupakan ringkasan dari Bab
tantang etika dalam koestembaum, P,1968, philosophy:
A general Introduction, New York: Amerika Book company.
2.10.1
Teori-teori
Translability
Menurut teori-teori translibility istilah-istilah etis dapat diterjemahkan
sepenuhnya dalam ungkapan-ungkapan non-etis. Sebaliknya, teori-teoriultranslability menegaskan bahwa istilah-istilah
etis sama sekali tidak dapat diterjemahkan ke dalam ungkapan-ungkapan non-etis.
Teori-teori translability dapat dibagi
ke dalam teori-teori teleogis dan teori-teori deontologis.Teori-teori
teleologis (berasal dari kata telos = tujuan) menegaskan bahwa
kualitas etis dari suatu tindakan terletak pada konsekuensi, akibat, atau hasil
dari tindakan itu. Apa yang etis atau baik adalah konsekuensi atau hasil dari
tindakan itu. Jiak konsekuensi memiliki nilai, maka tindakan itu baik atau
bermoral. Misalnya, memberi uang atau makanan kepada orang lain adalah baik
atau bermoral, jika orang itu dapat terhindar dari kelaparan. Sebaliknya,
pemberian tidak dapat dinilai baik atau bermoral, jika orang itu sebelumnya
tidak membutuhkan pemberian itu atau tidak mendatangkan manfaat apa pun bagi
orang itu. Tindakan hanya instrumen belaka, sedangkan yang utama adalah
konsekuensi atau hasil.
Immanuel Kant menyebutkan teori
diatas perintah yang bersifat hipotesis (hyphotetical
imperatives). Menurut teori ini, pemerinta atau keharusan moral dianggap baik jika konsekuensinnya
memang diinginkan. Kita mencintai tetangga, jika hal itu membuat tetangga kita bahagia dan kita
sendiri gembira (senang). Jika ternyata tidak membuat bahagia atau gembira,
maka mencintai tetangga tidak dapatt disebut baik.
Teori-teori deontologis menolak teori-teori teleologis, Kant
adalah pendukung utama teori deontologis. Menurut Kant, isi dari perkataan,
aturan, dan tindakan etis tidak tergantung pada konsekuensinya. Nilaina bukan
instrumental, melainkan intrinsik, adadalam perkataan atau perbuatan itu
sendiri. Perintahnya bersifat kategirs (categirical
imperative), bukan hipotetis. Memenuhi janji itu baik bukan karena demi
menjaga integritas diri, melainkan kerena tindakan itu mempunyai kualitas
tertentu yang melekat pada dirinya. Berbohong itu buruk, bukan karena merugikan
orang lain, tetapi terutama karena tindakan itu dalam dirinya tidak baik.
Teori-teori
yeleologis dibagi ke dalam teori-teori naturalistik dan teori-teori teologis.
2.10.2
Teori-teori
Naturalistik
Teori-teori
naturalistik menegaskan bahwa ungkapan “suatu tindakan adalah baik” dapat
diterjemahkan ke dalam bentuk ungkapan “suatu tindakan merupakan sesuatu yang
bersifat alami (memiliki kualitas natural)”. Istilah “alam” menunjukkan baik
pada kondisi psikologis (misalnya kebahgiaan atau perasaan senang), maupun
kondisi objektif (sosial, biologis, histori, dan ekonomis),termasuk konvensi.
Kita
akan membahas beberapa dari teori-teori naturalistik, yakni teori-teori
hedonistik dan eudaemonia.
a)
Hedonisme. Hedonisme
berpandangan bahwa sikap atau tindakan
Yang
baik adaah sikap atau tindakan yang dapat emnimbulkan perasaan sen-ang atau
bahgia. Rumusnya: “suatu tindakan adalah baik”, artinya tindakan itu kondusif
bagi kesenangan. Menurut pandangan ini, mencari keuntungan ekomoni yang
sebesar-besarnya adalah baik, karena mendatangkan perasaan senang pada diri
saya. Demikian juga, perbuatan menolong adalah baik, kika mendatangkan perasaan
senang dalam diri saya.
b)
Hedenismeegoistik. Hedonismeegoistik
memiliki keyakinan bahwa”suatu tindakan adalah baik”, artinya tindakan itu
kondusif sebesar-besarnya kesenangan dan sekecil-kecilnya rasa sakita pada diri
saya. Pandangan egoistik ini disebut juag hedonistik psikologis. Menurut
pandangan ini, mencari keuntungan sebesar-besarnya dan mencegah kerugian
sekecil-kecilnya adalah baik, karena mendatangakan perasaan senang dan
terhindar dari perasaan tidak menyenangkan pada diri saya.
c)
Hedonisme Universal
(Utlitarialisme). Bagi hedonisme universal, “suatu tindakan adalah baik”,
berarti tindakan itu kondusif bagi sebesar-besarnya kesenangan dan
sekecil-kecilnya rasa sakit pada masyarakat. Meski tidak bersifat egoistik,
karena berkenaan dengan kesejahteraan sosial, dengan kebebasan dan demokrasi,
dengan keadilan sosial, tetapi disebut hedonistik juga karena landasannya
adalah prinsip kesenangan, kadang-kadang prinsip kegunaan (utilitarianisme).
d)
Eudaemonisme.
Eudaemonisme berkeyakina bahwa “suatu tindakan adalah baik”, berati tindakan
itukondusif bagi kesejahteraan (well-being).
Orang yang bahagia adalah orang yang hidup menurut hukum alam atau menurut
sifat dasarnya. Setiap makhluk mempunya sifat dasarnya sendiri, atau tujuannya
sendiri. Pada manusia, gembira berati memnuhi fungsi khususnya sebagai manusia
dan kemanusiaannya. Ini berarti suatu tindakan adalah baik berarti tindakan itu
mengisi fungsi eksistensi kemanusiaannya. Di samping teori-teori hedonisme dan
eudaemonisme, terdapat teori lain lagi, yakni teori harmoni. Teori ini
menegaskan bahwa istilah-istilah etis menunjukkan pada harmoni antara tindakan
manusia dan struktur dan tuntutan lingkungan. Suatu pernyataan atau tindakan
dinilai etis jika ada kesesuaian antara pernyataan atau tindakan itu dengan
lingkungan yang lebih luas dalam alam. Manusia yang hidup secara harmonis
dengan alam, beranti menjalani kehidupan yang biak. Jidi, rumusan adalah:
“suatu tindakan adalah baik” berarti tindakan itu harmonis (serasi) dengan alam
atau lingkungan. John Dewey (salah seorang tokoh teori harmoni) menegaskan bahwa
jika manusia, khususnya inteligensinya, merupakan produk dari evolusi. Oleh
sebab itu, “suatu tinndakan adalah baik” berarti tindakan itukondusif bagi
penyesuaian diri dengan lingkungannya. Manusia yang mampu bertahan hidup (survival of the fittest) adalah manusia
yang memiliki kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan hal
itu adalah baik.
2.10.3
Teoti-teori
Teologis
Teori-teori teologis menerjemahkan istila-istiah etis ke
dalam istilah-istilah yang bukan alami (nonnatural), melainkan ilahi. Teori ini
menegaskan bahwa kebenaran etis diketahui dan diverifikasikan oleh wahyu atau kehendak
tuhan. Ini artinay bahwa suatu tindakan adalah baik berarti tindakan itu sejalan dengan hukum atau kehendak tuhan.
Menolong orang atau membantu tetangga adalah baik, karena memang demikian tuhan
memfirmankannya dalam kitap suci. Tindakan melakukan korrupsi adalah baik,
bukan karena korupsi merugikan negara atau berbuat tidak bermoral, melainkan
terutama karena tuhan melarang untuk melakukannya, atau tidak sesuai dengan
ajaran agama.
2.10.4
Teori-teori
untranslatability
Meyakini bahwa
istilah-istilah etissama sekali tidak dapat diterjemahkan ke dalam
ungkapan-ungkapan non-etis. Menurut G.E.Moore (1873-1958), kebaikan, seperti
halnya warna biru, merupakan kualitas yang sederhana dan mudah dikenal, tetapi
tidak bisa didefinisikan. Tidak ada kata-kata yang dapat digunakan untuk
menjelaskannya warna biru. “kebaikan” pun demikian, tidak bisa diterjemahkan
kedalam sesuatu yang lain. Perbedaan dengan warna biru adalah: jika warna biru
merupakan kualita natural yang tidak bisa didefinisikan, kebaikan menunjukkan
pada kualitas nonnatural yang tidak bisa didefinisikan. “baik” tidak bisa
didefinisikan dalam arti bahwa ia tidak mempunyai kesamaan, tidak mempunyai
bagian-bagian, tidak mempunyai pengganti.
Emitivisme.
Menurut emoivisme, teori-teori translability mengandalkan konsepsi yang sempit mengenai bahsa. Fungsi
bahsa yang sesungguhnya adalah deklarifikasi, deskritif, indikatif, atau
referensial. Padahal, pernyataan-pernyataan dan istilah-istilah etis adalah
emotif, bukan kognitif, jadi tidak bersifat deklaratif, deskriptif, indikatif,
atau referensial.
Ada eman hal yang perlu diketahui
bahwa dalam argumentasi yang dikemukakan oleh teori emotif. Pertama, istilah-istilah atau
pernyataan-pernyataan etis tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa nonetis. Kedua, konsep-konsep etis;
konsekuensinya, tidak benar atau salah. Ketiga,
pernyataan-pernyataan etis adalah ekspresif, artinya tidak menunjukkan pad a
sesuatu di luar dirinya. Keempat, wacana
etis tidak mengekspresikan apa pun; wacana etis digunakan semata-mata untuk
mengekspresikan sikap, yakni favorable atau unfavorable, setuju atau tidak setuju. Kelima, bahasa etis
dimaksudkan untuk persuasi. Keenam, beberapa perimbangan faktual relevan dengan
pertimbangan-pertimbangan etis.
Intuitionisme.
Menurut teori ini kebebasan etis tergantung pada instuisi prinsip-prinsip yang self-evident. Tanpa dikatakan melalui
ungkapan-ungkapan bahsa sekali pun, kita dapat menangkap tindakan –tindakan
etis dan tidak etis, baik dan buruk. Korupsi adlah buruk atau tindakan
bermoral, karena memang demikian adanya
(self-evident). Tidak
Perlu
kata-kata untuk mengungkapkannya, karena pelaku korupsi pun mengenai dengan
pasti tindakan tidak bermoral yang teklah dilakukan. Buktinya, mereka cemas dan
berusaha menutupi perbuatannya, jiakada orang lain (petugas penegak hukum) yang
mengetahui perbuatannya!
2.11 Sejarah Filsafat Barat
Mempelajari
ilmu pengetahuan empiris seperti fisika, biologi, psikologi, antropologi, dan
ilmu-ilmu lainnya dapat dilakukan tanpa mempelajari sejarah lahir dan
berkembangnya ilmu-ilmu pengetahuan tersebut.mahasiswa tingkat strata satu (S1)
dari fakultas psikologi misalnya dapat menjadi seorang psikolog yang baik tanpa
mengetahui sejarah dari ilmu yang mereka pelajari (sejarah psikologi).
Namun,
tidak demikian halnya dengan filsafat. Mahasiswa yang hendak mempelajari filsafat
tidak akan dapat memahami filsafat tanpa mempelajari sejarah filsafat.
Pemikiran filsafat pada dasarnya merupakan sejarah pemikiran para filsuf.
Seorang filsuf yang berfilsafat akan berangkat dari, dan sekaligus melakukan
kritik terhadap pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya. Kita hanya akan dapat
memahami pemikiran sang filsuf itu jika kita mengetahui pemikiran-pemikiran
para filsuf sebelumnya.
Filsafat
dewasa ini pun pada dasarnya merupakan perpanjangan sejarah filsafat masa lalu.
meski sudah berjalan ribuan tahun yang lalu, pemikiran para filsuf Yunani Kuno
(Abad ke-6 Sebelum Masehi) dan para filsuf sesudahnya (misalnya pemikiran
filsafat para filsuf Abad Pengetahuan) masih memberi warna pada pemikiran para
filsuf modern dan kontemporer. Oleh sebab itu, pada bagian ini saya akan
mencoba member ringkasan sejarah pemikiran filsafat Barat, mulai dari awal
kelahirannya di Yunani hingga abad kita ini (kontemporer) di negara-negara
Eropa dan Amerika.
Sejarah
filsafat barat terbagi dalam empat periode, yakni periode yunani kuno, abad
pertengahan, modern, dan kontemporer (Abad ke-20 dan 21).
2.12 Filsafat Yunani Kuno
(600 SM – 500 SM)
Filsafat
Yunani dimulai sejak abad ke-6 SM. Namun, sbelum lahirnya filsafat telah ada
beberapa kondisi yang perlu untuk kita ketahui karena kondisi-kondisi tersebut
berperan penting bagi kemunculan pemikiran filsafat Yunani pada saat itu.
Menurut Bertens (1975). Kondisi-kondisi tersebut adalah: mitologi,
kesusasteraan, pengaruh ilmu pengetahuan dari bangsa timur (Mesir dan Babilonia),
dan kehidupan sosial politik.
2.12.1
Mitologi
Jauh
sebelum filsafat lahir, masyarakat Yunani telah mengenal mite-mite. Mite-mite
tersebut berfungsi sebagai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai
teka-teki atau misteri alam semesta dan kehidupan yang dialami langsung oleh
masyarakat Yunani pada saat itu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain
mengenai asal-usul alam semesta; sebab-sebab bencana (antara lain, gempa bumi);
sebab-sebab gerhana; dan lain sebagainya. Salah satu contoh mitos yang sangat
terkenal adalah mengenai sebab-sebab terjadinya gempa bumi. Kenapa gempa bumi
terjadi? Masyarakat Yunani pada saat itu meyakini bahwa dewa Poseidon, yakni
seorang dewa penjaga bumi dan laut, sedang marah dan ingin memberi hukuman pada
penghuni bumi (manusia) dengan cara menggoyang-goyangkan. Mite-mite seperti itu
merupakan upaya masyarakat Yunani untuk menemukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tentang misteri alam semesta.
2.12.2
Kesusasteraan
Masyarakat
Yunani telah lama mengenal kesenian, khususnya kesusasteraan. Pada tahun 850 SM
misalnya telah terbit puisi Homeros yang berjudul Ilias dan Odyssea, sebuah
karya seni yang hingga hari ini masih sangat terkenal. Sebuah ahli dalam
psikologi dewasa ini meyakini bahwa kesenian, termasuk kesusasteraan, dapat
memperhalus emosi dan meningkatkan kecerdasan. Filsafat Yunani hanya mungkin
lahir dan berkembang dalam suatu masyarakat yang memiliki kehalusan perasaan
dan ketajaman intelektual. Kesusasteraan dapat memperhalus perasaan dan
mempertajam kecerdasan manusia Yunani pada saat itu.
2.12.3 Pengaruh Ilmu
Pengetahuan dari Bangsa Timur (Mesir dan Babilonia)
Selain
di Yunani, pada saat yang sama di beberapa negara lain pun berkembang
pemikiran-pemikiran intelektual. Di Mesir misalnya, telah berkembang ilmu ukur,
yang berawal dari upaya pengukuran ketinggian air sungai Nil. Dengan mengetahui
ketinggian air yang aman, mereka dapat melakukan perdagangan dan perjalanan.
Orang Yunani belajar ilmu seperti itu dari bangsa Timur. Namun, mereka belajar
dan menggunakan ilmu itu bukan hanya untuk tujuan praktis, melainkan juga
teoretis. Mereka menggunakan ilmu tidak untuk jangka pendek seperti untuk
berdagang atau melakukan perjalanan, melainkan untuk ilmu itu sendiri. Mereka
belajar dan mengembangkan ilmu untuk menemukan kebenaran.
2.12.4
Sosial-Politik
Pemerintahan
Yunani Kuno sering disebut sebagai cikal-bakal pemeintahan demokratis. Ini
dapat dipahami karena di negara ini diterapkan kehidupan sosial politik yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama,
setiap warga negara memiliki otonomi dalam bidang hukum dan memiliki
kemerdekaan politik untuk mengemukakan pendapat. Kedua, ada “negara-negara bagian” yang disebut polis. Kondisi polis
saat itu sangat kondusif untuk perkembangan intelektual. Di setiap polis
terdapat agora (pasar), tempat di mana warga Negara bukan hanya melakukan
transaksi ekonomi (jual beli barang), melainkan juga tempat belajar dan member
pengajaran (pendidikan).
Dengan
kondisi atau latar belakang seperti itu, sangat dimungkinkan muncul dan
berkembangnya pemikiran liberal seperti filsafat Yunani. Orang Yunani memiliki
kebebasan untuk mencari jawaban sendiri atas pertanyaan-pertanyaan mengenai
alam semesta dan kehidupan dengan menggunakan akal mereka. Mereka berusaha
berpikir sendiri untuk menemukan jawaban tentang asal usul alam dan kehidupan.
2.12.5
Filsuf-Filsuf
yang Membahas Alam
Sejarah
filsafat yunani diawali dengan munculnya filsafat alam. Dinamakan demikian
karena para filsuf pertama Yunani berusaha mencari jawaban tentang asal-usul
dan kejadian alam semesta. Ada sejumlah filsuf yang cukup terkenal, di
antaranya adalah thales (624 SM – 546 SM), Anaximandros (610 SM – 546 SM),
Anaximenes. (585 SM – 528 SM), dan beberapa filsuf lainnya.
Thales (624
SM – 546 SM) dianggap sebagai filsuf pertama di Yunani. Ia adalah filsuf yang
berusaha untuk menemukan arkhe (asas
atau prinsip) alam semesta. Menurutnya, prinsip pertama alam semesta adalah
air. Semua berawal dari air dan berakhir ke air juga. Tidak ada kehidupan tanpa
ada air. Tidak ada satu makhluk hidup pun yang tidak mengandung unsur air.
Demikian juga tubuh manusia. Dewasa ini sejumblah ilmuwan dalam bidang
kedokteran menyebutkan bahwa unsur terbanyak dalam tubuh manusia (di atas 80%)
adalah air.
Filsuf
berikutnya setelah Thales adalah Anaximandros
(610 SM – 546 SM). Ia adalah murid Thales. Seperti yang dilakukan oleh
gurunya, ia pun mencari arkhe. Namun
baginya, arkhe yang sejati bukan
suatu anasir yang dapat diamati oleh pancaindera, melainkan sesuatu yang tidak
tampak. Menurutnya, prinsip utama yang mendasari segala-galanya bukanlah air,
melainkan to apeiron, “yang tak terbatas”. Alasannya, sesuatu fisik pasti
berubah, sedangkan yang berubah pasti bukan arkhe.
Oleh sebab itu, untuk mencari arkhe
kita jangan terkecoh oleh unsure-unsur yang bersifat fisik. Di dalam yang fisik
itu, Anaximandros menemukan to apeiron. Segala-galanya
tak terbatas. Jumblah benda-benda fisik yang dapat diamati adalah tanpa batas.
Demikian juga dengan hal-hal yang nonfisik: bilangan atau angka tidak terbatas;
keinginan-keinginan kita tidak ada batasnya; bahkan batas pandangan atau horizon
kita pun tak terbatas: batas pandangan bergeser terus sesuai dengan ketinggian
posisi tempat kita berdiri.
Anaximenes. (585
SM – 528 SM). Menurutnya, asal-usul segala sesuatu adalah udara. Kenapa udara?
Karena udara merupakan bahan dasar yang membentuk semua benda yang ada dalam
alam semesta. Jika kumpulan udara sangat banyak maka ia berubah bentuk menjadi
awan atau sesuatu yang dapat dipandang mata; jika basah maka ia akan menjadi
air hujan; dan jika awan menjadi padat,maka ia menjadi tanah atau batu atau
bahkan badan manusia.
Demikianlah,
karena filsafat mereka memfokuskan diri pada kejadian dan gejala alam semesta,
maka filsafat mereka disebut filsafat alam. Kejadian alam menarik perhatian
mereka. Mereka mengamati peristiwa-peristiwa alam seperti horizon atau
cakrawala langit, musim hujan dan kemarau,pasang surut air laut, pergerakan
matahari dan rembulan, pergantian cuaca dan bencana alam. Kejadian-kejadian
tersebut menarik perhatian mereka. Mereka takjub, heran, wonder. Filsafat muncul dari
rasa heran. Apakah dibalik kejadian alam itu ada sesuatu kekuatan? Apakah
kekuatan itu berupa materi atau immateri? Mereka mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut melalui pemikiran rasional, meski barang kali
naïf bagi kita sekarang ini. Namun, harus diakui bahwa pada zamannya pemikiran
mereka sudah relatif maju. (pemikiran kita sekarang pun barangkali tanpa naïf
bagi generasi-generasi yang akan dating). Bandingkan misalnya dengan
mitologi-mitologi yunani seperti dijelaskan di atas!
Dari
hasil penyelidikan para filsuf pertama tadi tampak adanya kesamaan diantara
mereka, yakni mereka memandang alam semesta sebagai keseluruhan yang bersifat
tunggal sehingga dapat dijelaskan berdasarkan pada satu prinsip saja (bertens,
1975). Namun, mereka berbeda dalam menentukan prinsip dasar yang menyatukan
kesatuan alam semesta itu. Thales mengasalkan prinsip itu pada air,
Anaximandros pada to apairon, dan
Anaximenes pada udara
2.12.6
Filsuf-Filsuf
yang Membahas Ilmu Pasti Dan Metafisika
Di
samping mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tentang asal-usul alam
semesta, terdapat sejumlah filsuf yang tertarik untuk memfokuskan diri pada
ilmu pasti dan metafisika. Tokoh-tokohnya antara lain Pythagoras (570–490 SM),
Herakleitos (535–475 SM), Parmenides (hidup sekitar abad ke-5 SM), Zeno
(490–430 SM).
Pythagoras (570-490
SM). Ajaran Pythagoras yang terkenal adalah tentang bilangan atau angka. Ia
menyusun oktaf-oktaf (musik) yang bisa dibaca berdasarkan bilangan (matematik).
Menurutnya, nada-nada (dalam musik) dikuasai oleh hukum-hukum matematis,
sehingga untuk menguasai nada-nada diperlukan kemampuan memahami angka-angka.
Ia pun mengatakan bahwa dalam angka terdapat harmoni. Misalnya ganjil-genap,
satu-banyak, kiri-kanan, gelap-terang, baik-jahat, dan lain-lain. Pendapat
Pythagoras kemudian berkembang lebih jauh dengan mengatakan bahwa semua
kenyataan dapat dicocokkan dengan perhitungan-perhitungan atau
kategori-kategori matematis. Ilmu pengetahuan alam modern sejalan dengan apa
yang dikemukakan oleh Pythagoras tadi. Galileo Galilie (1564-1642) misalnya,
mengatakan bahwa alam semesta ditulis dalam bahasa matematis, persis seperti
yang dikatakan oleh Pythagoras belasan abad sebelumnya.
Herakleitos (535-475
SM) membahas mengenai mertafisika. Menurutnya, segala sesuatu yang ada di alam
semesta itu mengalir, berubah-ubah. Tidak ada sesuatu pun yang tinggal mantap
tanpa mengalami perubahan (phanta rhei
kai uden menei). Apa yang menjadi sumber perubahan itu? Sumber perubahan
itu adalah api. Api (panas) adalah lambang perubahan. Karena api, semua dapat
berubah. Air menjadi uap, kayu menjadi abu, warna menjadi pudar, dan
seterusnya. Bahkan hidup manusia pun tidak mungkin tanpa ada api (panas)!
Parmenides (hidup
sekitar abad ke-5 SM). Tokoh ini banyak membahas ontologi. Ia menentang
pendapat Herakleitos tentang perubahan. Menurut pendapat Parmenides, gerak atau
perubahan itu tidak mungkin. Jika semua berubah, bagaimana kita mengetahui ada
perubahan, karena kita sendiri berubah? Bagaimana kita mengetahui bahwa yang
berubah itu berasal dari seesuatu yang pasti juga telah berubah dari asalnya?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ia menggunakan istilah-istilah
yang biasanya ditemukan dalam ontologi, yakni “ada” (being) dan “tidak ada” (non-being).
Kajian mengenai ontologi dewasa ini seperti yang dilakukan oleh Heidegger,
tidak bisa tidak akan membicarakan ontologi Parmenides.
Zeno (490-430
SM). Zeno adalah murid paling cerdas dari Parmenides. Ia membela gurunya dalam
perdebatan dengan Herakleitos. Menurutnya, gerak atau perubahan tidak mungkin.
Ia mengajukan beberapa pemikiran penting tentang: (1) Argumentasi melawan gerak
(perubahan); (2) Argumentasi melawan pluralitas; (3) Argumentasi melawan ruang.
Pemikiran filsafatnya sangat penting dan berdasarkan pada pemikiran-pemikiran
yang sangat logis dan orisinal. Konon argumentasi-argumentasi yang dia ajukan
banyak mengilhami dan memengaruhi para filsuf, ahli matematika, ahli fisika,
dan siswa-siswa di sekolah-sekolah di Yunani selama berabad-abad. Salah satu
prinsip dalam logika yang disebut reductio
ad absurdum berasal dari Zeno.
2.12.7
Filsuf-filsuf
Pluralis
Filsafat
Thales, Anaximandros, dan Anaximenes dapat dikategorikan sebagai filsafat
monisme. Monisme adalah pandangan
filsafat yang mengandaikan prinsip alam semesta ke dalam satu unsur saja.
Thales misalnya mangasalkan prinsip itu pada air, Anaximandros pada to apairon, dan Anaximenes pada udara.
Namun, pada filsuf berikutnya menolak filsafat monism. Mereka justru
berkeyakinan bahwa anasir alam semesta bukan satu, melainkan banyak. Dalam
bahasa yang digunakan oleh mereka, yang ada bukan tunggal, tapi jamak (plural).
Pandangan ini dinamakan Pluralisme.
Tokoh-tokoh
aliran pluralisme antara lain Empedokles (490-430 SM) dan Anaxagoras (500-428
SM). Menurut Empedokles (490-430
SM), ada empat unsur atau anasir dalam alam semesta, yaitu: api, udara, tanah,
dan air. Dia menyebut unsur-unsur tersebut “akar-akar”. Setiap benda berasal
dari kombinasi keempat unsur tersebut. Komposisi unsur-unsur yang berbeda
menghasilkan benda-benda yang berbeda. Misalnya, benda-benda hidup lebih banyak
mengandung unsur air, dibandingkan benda-benda mati. Karena hanya ada empat
unsur yang ada dalam alam semesta maka tidak ada yang baru lagi dalam
kehidupan. Yang tampak baru pada dasarnya adalah baru dalam komposisinya saja.
Penambahan dan pengurangan salah satu unsur dalam sebuah benda akan tampak
seolah-olah benda itu menjadi baru.
Anaxagoras (500-428
SM) tidak setuju dengan pendapat Empedokles. Menurutnya, unsur-unsur atau
anasir-anasir itu jumlahnya pasti lebih dari empat, melainkan tidak berhingga
dan masing-masing unsur bercampur baur satu sama lain. Semua unsur tersebut
sudah ada sejak awal munculnya alam semesta, meski pada awalnya saling terpisah
satu sama lain. Alam semesta terbentuk karena percampuran semua unsur tersebut.
Terbentuknya benda baru disebabkan oleh pemisahan unsur-unsur tertentu dari
percampuran unsur-unsur sebelumnya yang tak terbatas, dan unsur-unsur tersebut kemudian
bercampur membentuk sesuatu yang baru. Terbentuknya badan manusia pun sama
prosesnya seperti itu. Demikian juga jiwa manusia. Jiwa manusia terbentuk dari
perpaduan unsur-unsur yang sangat tidak terbatas, tetapi unsur-unsur tersebut
lebih murni, independen, dan halus dibandingkan unsur-unsur yang membentuk
benda-benda lainnya.
2.12.8
Filsuf-filsuf
Atomis
Filsuf-filsuf
atomis adalah para filsuf yang memiliki pandangan bahwa unsur-unsur paling
dasar yang membentuk alam semesta adalah berupa atom-atom. Atom-atom adalah
unsur-unsur terkecil dari semua benda yang ada dalam alam, sehingga
keberadaannya tidak dapat diamati oleh pancaindera. Atom-atom ini adalah
unsur-unsur paling kecil yang pernah ada dalam alam semesta, sehingga
keberadaannya tidak dapat dibagi-bagi lagi. Jumlah atom sangat tidak terbatas.
Dari atom-atomlah semua benda terbentuk, termasuk alam semesta.
Tokoh-tokoh
filsafat atomistik antara lain Leukippos (hidup di awal pertengahan abad ke-5
SM) dan muridnya yang bernama Democritus (460-370 SM). Leukippos adalah filsuf
pertama yang mengembangkan teori atomisme, namun Democritus yang
mensistematisasikan dan menyempurnakan pemikiran Leukippos. Selain mengajukan
teori mengenai atom Leukippos pun mengajukan pendapat mengenai
kejadian-kejadian dalam alam semesta. Dia menulis, “Nothing happens at random (maten), but everything from reason (ek logou)
and by necessity.” Pernyataan ini adalah prinsip dasar pertama dalam
logika, yakni the principle of sufficient
reason.
Democritus
melangkah lebih jauh dari gurunya dengan menjelaskan bentuk dan hubungan antar
atom-atom. Atom-atom membentuk materi-materi. Materi-materi yang padat dibentuk
oleh atom-atom yang padat. Besi misalnya terbentuk dari atom-atom yang padat
dan kuat sehingga menjadikan benda ini (besi) sangat keras. Sebaliknya,
benda-benda yang lembut seperti air dan udara dibentuk dari atom-atom yang
lebih halus.
2.12.9
Filsafat
Para Sofis
Antara
Abad ke-5 sampai ke-4 SM, dunia pendidikan dan pengajaran di Yunani dijalankan
oleh para sofis. Mereka (para sofis) adalah para filsuf yang sangat mahir
berpidato, berdebat, dan sekaligus juga mendidik. Mereka mendidik anak-anak
muda dan berpidato serta berdebat di pasar-pasar atau pusat-pusat keramaian
(dinamakan “agora”) di setiap negara-kota (dinamakan “polis”). Pendidikan dan
pengajaran di Yunani saat itu dijalankan oleh para sofis ini.
Ajakan
para sofis sangat berbeda dari para
filsuf sebelumnya. Mereka tidak tertarik pada filsafat alam, ilmu pasti, atau
metafisika. Mereka menilai filsafat-filsafat sebelumnya terlalu
mengawang-awang. Mereka mengkritik filsafat-filsafat sebelumnya. Mereka lebih
tertarik pada hal-hal yang lebih konkret seperti makna hidup manusia, moral,
norma, dan politik. Hal-hal inilah yang dianggap perlu diajarkan pada generasi
muda dan dikembangkan untuk kelangsungan negara.
Namun,
sayangnya, seringkali kepandaian dan keterampilan mereka berdebat
disalahgunakan untuk membalikkan kebenaran-kebenaran dan moralitas-moralitas.
Kebenaran dan moralitas oleh mereka dibuat relatif. Meraka meragukan adanya
kebenaran objektif dan universal. Mareka maragukan segala sesuatu dan kemudian
mereka membuat justifikasi sendiri untuk kebenaran yang mereka bangun sendiri
melalui argumentasi-argumentasi subjektif (Bertens, 1975). Akibatnya, semua
orang dianggap memiliki kebenaran sendiri, sejauh memiliki kemampuan dalam
berargumentasi dalam perdebatan.
Fokus
pemikiran mereka yang terarah pada manusia an
sich membawa mereka pada keyakinan bahwa manusia adalah ukuran
segala-galanya. Tidak ada nilai-nilai baik, benar, atau indah dalam dirinya
sendiri. Semuanya dianggap baik, benar, indah jika dihubungkan dengan persepsi
individu. Akibatnya adalah bahwa tidak ada keniscayaan, tidak ada kebenaran
yang objektif dan universal. Semuanya adalah relatif. Para sofis member tekanan
pada relativisme nilai. Akibatnya, sendi-sendi kepastian moral dan hukum dalam
masyarakat Yunani menjadi terancam.
Meski
nama-nama para sofis diasosiasikan dengan hal-hal negatif karena
pandangan-pandangannya yang relativistik, namun harus diakui bahwa tidak semua
sofis memiliki pandangan demikian. Tokoh-tokoh seperti Protagoras (490-420 SM)
dan Hippias (460 SM) adalah tokoh-tokoh yang relatif berwibawa dan terkemuka
pada saat itu dan memiliki reputasi yang positif. Di samping itu, ajaran para
sofis pun sangat berharga bagi perkembangan filsafat Yunani, sehingga tidak
dapat diabaikan sumbangannya bagi sejarah filsafat Yunani. Pengaruh mereka amat
besar dalam filsafat Yunani. Tiga serangkai filsuf paling terkemuka Yunani
seperti Socrates (470-399 SM), Plato (428/427- 348/347 SM), dan Aristoteles
(384-322 SM) lahir pada zaman para sofis hidup dan dibesarkan di antara mereka.
2.12.10
Socrates
(470-399 SM)
Seperti
para sofis, Socrates pun mengarahkan kajian-kajian filsafat yang semula sangat
abstrak dan jauh dari praksis kehidupan sehari-hari, menjadi lebih praktis dan
konkret. Oleh Socrates filsafat diarahkan pada penyelidikan tentang manusia,
etika, dan pengalaman hidup sehari-hari, baik dalam konteks individu
(psikologis), sosial, maupun politik.
Namun,
Socrates sangat menentang relativisme yang diajarkan oleh para sofis.
Menurutnya, kebenaran bukanlah sesuatu yang subjektif dan relatif. Kita dapat
menangkap adanya kebenaran objektif, yang tidak tergantung pada individu yang
memikirkan atau menggapainya. Dalam kehidupan sehari-hari, ada perilaku yang
baik dan tidak baik, yang pantas dan yang tidak pantas untuk dilakukan.
Penentuan baik dan buruk, pantas dan tidak pantas tidak terletak pada kekuatan
argumentasi orang per orang, melainkan pada sesuatu yang sifatnya universal.
Berbuat jahat di mana pun adalah buruk, sedangakan berbuat baik pasti merupakan
kebaikan. Kebaikan bukan saja akan membawa kebahagiaan pada pelakunya, tetapi
juga karena dalam dirinya memang baik.
Bagaimana
Socrates mengetahui adanya kebenaran yang tidak subjektif itu? Menurut
Socrates, metode yang dijalankan olehnya bukanlah penyelidikan atas
fakta-fakata melainkan analisis atas pendapat-pendapat atau
pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh orang atau oleh negarawan. Ia selalu
bertanya tentang apa yang diucapkan oleh mereka atau oleh teman bicaranya itu.
Jika mereka atau para negarawan bicara tentang kebaikan dan keadilan, ia
kemudian bertanya apa yang dimaksud dengan adil dan baik itu? Jika mereka
bicara tentang keberanian, ia bertanya apa yang dimaksud dengan berani,
pemberani, dan pengecut? Dan seterusnya. Metodenya ini disebut dialektika,
yakni “bercakap-bercakap” atau berdialog. Socrates sendiri membandingkan
metodenya ini dengan metode seorang bidan dalam membantu persalinan. Bidan
memiliki keahlian dalam membantu persalinan, sehingga melalui bantuannya
lahirlah ke dunia bayi-bayi sehat dari rahim para ibu. Socrates bertindak
seperti bidan. Namun, yang dilahirkan bukan bayi, melainkan ide-ide yang
dimiliki oleh orang-orang yang dibidaninya. Ia mengaku tidak menyampaikan
pengetahuan, melainkan dengan pertanyaan-pertanyaannya ia membidani pengetahuan
yang terdapat dalam jiwa orang lain agar keluar dalam bentuk ide-ide.
Filsafat
Socrates banyak membahas masalah-masalah etika. Ia beranggapan bahwa yang
paling utama dalam kehidupan bukanlah kekayaan atau kehormatan, melainkan
kesehatan jiwa. Prasyarat utama dalam hidup manusia adalah jiwa yang sehat.
Jiwa manusia harus sehat terlebih dulu agar tujuan-tujuan hidup yang lainnya
dapat diraih. Tujuan hidup yang paling utama adalah kebahagiaan (eudaimonia). Namun, kebahagiaan dalam
bahasa Yunani bukan dalam arti seperti sekarang, yakni mencari kesenangan.
Kebahagiaan dalam bahasa Yunani berarti kesempurnaan (Bertens, 1975). Plato dan
aristoteles setuju dengan pendapat
Socrates bahwa eudaimonia merupakan
tujuan utama kehidupan. Jalan atau cara untuk mencapai kebahagiaan adalah arête (kebajikan). Orang yang bajik
adalah orang yang mampu hidup bahagia.
2.12.11Plato (428/427 –
348/347 SM)
Plato
adalah murid Socrates. Dia menganalogkan manusia dalam menjalankannkehidupan
sehari-hari dengan para tahanan yang selama hidupnya terkurung dalam gua.
Kepala mereka enggan menengok ke belakang (ke lubang gua) dan hanya terarah
pada dinding gua belaka. Oleh sebab itu, mereka tidak dapat melihat sumber
cahaya di luar gua. Mereka hanya melihat bayangan dirinya sendiri saja, yang
sumber cahayanya berasal dari lubang gua dibelakang badan mereka.
Apa
arti perempuan itu? Melalui perumpamaan itu plato hendak menyampaikan dua hal. Pertama, kebanyakan manusia terpaku pada
kehidupan duniawi, yang cepat berubah dan fana itu. Seolah-olah kehidupan yang
fana itu adalah kehidupan yang sejati. Padahal kenyataan yang sesungguhnya
adalah berupa dunia ide, yakni dunia yang menjadi sumber yang memancarkan
kehidupan di alam fana ini. Dunia ide yang dimaksudkan oleh plato bukanlah
ide-ide yang ada dalam pikiran manusia, melainkan dunia objektif yang ada “di
luar sana” (di luar gua), yang mengatasi dunia kehidupan sehari-hari kita.
Kedua, Plato
mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan yang sejati adalah
pengetahuan inderawi, yang sumbernya adalah pengamatan atau pengetahuan indera.
Padahal pengetahuan yang sebenarnya bersumber dari rasio dan berobjekan dunia
ide. Dunia pancaindera hanya merupakan “cermin” dari dunia ide.dalam dunia ide
hanya terdapat hal-hal yang umum, seperti “kesegitigaan” dan “kekudaan”.
Segitiga atau kuda yang kita lihat di dunia ini sesungguhnya adalah pantulan
dari ide segitiga dan kuda yang bersifat umum, yang ada dalam dunia ide.
Pengamatan inderawi tidak dapat mengetahui dunia ide. Dunia ide hanya dapat
diketahui melalui rasio. Plato menganjurkan agar manusia menggunakan rasionya
untuk menemukan kebenaran.
Selanjutnya
Plato menyusun filsafat manusia yang bersifat dualistik. Manusia terdiri dari
dua unsur yang berbeda, yakni tubuh (benda) dan jiwa (ide-ide). Jiwa merupakan
bagian dari dunia ide,sedangkan tubuh dari dunia yang bersifat fana. Fungsi
jiwa adalah untuk mengendalikan nafsu yang bersumber dari tubuh. Fungsi jiwa
seperti kusir pedati yang harus mengedalikan jalannya kuda (tubuh) yang menarik
pedati itu. Selanjutnya, karena jiwa berasal dari dunia ide, maka ia tidak akan
musnah meski kubuh (yang berasal dari dunia fana) sudah hancur (mati).
Keyakinannya
pada keberadaan jiwa dan ide membawa Plato pada penyusunan metode dalam
mendapatkan pengetahuan (epistemologi). Dia mengembangkan metode deduktif,
yakni suatu cara berfikir yang dimulai dari premis-premis umum atau mayor untuk
kemudian diperoleh kesimpulan-kesimpulan yang lebih khusus atau
kesimpulan-kesimpulan yang tidak melampui premis-premis mayornya. Penggunaan
metode ini sangat pas jika dalam berpikir kita berangkat dari premis-premis
atau teori-teori yang sangat umum. Hingga hari ini cara berfikir ini masih
digunakan bukan hanya dalam ilmu logika, tetapi juga dalam praktik berpikir
ilmiah atau teoretis.
Dalam
karyanya yang paling terkenal, yakni Republic,
Plato mengemukakan pemikiran mengenai negara ideal (utopis) yang dipimpin
oleh filsuf raja (philosopher king).
Pemimpin negara ini bercirikan sebagai berikut: cerdas, rasional, mampu
mengendalikan diri dalam berbagai situasi, mampu membuat keputusan yang adil
bagi semua warga negara, dan tentu saja cinta pada kebijaksanaan. Karena
sifat-sifatnya tersebut, sang filsuf raja ini menempati kelas atas dalam
pemerintahan. Kelas berikutnya adalah kelas prajurit (warriors). Mereka adalah kelas yang sangat pemberani, kuat, dan
terorganisir. Kelas berikutnya lagi adalah kelas pekerja (workers), diantaranya adalah para petani, pedagang, peternak, dan
lain-lain.
Dalam
filsafat manusia yang dikemukakan oleh Plato disebutkan bahwa kelas-kelas
sosial tersebut analog dengan bagian-bagian tubuh manusia: kepala merupakan
simbol dari filsuf raja (pemimpin bangsa), dada simbol dari prajurit, dan perut
ke bawah (sampai kaki) simbol dari pekerja.
2.12.12
Aristoteles
(384-322 SM)
Aristoteles
adalah murid Plato. Namun, dia menentang ajaran gurunya tentang keberadaan
dunia ide. Dia mengaku bahwa dia sangat menyayangi gurunya, tetapi kecintaannya
pada kebenaran membuatnya dia berbeda pandangan dari gurunya itu. Menurutnya,
tidak ada dunia ide itu, tidak ada kesegitigaan, atau kekudaan yang sumbernya
dari dunia ide. Yang ada adalah segitiga atau kuda ini dan itu saja; jadi segitiga
dan kuda yang konkret. Tetapi ia setuju dengan pendapat Plato, bahwa
pengetahuan yang sejati harus berkenaan dengan yang umum dan universal, bukan
hal-hal individual. Pengetahuan haruslah mengenai semua segitiga atau semua
kuda, bukan mengenai segitiga atau kuda ini dan itu. Pelajaran penting yang
dapat dipetik dari ajaran Plato tentang ide-ide adalah menjamin kemungkinan
adanya pengetahuan yang bersifat umum dan kebenarannya tidak berubah-ubah.
Namun, pengetahuan itu bukan dari dunia ide, tetapi dari benda-benda yang dapat
diamati.
Oleh
sebab itu, selain mengembangkan cara berpikir deduktif, dia pun mengembangkan
cara berpikir atau metode berpikir induktif. Kebalikan dari deduksi atau metode
deduktif, metode induktif dimulai dari pengamatan-pengamatan empiris dan
kemudian ditarik kesimpulan yang isinya melampaui objek-objek yang diamati.
Dengan demikian, dalam metode induktif ada proses generalisasi, yakni menarik
kesimpulan yang lebih umum dari pada objek-objek yang diamati. Melalui metode
ini maka Aristoteles mengembangkan sejumlah kajian yang menjadi cikal-bakal
sejumlah ilmu pengetahuan modern, misalnya biologi, geologi, fisika, anatomi,
disamping filsafat, psikologi, retorika, ilmu politik, dan lain-lain.
Dalam
bidang filsafat Aristoteles mengajarkan sebuah teori tentang hylemorphism, teori “bentuk-materi”.
Setiap benda memiliki bentuk dan sekaligus materi. Misal sebuah patung. Patung
terdiri dari bahan tertentu dan bentuk tertentu. Bahan misalnya kayu atau batu;
bentuk misalnya kuda atau raja. Bentuk tidak dapat lepas dari materi, dan
demikian juga sebaliknya. Bahkan, sebelum menjadi bentuk patung, materi yang
sama memiliki bentuk yang lain, misalnya kayu bundar dan panjang atau batu yang
lonjong.
Namun,
Aristoteles tidak mengajarkan materi dan bentuk yang dapat dilihat atau yang
bersifat individual, malainkan sebagai prinsip-prinsip metafisis saja. Materi
dan bentuk harus diandaikan, bukan harus dilihat dan bersifat individual.
Bentuk-bentuk yang dimaksud oleh Aristoteles dianggap sebagai ide-ide (yang
sudah ada dalam pikiran manusia) yang sudah pindah ke dalam benda-benda
konkret.
Teori
ini menjadi dasar bagi filsafat Aristoteles tentang manusia. Berbeda dari
pandangan Plato, ia sangat menekankan kesatuan manusia. Manusia merupakan satu
kesatuan substansi bentuk dan materi. Bentuk adalah jiwa dan tubuh adalah
materi. Karena bentuk melekat pada materi, maka jiwa akan hancur begitu tubuh
mati. Tidak mungkin ada keabadian jiwa.
2.13
Filsafat
Abad Pertengahan (400-1500 SM)
Ini
adalah zaman dimana filsafat berfungsi sebagi alat untuk pembenaran atau
justifikasi ajaran agama (“the philosophy
as a handmaiden of theology”). Sejauh filsafat bisa melayani teologi, ia
bisa diterima. Namun, filsafat yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama
dan gereja, ditolak. Banyak buku-buku filsafat zaman Yunani kuno yang ditemukan
kembali di zaman ini, tetapi banyak di antaranya yang diberangus, karena
dinilai pemikiran kaum kafir. Kebebasan berpikir dipangkas. Oleh sebab itu,
zaman ini sering dinamakan Abad Kegelapan Filsafat. Relatif tidak ada ajaran
filsafat baru yang berkembang pada saat ini.
Kekuasaan gereja yang begitu kuat bukan
hanya menghambat perkembangan filsafat, tapi juga ilmu pengetahuan. Pada saat
itu tidak dimungkinkan adanya temuan ilmiah yang bertentangan dengan ajaran
gereja. Teori Kopernikus (1473-1543) yang kemudian disebut “Revolusi Kopernikan” pun ditentang
gereja. Untuk pertama kali dalam sejarah ilmu pengetahuan filsafat, Kopernikus
menemukan bahwa matahari adalah pusat alam semesta dan semua planet, termasuk
bumi, mengelilingi matahari. Namun, teorinya itu bertentangan dengan ajaran
gereja yang pada saat itu percaya bahwa bumi adalah pusat alam semesta dan
semua planet (termasuk matahari) mengelilingi bumi. Oleh sebab itu, Kopernikus
harus menahan diri untuk tidak memublikasikan temuannya secara terbuka.
Di bidang filsafat sendiri, terdapat
beberapa cirri khas filsafat yang patut untuk dicatat. Cirri-ciri itu antara
lain: filsafat banyak membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan
keyakinan (iman) dengan rasio, keberadaan dan kesatuan tuhan, teologi dan
metafisika, dan persoalan-persoalan epistemologis seperti pengetahuan mengenai
yang universal dan individual.
Beberapa filsuf Kristen (Katolik) yang
cukup terkemuka pada zaman ini diantaranya adalah augustinus (354-430),
Boethius (480-525), Thomas Aquinas (1225-1274), Duns Scotus (815-877), William
Ockham (1288-1348). Sedangkan para filsuf Muslim di antaranya: Alkindi
(801-873), Alfarabi (850-970), Ibnu Siena (980-1037). Para filsuf Yahudi antara
lain: Maimonides (1135-1204) dan Gersonides (1288-1344). Berikut ini salah satu
contoh ajaran filsafat abad pertengahan yakni filsafat Thomas Aquinas.
2.13.1
Thomas
Aquines
(1225-1274)
Thomas
Aquinas adalah seorang filsuf paling terkenal pada masa abad pertengahan. Ada
sejumlah pemikiran filsafat yang ditulis oleh dia, tetapi deskripsi di bawah
ini akan dibatasi pada ajarannya mengenai “Lima Argumen Untuk Membuktikan
Keberadaan Tuhan”. Argument-argumen tersebut adalah sebagai berikut:
2.13.2
Argumen
Pertama: Gerak
Tidak
ada sesuatu pun yang mampu bergerak dengan sendirinya. Sesuatu yang bergerak
dipastikan memiliki sesuatu yang menggerakan. Sesuatu yang menggerakan pasti
juga mempunyai penggerak, demikian seterusnya. Namun, ada akhir dari penyebab
yang menggerakkan itu. Penyebab yang menggerakkan semua itu disebut penggerak
pertama. Penggerak pertama itu harus berupa kekuatan yang maha besar, jadi
pasti bukan manusia mahluk serupa manusia. Penggerak pertama itu adalah Tuhan.
2.13.3
Argumen
Kedua: Sebab-Akibat
Tidak
ada sesuatu pun yang eksistensinya disebabkan oleh dirinya sendiri. Tidak
munkin sesuatu menjadi sebab sekaligus akibat bagi eksistensinya sendiri. Suatu
kejadian adalah akibat dari suatu penyebab dan penyebab itu pun merupakan
akibat dari penyebab-penyebab lainnya. Demikian seterusnya sampai ditemukan
penyebab awal. Jika tidak ada penyebab awal, tidak akan terjadi rangkaian
akibat sesudahnya. Atau, rangkaian kejadian tersebut tidak munkin tanpa
penyebab awal. Penyebab awal itu adalah Tuhan.
2.13.4
Argumen
Ketiga: Ada dan Tiada
Segala sesuatu yang
terdapat dalam alam semesta ini dating dan pergi, lahir dan mati, ada dan
tiada. Sesuatu yang bisa ada dan tiada berarti ada di dalam waktu, terkena arus
waktu, jadi tidak munkin selamanya ada. Dengan begitu, ada masa di mana alam
semesta ini belum ada. Keberadaan alam semesta dengan demikian bersifat
kontingen (contingent being). Sangat
tidak masuk akal jika ketika alam semesta ini belum ada, belum ada sesuatu yang
Niscaya ada (exact being). Dipastikan
bahwa ada sesuatu yang niscaya ada sepanjang masa. Sesuatu yang Niscaya Ada
sepanjang masa. Sesuatu yang Niscaya Ada itu adalah Tuhan.
2.13.5
Argumen
Keempat: Kelas Kualitas
Ada
beragam kualitas yang melekat pada objek, mulai kualitas yang lebih baik sampai
yang lebih buruk. Penilaian kualitas tersebut memerlukan acuan yang paling
absolut dan sempurna. Acuan paling absolute dan sempurna itu tidak lain adalah
Tuhan.
2.13.6
Argumen
Kelima: Keteraturan Perencanaan
Alam
semesta berjalan secara teratur dan keteraturan itu pasti bukan sesuatu yang
kebetulan. Keteraturan itu geraknya mengikuti suatu pola, berjalan seperti
sebuah anak panah menuju tujuan tertentu yang dikehendaki pemanahnya.
Pemanahnya itu adalah Tuhan.
2.14
Filsafat Modern (1600-1900)
Filsafat
modern berawal pada paruh kedua abad ke 16 Masehi, setelah terlebih dulu
dimulai oleh Gerakan Renaissance dan humanism di Eropa Barat (pertengahan tahun
1300-an hingga 1600). Gerakan ini merupakan reaksi atas kekuasaan gereja.
Menurut gerakan ini, manusia pada prinsipnya merupakan pusat dari alam semesta,
sehingga memiliki kebebasan untuk mencari kebenarannya sendiri. Berbeda dari
pandangan filsafat yang berkembang pada Abad pertengahan, pada zaman ini banyak
filsuf berpegang teguh pada pendirian bahwa manusia pada hakikatnya bukan
sebagai viator mundi (penjiarah di
muka bumi), melainkan sebagai vaber mundi
(pekerja atau pencipta dunianya). Manusia harus mencari sendiri kebenaran ,
bukan bersandar pada ajaran yang telah diberikan oleh gereja dan agama.
Upaya
melepaskan diri dari kekuasaan gereja membawa mereka pada penggalian
karya-karya lama dari zaman yunani kuno. Doktrin-doktrin heliosentris dari
Pythagoras (582 SM-496 SM) serta karya-karya Archimedes (287 SM-212 SM),
Flippokrates (460-370 SM), dan ahli-ahli fisika atomistik pada waktu itu,
digali dan dikaji ulang. Leonardo da Vinci (1452-1519) Kopernikus (1437-1543),
dan Galileo Galilei (1564-1642) misalnya menimba pelajaran berharga dari
karya-karya mereka. Doktrin terkenal Phitagoras bahwa “alam semesta tertulis
secara matematis”, menjadi asumsi yang berkembang pesat di lingkungan para ilmuwan dan filsuf.
(pada masa itu sulit untuk dibedakan antara ilmuwan dan filsuf. Sampai abad
ke-18 pun apa yang dinamakan ilmu pengetahuan sering disebut “filsafat alam”.
Ini tampak misalnya dari buku terkenal Isaac Newton yang dipublikasikan pada
tahun 1687, berjudul The mathematical
Principles of Natural Philosophy). Atas dasar asumsi itu, mereka
mengajarkan bahwa cara terbaik untuk menjelaskan gejala alam bukanlah dengan
mengacu pada ajaran gereja, melainkan pada eksperimentasi dan
perhitungan-perhitungan matematis. Meurut mereka, “buku alam harus diinterogasi
secara eksperimental dan matematis”.
Dalam
bidang filsafat muncul kecenderungan untuk menggali akar-akar pengetahuan
(epistemologi). Berkembangnya ilmu-ilmu alam (filsafat alam) mendorong para
filsuf untuk mempertanyakan tentang apakah sebetulnya pengetahuan itu? Dari
mana sebetulnya sumber pengetahuan? Apakah pengetahuan barasal dari pengalaman
atau dari rasio manusia? Pertanyaan-pertanyaan tersebut memunculkan
aliran-aliran rasionalisme dan empirisme.
Namun,
berkembangnya ilmu-ilmu alam pun mendorong para filsuf untuk bertanya tentang
hakikat manusia. Apakah manusia itu merupakan materi (alam fisik) atau berupa jiwa?
Apakah proses kimiawi dan gerak mekanis yang terjadi pada alam juga terjadi
dalam diri manusia? Atau manusia adalah pengecualian, sehingga tidak bisa
dikenai proses kimiawi dan mekanis seperti itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
menimbulkan bermacam-macam jawaban. Materialisme mengajarkan bahwa manusia pada
dasarnya adalah materi, jadi tidak berbeda dari materi-materi lain yang ada
dalam alam semesta. Sebaliknya, idealisme mengajarkan bahwa bukan materi,
melainkan jiwa yang merupakan intisari manusia, sehingga semua gerak-gerik
badan manusia adalah bersumber dari kekuatan yang bersifat rohani, yakni yang
ilahi dan jiwa manusia.
Para
filsuf pada zaman ini di antaranya adalah: Francis Bacon (1561-1626), Thomas
Hobbes (1588-1679), Rene Descartes (1596-1650), Spinoza (1632-1677), John Locke
(1632-1704), Leibniz (1646-1716), Berkeley (1685-1753), Hume (1711-1776), Kant
(1724-1804), Fichte (1762-1814), Hegel (1770-1831), Bentham (1748-1832),
Schopenhauer (1788-1860), Comte (1798-1857), Jhon Stuart Mill (1806-1873),
Kierkegaard (1813-1855), Marx (1818-1883) and Engels (1820-1895), Nietzsche
(1844-1900), James (1842-1910).
Berikut
ini beberapa contoh pemikiran filsafat yang dikemukakan oleh beberapa filsuf
dari abad modern.
2.14.1
Francis
Bacon (1561-1626)
Francis
Bacon adalah salah seorang filsuf
pertama yang berusaha menggali perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan alam dan
menyusun metode ilmiah yang disebut Novum
Organum (Alat atau Metode Baru). Metode ini sangat menekankan metode
induktif dalam mendapatkan pengetahuan atau dalam teori menyusun teori ilmu
pengetahuan. Bacon yang tertarik pada upaya-upaya yang dilakukan oleh para
ilmuan seperti Kopernikus, Gallileo Gallilei, Leonardo da Vinci dalam melakukan
penelitian-penelitian ilmiah, percaya bahwa yang terpenting dalam menyusun
teori ilmiah adalah metode induksi. Melalui metode ini para ilmuan berangkat
dari pengamatan-pengamatan terhadap kasus-kasus khusus untuk kemudian menyusun
kesimpulan-kesimpulan umum tersebut dipakai untuk menilai dan menyeleksi kasus-kasus
lain secara deduktif. Jadi, metode baru ini beranjak dari fakta-fakta empiris
ke kesimpulan sementara dan dari kesimpulan sementara bergerak lagi ke
kesimpulan sementara lainnya, sebelum sampai pada suatu kesimpulan akhir atau
teori ilmiah. Bacon menyebut langkah-langkah itu sebagai “tangga intelektual” (ladder of intelect).
Bacon
adalah seorang filsuf yang sangat percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat menjadi
alat kekuasaan. Dia menulis, “knowledge
is power”. Dengan pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan, seorang individu
dapat mempengaruhi dan menaklukkan orang-orang lain, dan suatu bangsa dapat
mempengaruhi dan menaklukkan bangsa-bangsa lain.
2.14.2
Thomas
Hobbes (1588-1679)
Dalam
karya utamanya yang berjudul Leviathan, Hobbes
menulis bahwa tingkah laku manusia pada dasarnya sejalan dengan hukum alam. Dia
meminjam teori Newton tentang hukum gerak pertama yang nyatakan bahwa
benda-benda akan bergerak secara tetap, kecuali mendapatkan gaya dari luar.
Melalui teori Newton itu Hobbes mau menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya
adalah serigala bagi serigala lainnya, karena selalu memiliki kecenderungan
untuk menerkam, bersaing, dan berperang. Maka harus ada “gaya” dari luar diri
mereka, yaitu hukum, peraturan, undang-undang yang ketat yang diberlakukan di
lingkungan sosialnya. Namun jika tidak alami, akibatnya adalah hidup manusia
bisa jadi membosankan, tidak menarik, miskin, menjijikan, dan tidak dapat
bertahan hidup lama. Oleh sebab itu, perlu ada kontrak sosial yang didasarkan
pada hukum alam yang juga tidak terlalu membatasi dan mengungkung manusia.
2.14.3
Rene
Descartes (1596-1650)
Salah
seorang filsuf yang sangat terkenal dari zaman ini adalah Rene Descartes. Ia
disebut Bapak Filsafat Modern, tapi juga sering disebut-sebut Bapak Psikologi
(Abidin, 2009). Yang menjadi perhatian utama filsafatnya terutama adalah
masalah pengetahuan (epistemologi) dan manusia (filsafat manusia), khususnya
masalah hubungan jiwa-badan.
Sebetulnya
Descartes bukan hanya filsuf, tapi juga ahli dalam bidang matematika. Dalam
ilmu ukur kita masih mengenal titik Cartesian, yakni titik-titik pada segi
empat dalam sebuah grafik. Sebagai seorang ahli matematika dan filsuf, ia ingin
mengetahui dari mana sesungguhnya sumber pengetahuan matematis itu. Asal mula
pengetahuan matematis tentunya bukan dari pengalaman, karena
pernyataan-pernyataan matematis tidak memerlukan pembuktian empiris
(pancaindera). Sumber pengetahuan matematis pastinya berasal dari rasio. Ia
menganggap bahwa pengetahuan harus menjadi persoalan pertama yang digali
sebelum kita berfilsafat. Filsafat modern mulai dari epistemologi, bukan dari
alam (metafisika dan ontologi). Dengan epistemologi maka dimungkinkan kita
membahas alam semesta dan objek-objek pengetahuan lainnya.
Filsafat
Descartes tentang epistemologi dikategorikan ke dalam aliran rasionalisme.
Karena argumentasi-argumentasi-argumentasinya yang sangat kuat dalam meyakinkan
pentingnya rasio dibandingkan pengalaman empiris dalam mendapatkan pengetahuan,
maka Descartes sering disebut bapak rasionalisme modern. Filsafatnya (dan
filsafat dari para filsuf rasionalis yang berasal dari negara-negara
Continental lainnya) merupakan lawan dari empirisme Inggris (Hume dan Locke).
Dalam salah satu karyanya tentang metode untuk mendapatkan pengetahuan yang
bersifat niscaya, dia mengajukan empat prinsip berikut:
a) Jangan
pernah menerima ide sebagai hal yang benar, kecuali ide yang kita yakini
kebenarannya itu sudah tidak dapat diragukan lagi.
b) Untuk
mencapai kesimpulan yang niscaya, pilah-pilahlah suatu permasalahan menjadi
bagian-bagian kecil dan sederhana, kemudian pujilah masing-masing bagian
tersebut secara hati-hati dan menyeluruh.
c) Pengujian
dilakukan dari bagian-bagian paling sederhana sampai yang paling kompleks
secara bertahap, jangan pernah melompati satu tahapan pun dalam pengerjaannya.
d) Catatlah
secara detil dan menyeluruh setiap hasil pengujian tersebut dan jangan sampai
ada yang terlewat atau tercecer sedikitpun.
Dari
empat prinsip yang diajukan oleh Descartes di atas tidak satupun yang menuntut
pengujian empiris!
Filsafat
manusia Descartes cukup menarik karena mencoba menghubungkan dua substansi yang
saling bertentangan yang terdapat pada manusia, yakni tubuh dan jiwa. Manusia
adalah makhluk dengan dua substansi yang tidak terpisahkan, yakni tubuh dan
jiwa. Kedua substansi tersebut satu sama lain saling berhubungan sehingga dalam
setiap perilaku manusia kedua substansi tersebut saling memengaruhi satu sama
lain. Dalam psikologi hubungan antara jiwa/badan tersebut dinamakan
psikosomatik. Seorang individu yang sedang sakit secara fisik dapat berpengaruh
pada sakitnya jiwa, demikian juga sebaliknya (Penjelasan lebih lengkap tentang
filsafat manusia Descartes, lihat Abidin, 2009).
2.14.4
John
Locke (1632-1704)
Berbeda
dari Descartes, John Locke berkeyakinan bahwa semua pengetahuan manusia
diperoleh melalui pengalaman, dan alat-alat indera (penglihatan, penciuman,
peraba, dan lain-lain) merupakan pintu masuk bagi pengalaman tersebut.
Keyakinan ini merupakan inti dari aliran empirisme. Locke percaya bahwa pikiran
atau jiwa bayi yang baru lahir serupa dengan kertas kosong atau tabula rasa. Pengalaman sepanjang hidup
si bayi hingga menjadi tua kelak serupa dengan tulisan yang dituliskan dalam
pikiran dia. Jadi, tidak ada pengetahuan yang berasal dari luar pengalaman.
Semua
pengetahuan manusia pada dasarnya merupakan ide-ide yang disajikan pikiran
manusia melalui pengalaman yang pernah dialaminya. Ada dua tingkatan ide, yakni
yang sederhana dan yang kompleks. Ide-ide sederhana adalah berupa ide-ide yang
langsung diperoleh melalui indera, seperti warna jingga, rasa asam, bau harum,
suara merdu, rasanya halus, dan lain-lain. Sedangkan ide-ide yang kompleks
adalah ide-ide hasil penggabungan dari dua atau lebih ide-ide yang sederhana
yang diolah oleh pikiran. Misalnya, konsep kuda, kursi, binatang, manusia,
laki-laki, perempuan, dan lain-lain. Ide-ide kompleks pun tidak selalu harus
nyata. Misalnya, kuda terbang, yang merupakan gabungan antara kuda dan hewan
lain (misalnya, burung) yang punya sayap.
2.14.5
Karl
Marx (1818-1883)
Karl
Marx adalah tokoh filsafat modern yang paling banyak dikenal oleh dunia.
Pemikiran-pemikiran filsafat politik dan ekonominya dianggap merupakan ancaman
terhadap kapitalisme Barat. Pengaruh filsafatnya sangat luar biasa karena bukan
hanya dikalangan akdemik, tetapi terutama di dunia politik dan ekonomi. Konon,
sebelum “perang dingin” antara Blok Barat (Amerika Serikat dan
sekutu-sekutunya) dan Blok Timur (Uni Soviet atau Rusia dan sekutu-sekutunya)
usai diawal tahun 1980-an, hampir separuh negara yang ada di dunia ini
dipengaruhi oleh ajaran Marx. Negara-negara Uni Soviet (sekarang Rusia) dan
negara-negara di Eropa Timur, China, Kuba, dan beberapa negara lain di Asia dan
Afrika menerapkan idelogi komunisme yang dasar-dasar filsafatnya adalah dari
ajaran Marx.
Berbeda
dari filsuf-filsuf sebelumnya, Marx menjadikan filsafat lebih praktis. Dia
mengecam filsafat konvensional atau tradisional. Menurut Marx, filsafat (dan
juga ilmu pengetahuan) selama ini hanya berperang menjelaskan realitas atau masyarakat. Padahal yang terpenting
adalah mengubah realitas atau
masyarakat, yakni dari yang semula berada dalam kondisi tidak adil dan tidak
sejahtera, menjadi adil dan sejahtera. Dengan demikian, filsafat bukan lagi suatu
kajian teoretis belaka, melainkan menjadi suatu praktis politik dan ekonomi.
Menurut Marx, sejarah peradaban manusia pada dasarnya adalah serangkaian
pertentangan dan perjuangan kelas yakni antara kelas pemilik alat-alat produksi
(eksploiters atau kelas atas) dan kelas yang bekerja untuk pemilik alat-alat
produksi (yang dieksploitasi atau kelas bawah). Dulu kelas pemilik alat-alat
produksi adalah para bangsawan pemilik tanah, sedangkan kelas yang
dieksploitasi adalah para petani penggarak tanah milik bangsawan. Kini (pada
saat Marx hidup) yang menjadi kelas pemilik alat-alat produksi adalah kaum
borjuis atau kapitalis, sedangkan kelas yang dieksploitasi adalah kaum proletar
atau buruh.
Di
mana perang pemerintah diantara dua kekuatan yang berseteru tersebut?
Pemerintah pada dasarnya merupakan lembaga yang diciptakan oleh kelas atas
(eksploiters). Mereka menggunakan pemerintahan untuk menguasai perekonomian
suatu negara atau masyarakat. Dengan kekuatan ekonominya mereka dapat
menentukan nilai-nilainya pada pemerintah dan masyarakat luas. Mereka membayar
pemerintah untuk menerbitkan beragam undang-undang yang menguntungkan ekonomi
mereka, tetapi seringkali merugikan kelas bawah (petani atau buruh).
Oleh
sebab itu, dibutuhkan kesadaran kelas, untuk menyatukan kekuatan kelas bawah
dan merebut alat-alat produksi dari para pemilik modal yang sangat eksplitatif
dan rakus tersebut. Alat-alat produksi harus direbut dan dimiliki secara
kolektif oleh para pekerja (buruh). Ini adalah komunisme yang dicita-citakan
oleh Marx. Untuk mencapai tujuan itu cara yang harus ditempuh adalah melakukan
revolusi. Kaum pekerja (buruh) harus melakukan revolusi dan membangun negara
komunis. Dalam masyarakat komunis, tidak lagi ada kelas-kelas dan pertentangan
kelas; tidak ada pula kerakusan. Yang ada adalah kebaikan hati (generousity). Barang melimpah karena
setiap orang mendapatkan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Marx
memang mengecam kapitalisme. Kapitalisme dinilai jahat, karena menjadikan para
pengusaha menjadi sangat kaya, tetapi buruh atau pekerja tetap miskin. Ia
menegaskan bahwa kapitalisme dengan sendirinya akan hancur. Terdapat beberapa
nilai yang melekat dalam kapitalisme, yang akan membawa pada kehancurannya
sendiri (Magnis-Suseno, 1991). Runtuhnya kapitalisme berkaitan dengan
nilai-nilai yang melekat di dalam sistem kapitalisme itu sendiri. Niali-nilai
tersebut antara lain:
a) Nilai
dan martabat manusia hanya diukur dari kualitas pekerjaannya atau
produktivitasnya, bukan dari kemanusiaannya. Akibatnya, faktor kepemilikan
ekonomi menjadi sangat signifikan karena menjadi ukuran nilai dan martabat
manusia.
b) Nilai
upah subsistensi. Nilai pekerjaan para buruh diukur dengan upah yang hanya
memadai untuk bisa hidup (subsistensi). Tidak ada masalah berapa lama mereka
bekerja dan keterampilan apa yang dimiliki oleh mereka, mereka hanya akan
menerima upah sekadarnya (subsistensi).
c) Nilai
lebih. Nilai lebih adalah “kelebihan” nilai yang telah dilakukan oleh para
buruh, tetapi tidak menjadi hak mereka. Mereka dipaksa bekerja melampaui batas
sewajarnya tetapi mereka dibayar hanya untuk bertahan hidup. Jadi ada
eksploitasi buruh oleh kapitalis.
Marx
selanjutnya mengatakan bahwa kaum pekerja diramalkan akan berontak karena
mereka pun mengalami alienasi (keterasingan). Ada beberapa dimensi keterasingan
(Magnis-Suseno, 1991):
a) Terasing
dari produknya sendiri. Buruh tidak bisa menarik keuntungan dari barang-barang
buatannya sendiri. Yang menarik keuntungan adalah pengusaha. Mereka hanya
menjadi komoditas, bagian dari produksi yang dibayar murah. Dilema buruh:
“tidak produktif, risikonya dikeluarkan; produktif, tidak memperoleh apa-apa”.
b) Terasing
dari pekerjaannya. Pekerjaan tidak memberi kebahagiaan atau kepuasan. Mereka
bekerja bukan untuk bekerja, melainkan sekadar untuk bisa hidup. Mereka tidak
memilih pekerjaan, melainkan terpaksa bekerja karena tidak ada pilihan lain.
c) Terasing
dalam dunia sosial. Dalam masyarakat kapitalisme, hubungan antar manusia
cenderung disederhanakan menjadi hubungan pasar. Uang, dan bukan hubungan
personal atau hubungan atas dasar cinta dan kepercayaan, menjadi faktor
dominan. Segalanya diukur dengan uang. (Bahkan, percintaan dan perjodohan pun
ditentukan oleh uang).
d) Terasing
dari alam. Dalam masyarakat kapitalisme, manusia menjadi adaptor alam, bukan
penguasa alam. Disamping itu, industri menjauhkan manusia dari lingkungan
alaminya.
2.15
Filsafat
Kontemporer (1900-Dewasa ini)
Filsafat
kontemporer, yang diawali pada awal abad ke-20, ditandai oleh variasi pemikiran
filsafat yang sangat beragam dan kaya. Mulai dari analisis bahasa, kebudayaan
(antara lain, postmodernisme), kritik sosial, metodologi (fenomenologi,
heremeutika, strukturalisme), filsafat hidup (eksistensialisme), filsafat ilmu,
sampai filsafat tentang perempuan (feminisme). Teme-tema filsafat yang banyak
dibahas oleh para filsuf dari periode
ini antara lain tentang manusia dan bahasa manusia, ilmu pengetahuan,
kesetaraan gender, kuasa dan struktur yang mengungkung hidup manusia, dan
isu-isu aktual yang berkaitan dengan budaya, sosial, politik, ekonomi, teknologi,
moral, ilmu pengetahuan, dan hak asasi manusia.
Ciri
lainnya adalah filsafat dewasa ini ditandai oleh profesionalisasi disiplin
filsafat. Maksudnya, para filsuf bukan hanya profesional dibidangnya
masing-masing, tetapi juga mereka telah membentuk komunitas-komunitas dan
asosiasi-asosiasi profesional dibidang-bidang tertentu berdasarkan pada minat
dan keahlian mereka masing-masing. Oleh sebab itu, dewasa ini adalah
batas-batas yang jelas untuk menentukan mana filsuf yang memiliki kualifikasi
dan mana yang amatiran. Profesionalisasi disiplin filsafat pun tampak dengan
jelas dari munculnya jurnal-jurnal terkemuka dalam bidang filsafat. Ada cukup
banyak jurnal filsafat, baik yang diterbitkan dalam bentuk cetak maupun
elektronik (on line atau e-journal). Leiter (2009) melakukan
survei di sejumlah negara untuk mengetahui popularitas dan kualitas
jurnal-jurnal filsafat. Hasilnya cukup mengejutkan, karena ditemukan 19 jurnal
yang dinilai sebagai jurnal yang paling berbobot. Jurnal-jurnal tersebut
diantaranya adalah: Philosophical Review,
Journal of Philosophy, Philosophy and Phenomenological research, Philosophical
Quarterly, dan lain-lain.
Sejumlah
filsuf yang termasuk sebagai filsuf-filsuf kontemporer antara lain adalah:
Wilhelm Dilthey (1833-1911), Edmund Husserl (1859-1938), Henri Bergson
(1859-1941), Ernst Cassirer (1874-1945), Bertrand Russell (1872-1970), Ludwig
Wittgenstein (1889-1951), Thomas Kuhn (1922-1996), Gilbert Ryle (1900-1976),
Martin Heidegger (1889-1976), Jean Paul Sartre (1905-1980), Simone de Beauvoir
(1908-1986), Richard Rorty (1931-2007), Paul Ricour (1913-2005), Theodor W.
Adorno (1903-1969), Jacques Lacan (1901-1981), Foucault (1926-1984),
Levi-Strauss, Karl Popper (1902-1994), Jurgen Habermas (1929-….), Slavoj Zizek
(1949-….), dan lain-lain.
Berikut
adalah beberapa contoh pemikiran filsafat dari zaman kontemporer.
2.15.1
Wilhelm
Dilthey 1833-1911
Selain
seorang filsul, Dilthey pun adalah seorang sejarawan yang humanis, oleh sebab
itu, dia sangat menentang upaya-upaya yang dilakukan oleh para ilmuan sosial
pada zamannya untuk menjadikan ilmu pengetahuan alam (IPA) sebagai model bagi
ilmu pengetahuan sosial (IPS). Ada kecenderungan para ilmuwan abad ke-19 dan
bahkan hari ini untuk menjadikan metode IPA sebagai model untuk metode IPS.
Dalam filsafat ilmu pengetahuan upaya-upaya seperti itu dinamakan positivasi
IPS. Alasan yang dikemukakan oleh Dilthey kenapa dia menentang upaya-upaya itu
adalah fakta bahwa ada perbedaan antara IPA dan IPS, terutam dalam objek
kajiannya. Objek kajian IPA adalah benda-benda alam, sedangkan objek IPS adalah
gejala tindakan manusia. Oleh sebab itu, metode penyelidikannya pun harus
berbeda dari metode IPA.
Ia
membedakan secara tegas antara Geisteswissenchaften
(IPS) dari Naturwissenchaften (IPA).
Meetode IPS tidak harus meniru metode IPA, karena IPS pada dasarnya adalah
suatu hermeneutika, atau seni memahami makna-makna yang tersembunyi di balik
gejala tindakan-tindakan atau aksi-aksi manusia. Disamping itu, tujuan IPS pun
berbeda dari IPA karena IPS bertujuan untuk memahami motif tindakan individu
dari “dalam”, sedangkan IPA menjelaskan gejala alam dari “luar”. Berikut adalah
tabel perbedaan diantara kedua jenis ilmu tersebut.
Tabel 4. Perbedaan
antara IPS (Geisteswissenchaften)
dengan IPA (Naturwissenchaften)
Geisteswissenchaften
|
Naturwissenchaften
|
|
Objek
kajian
|
Geist: ekspresi jiwa manusia
(“kehidupan”) dalam bentuk action dan
karya-karya manusia
|
Alam: organis dan inorganis
|
Metode
|
Verstehen
(Pemahaman) Perangkatnya: analisis intelektual-rasional dan afektif-empatik
|
Erklaren
(penjelasan-kausal)
Perangkatnya dan sifatnya:
analisis intelektual, rasional, objektif
|
Tujuan
|
Mengungkap pengalaman subjektif
atau “batin” (perasaan, ekspektasi, intensi, dll) dari individu atau
masyarakat
|
Menjelaskan sebab-akibat objektif
suatu gejala alam
|
Ada
beberapa catatan mengenai tabel di atas. Pertama,
Dilthey kadang-kadang menyebut objek Geisteswissenchaften itu “Erlebnis”, yaitu pengalaman khas
individu atau masyarakat yang bermakna bagi individu atau masyarakat itu
sendiri. Misalnya pengalaman tentang cinta, persahabatan, revolusi, ambisi,
penderitaan, kebahagiaan, dan lain-lain. Kedua,
tindakan (action) dan karya-karya
manusia yang diselidiki oleh IPS pada dasarnya merupakan simbol. “Di balik”
atau “di belakang” simbol tersebut terdapat dorongan-dorongan subjektif seperti
cinta, persahabatan, pemberontakan jiwa, ambisi, penderitaan, kebahagiaan, dan
lain-lain.
Ketiga, Dilthey
menekankan pentingnya hubungan antardisiplin diantara ilmu-ilmu pengetahuan
(IP) yang termasuk dalam Geisteswissenchaften
(antara lain psikologi, seejarah, ilmu budaya, sosial, hukum, sastera).
Alasannya, ekspresi jiwa tidak dapat dipilah-pilah ke dalam bagian-bagian
(misalnya, bagian hukum, ekonomi, sosial, psikologi, dan lain-lain), sehingga
semua ilmu yang termasuk ke dalam IPS memiliki hubungan bersifat antardisiplin
atau interdisipliner. Keempat, verstehen adalah
pemahaman ilmuwan sosial tentang pengalaman seorang individu atau masyarakat
secara mendalam (depth) dan
menyeluruh (comprehensive),
berdasarkan pada titik pandang atau perspektif individu atau masyarakat yang
sedang dipahami oleh ilmuwan itu.
Ada
beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan sosial agar berhasil
memahami (verstehen) pengalaman
individu-individu lain atau masyarakat yang akan diteliti. Pertama, dia harus memiliki kemampuan untuk memahami makna dari
pengalaman manusia secara umum, misalnya penderitaan dan kebahagiaan, cinta,
kecemasan dan harapan, pikiran dan perasaan, dan lain-lain. Sumber untuk
mendapatkan pengetahuan tersebut misalnya dari pengalaman/perjalanan hidup
sehari-hari, sejarah peradaban manusia, karya seni dan sastra, dan alain-lain.
Itu semua harus direfleksikan, dihayati oleh kita, agar kita menjadi sensitif
terhadap gejala (ekspresi jiwa manusia). Ingat misalnya, bagaimana Sigmund
Freud pun sangat memahami sejarah, kesenian, kesusasteraan, dan peradaban Barat
(khususnya Yunani Kuno), sebagaimana tampak dari konsep-konsep dalam teorinya,
misalnya: “narcisim”, “Oidipus complex”, “Elektra complekx”, dan lain-lain. Kedua, dia harus memiliki pemahaman diri
yang baik. (Bagaimana kita bisa memahami orang lain jika kita tidak dapat
memahami sendiri?) Ketiga, dia harus
memahami kaidah, norma, atau konteks tempat munculnya ekspresi (tindakan dan
karya manusia), termasuk di dalamnya: ekonomi, sosial, politik, sejarah, etnis,
agama, budaya. Keempat, dia harus
menguasai teori-teori tertentu, yang berhubungan secara pas (appropriate) dengan gejala yang hendak
dipahami.
2.15.2
Jean
Paul Sartre (1905-1980)
Belum
pernah ada seorang filsuf pun yang begitu ekstrem seperti Sartre yang
menegaskan tentang kebebasan manusia. Manusia, jika Sartre diminta untuk
mendefinisikannya, identik dengan kebebasan. Dalam kehidupan sehari-hari kita
selalu dihadapkan pada beragam pilihan, dan pada saat itu pula berarti kita
memiliki kebebasan untuk memilih. Bahkan, dalam situasi yang paling menekan
karena ada ancaman pun, kita tetap bebas. Misalnya, saya ditodong oleh seorang
perampok untuk menyerahkan harta-benda saya. Dalam kondisi ini saya masih
memiliki kebebasan, apakah mau menyerahkan apa yang dia minta atau melawan.
Apapun pilihan saya, selalu mengandung resiko yang harus saya pikul akibatnya.
Kebebasan
yang kita miliki ternyata tidak menyenangkan. Bahkan sering membuat kita merasa
cemas. Kebebasan bukanlah “berkah”, melainkan hukuman atau kutukan. Buktinya,
kita sering melarikan diri dari kebebasan. Kebebasan mempersyaratkan tanggung
jawab pribadi. Semua pilihan yang saya putuskan tidak selalu bisa saya prediksi
hasilnya. Dalam kasus-kasus tertentu, kalaulah ternyata pilihan saya tidak
tepat, maka hancurlah (sebagain) dari hidup saya. Oleh sebab itu, kita sering
menjadi orang malafide, yakni orang
yang tidak-autentik karena lari dari kebebasan dan enggan menghadapi resiko
akibat kebebasan yang kita miliki. Tidak sulit mencari orang-orang yang
tidak-autentik atau malafide seperti
itu. Kita sering menemukan individu-individu yang mengasalkan segala
perilakunya dari “takdir” atau “nasb”, atau dari kekuatan-kekuatan di luar
dirinya, yang menurutnya tidak bisa ditentang atau dihindari. Mereka biasanya
mengungkapkan pernyataan-pernyataan seperti, “sifat saya memang begitu, mau apa
lagi?”, atau “kehendak para penguasa kita memang demikian, bagaimana kita bisa
menentangnya?”, atau “itu sudah menjadi ketentuan para pemimpin kita, sehingga
adil atau tidak adil harus kita lakukan”. Itulah pernyataan-pernyataan yang keluar
dari mulut-mulut manusia malafide.
Apa yang sebenarnya hendak dikatakan oleh mereka adalah, “semua yang saya
lakukan itu bukanlah kehendak saya, atau tidak ada sangkut pautnya dengan
kemauan saya, jadi apapun yang terjadi, bukanlah tanggung jawab saya”.
Individu
malafide pun bisa tampil dalam bentuk
yang lain. Misalnya saja pada seorang individu yang segenap tindak-tanduknya
bukan didorong oleh keinginan atau kehendak sendiri, melainkan karena ingin
menyesuaikan diri dengan citra yang dibentuk oleh orang lain terhadap dirinya.
Katakanlah seorang pelayan yang over-acting
seperti yang dicontohkan oleh Sartre berikut ini:
Semua
gerakan dan kelakukan pelayan itu sungguh-sungguh berlebihan. Perilakunya
sangat ritual.ia membungkukkan badan dalam suatu cara yang begitu rupa,
sehingga tampak penuh perhatian dan penuh rasa hormat pada para pelanggannya;
ia mendemonstrasikan kemampuannya dalam menyeimbangkan baki yang dibawanya
denga terlampau hati-hati. Gerakannya seperti gerakan sebuah permainan.
Permainan yang sedang dia mainkan adalah permainan ‘menjadi seorang pelayan’.
Ia sangat sadar akan kelakuannya yang memainkan peran pelayan, dan memainkan
‘tarian’ seorang pelayan. …. Semua yang dia lakukan timbul dari keinginannya
untuk membuat kondisinya nyata…. Jadi, ia tidak lagi punya pilihan lain, selain
secara total dan lengkap larut kedalam kondisi menjadi pelayan. Bukan hanya dia
sendiri sebetulnya yang menghendaki berkelakuan seperti itu, tapi juga tekanan
dari luar pun menuntutnya untuk demikian. (Sartre, dikutip dari Abidin, 2009,
hal.189)
Dalam bentuk yang lain lagi, manusia malafide bisa saja tampil pada individu
atau psikolog yang meyakini teori-teori determinstik dan menjadikan teori-teori
tersebut sebagai alasan untuk menyangkal kebebasan dan tanggung jawabnya. Teori
yang menyatakan bahwa “watak manusia terbentuk oleh pengalaman-pengalamannya
pada masa kanak-kanak awal”, atau “faktor-faktor biologis sangat menentukan
perilaku agresif”, oleh individu atau psikolog malafide bisa dijadikan sebagai alasan untuk dimakluminya
perbuatan-perbuatan amoral tertentu--atau agar dibebaskannya dari tanggung
jawab moral, yang seharusnya dipikul oleh dirinya (Abidin, 2009).
2.16
Manusia
sebagai ”Animal SymboliCum”:
2.16.1
Filsafat
Manusia Ernst Cassirer (1874-1945)
Apakah
atau siapakah sebetulnya hakikat manusia itu? Ada sejumlah jawaban filsafat
yang berusaha menjawab pertanyaan itu. Aristoteles misalnya mendefinisikan
manusia sebagai animal rational, hewan yang berfikir (karena memiliki rasio).
Filsuf-filsuf lain seperti Karl marx dan Hanna arendt menyebutnya homo faber,
hewan yang bekerja. Ernst Cassirer menyebutnya animal symbolicum. Apa
sebetulnya animal simbolicum itu?
Pada
bagian ini akan dideskripsikan ringkasan pemikiran filsafat Ernst Cassir, yang
sumbernya berasal dari satu buku yang di
tulis olehnya, berjudul And Essay On Man. An introduktion To A Fhilosofhy Of
Human Cultur. 1944, Yale university press.(edisi bahasa Indonesia diterjamahkan
oleh Alois A.Nugroho, berjudul manusia dan kebudayaan ; sebuah Esei tentang
manusia. 1987. Jakarta: Gramebia). Didalam bukunya itu Cassirer membagi
uraiannya kedalam dua bagian. Bagian pertama berisi uraian yang sangat memikat
tentang hakikat manusia sebagai Animal Symbolicum, dan bagian kedua berisi
uraian mengenai bentuk-bentuk simbolisme manusia ( bahasa, mite, religi, ilmu
pengetahuan, dan seni) yang perwujudannya kedalam dunia sosial disebut “
Kebudayaan “. Berikut ini adalah ringkasan dari bagian pertama buku itu.
2.16.2
Filsafat
Ernst Cassirer tentang manusia
Johanes
vom uxkull (1864-1944), seorang ahli biologi Jerman yang cukup terkemuka, menyatakan bahwa setiap
organisme, apapun bentuk dan jenisnya, mempunyai pengalaman-pengalaman (dunia –
dalam) dan lingkungan-lingkungan alamiahnya (dunia – luar) sendiri yang khas
dan kaya. Oleh sebab itu, ia mengkritik setiap usuha yang dilakukan oleh para
ilmuan untuk mengeneralisasikan pengalaman-pengalaman dan lingkungan-lingkugan
mereka tersebut kedalam bentuk penyamarataan yang sangat artifisial.
Uexkull
kemudian mengembangkan sebuah bagan tentang lingkungan biologis, yang sangat
orisional dan gemilang. Menurut pendapatnya, cara terbaik untuk menjelaskan
kehidupan hewan adalah dengan cara menemukan fakta-fakta anatomis
komparatif,yakni membandingkan alam hewani dengan dunia manusiawi. Alasanya
adalah bahwa dengan mengetahui struktur anatomis dari suatu spesies hewan
tertentu, maka kita memiliki banyak data yang dibutuhkan untuk
merekonstruksikan cara pengalaman khusus hewan itu. Pada awalnya dia mengadakan
penyelidikan atas organisme-organisme “paling rendah”, dan kemudian memperluas
kepada semua bentuk organisme yang “lebih tinggi”. Hasil penyelidikannya
memperlihatkan bahwa setiap organismu, mulai dari yang paling rendah sampai
paling tinggi, selalu sudah ‘pas’ atau ‘sesuai’ dengan lingkungannya. Hal itu
dimungkinkan karena setiap organisme memiliki struktur anatomis tertentu yang
pas dengan lingkungannya. Sejalan atau sesuai dengan stuktur anatomisnya, semua
hewan memiliki sistem reporter (penerimaan stimulus) dan sistem efektor (yang
menimbulkan suatu reaksi terhadap stimulus) tertentu. Keduanya bekerja sama
secara kompak. Tampa kerja sama dan keseimbangan diantara kedua sistem,
organisme tidak mungkin bisa melangsungkan hidupnya. Kedua sistem itu sama-sama
terikat pada satu mata rantai yang
dinamakan “lingkaran fungsional hewani”.
Gagasan
penting Uexkull tersebut oleh Cassirer coba dikembangkan secara filsafati,
untuk mendeskripsikan dan memerinci ciri-ciri hakiki manusia dan dunianya.
Pengembangan ini dimungkinkan karena manusia memiliki struktur fisiologi yang tidak jauh berbeda dari hewan, dan tidak
luput dari hukum-hukum biologis yang mengatur kehidupan organisme. Manusia,
dengan perkataan lain, adalah makhluk biologis juga.
Akan
tetapi Cassirer berusaha mengungkapkan apa yang tidak diungkapakan oleh
Uexkull. Ia sangat yakin bahwa hakikat manusia tidak melulu bersifat biologis.
Artinya, manusia tidak dapat diidentikkan dengan hewan. Disamping terdapat
“lingkaran fungsional”, pada manusia terdapat karakteristik baru, yang
sungguh-sungguh khas manusia. Melalui proses penciptaan yang terus-menerus
secara historis, manusia telah menemukan cara baru untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Diantara sistem reseptordan sistem efektor (yang terdapat
pada semua spesies hewan) pada manusia terdapat sebuah sistem yang oleh
Cassirer disebut ‘’sistem simbolis’’.
Dengan
adanya sistem baru ini, maka berubahlah kehidupan manusia. Manusia tidak lagi
menempati lingkungan fisik yang sudah jadi, yang telah ‘’ditakdirkan’’ oleh
Tuhan atau diberikan begitu saja oleh alam. Manusia pun tidak hanya hidup dalam
realitas yang lebih luas saja, yang melampaui realitas dan pengalaman yang
dimiliki oleh hewan. Disebabkan oleh sistem simbolis, manusia hidup dalam
realitas yang sama sekali ‘’baru’’.
Menurut
Cassirer, terdapat perbedaan yang sangat jelas dan tegas diantara reaksi-reaksi
hewani dan aksi-aksi manusia. Hewan melakukan respons-respons langsung terhadap
rangsang-rangsang dari luar, sedangkan pada manusia respons-respons tersebut
ditunda dan diolah lebih dulu. Artinya, manusia respons-respons terhadap
stimulus, ‘ditunda’ dan ‘diolah’ oleh sistem kognitif yang rumit, yang
disebabkan oleh adanya sistem simbolis tadi. Manusia tidak lagi hidup dalam
dunia fisik, terkungkung oleh fakta-fakta yang sudah ‘jadi’, tetapi bergerak
dalam jarin-jaring simbolis yang sangat halus dan rumit. Jaring-jaring simbolis
tersebut tidak lain adalah kebudayaan, yang mencaakup bahasa, mite, seni, ilmu
pengetahuan, dan religi. Melalui jating-jaring simbolis inilah, melalui
kebudayaanlah, maka dunia yang nyata menjadi dunia yang mungkin, dunia yang
berarti tunggal menjadi dunia yang bermakna jamak.
Karena
sistem simbolis yang terdapat dalam setiap pikiran dan pengalaman manusia, maka
setiap kemajuan dalam pikiran dan pengalaman manusia pada prinsipnya berarti
memperbaiki dan memperkuat jaringjaring tersebut. Jaring-jaring simbolis
manusia setiap saat semakin kuat dan kaya, sejalan dengan menguat dan
meningkatnya kekayaan pikiran dan pengalaman manusia. Setiap saat, setiap
waktu, simbol-simbol tersebut semakin menguat dan padat, sehingga dalam
menjalani kehidupan sehari-hari pun manusia tidak perlu lagi berhadap-hadapan
langsung dengan realitas. Dalam setiap kehidupan yang dijalani oleh manusia,
manusia tidak perlu lagi berhadap-hadapan dengan ‘’bendanya sendiri’’ tanpa perantara simbolisme.
Realitas fisik secara otonomis telah dibingkai dan diberi warna oleh manusia
melalui kegiatan-kegiatan simbolik. Manusia tidak pernah lagi memberi reaksi
langsung tanpa perantara terhadap stimulus-stimulus, melainkan membungkus
dirinya secara rapat dengan bentuk-bentuk bahasa, kesenian, cerita-cerita mitis
atau ritual-ritual religius. Ia tidak melihat, merasa, mengetahui apa pun
selain melalui simbol-simbol.
Untuk
memahami apa yang diungkapkan oleh Cassirer tadi, ambil contoh perilaku makan.
Seekor kuda akan langsung memakan makanan yang ditemuinya begitu ia mengalami
perasaan lapar. Namun, manusia mempersiapkan makanan yang akan dimakannya
sebelum ia sendiri mengalami perasaan lapar. Ia mengolah hampir semua makanannya
dengan cara mencampurnya dengan ramuan-ramuan bumbu penyedap dan memasaknya
dengan beragam cara, menghidangkannya dengan beragam gaya, dan melakukan
beragam ritual doa dengan dengan beragam keyakinan agama. Contoh lain yang
hampir serupa adalah hubungan seks. Hewan dapat melakukan hubungan seks pada
saat dorongan birahinya muncul atau pada saat ‘’musim kawin’’ tiba. Ia
melakukannya secara langsung dengan lawan jenisnya, tanpa rasa cinta, ritual
budaya dan agama. Namun, manusia ‘’membudayakan’’ dan mensakralkan hubungan
seks itu melalui ritual budaya dan agama, menunda hubungan seks jika belum
dilandasi oleh rasa cinta yang disertai komitmen.
Bahwa
kegiatan-kegiatan simbolik pada manusia merupakan fakta yang sudah self-evident
dan melekat pada manusia, bisa kita perhatikan bukan hanya dalam kajian
teoritis (misalnya dalam ilmu dan filsafat), tetapi juga dalam pengalaman
praktis dan kehidupan sehari-hari. ‘’dalam dunia praktis pun’’, demikian
Cassirer menulis ‘’manusia tidak hidup dalam dunia berupa fakta-fakta kasar,
tidak hidup menurut kebutuhan-kebutuhan atau dorongan-dorongan langsung secara
spontan. Ia selalu hidup dalam imajinasi, kerinduan dan kecemasan, ilusi dan
disilusi, fantasi dan impian, yang kesemuanya itu diekspresikan melalui simbol-simbol
(Cassirer, 1987, hlm. 52).’’ Ambillah
contoh lain dari yang paling mudah tentang bagaimana kita memberi nama pada
benda-benda yang kita temui, sampai contoh yang paling rumit tentang bagaimana
setiap individu dan masyarakat memberikan berbagai interpretasi kepada setiap
peristiwa yang dialami dengan menggunakan simbol-simbol. Kesemuanya itu akan
menunjukkan satu hal: bahwa melalui kegiatan-kegiatan simboliknya, manusia
selalu memberi arti dan interpretasi secara simbolik pada setiap benda atau
kejadian, dan tidak bisa lain kecuali ia hidup secara demikian. Atas dasar
itulah maka Cassirer mendefinisikan manusia sebagai ‘’animal symbolicum’’.
Menurutnya, manusia adalah makhluk yang hidup dalam dunia simbol dan tidak
dapat dicabut dari akar-akar simbolismenya. Tanpa akar-akar simbolismenya,
manusia sulit untuk disebut manusia!
Untuk
lebih mempertajam konsepsinya itu,
Cassirer coba memaparkan secara rinci dan menarik kecenderungan simbolis
pada manusia, dengan cara membedakan dari perilaku ‘’simbolis’’ yang terdapat
pada lingkungan hewan. Ia menunjukkan banyak temuan ilmiah yang penting yang
berasal dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, khususnya dari ilmu biologi
dan psikologi komparatif. Dari temuan-temuan tersebut, ia mengakui bahwa pada
hewan seolh-olah terdapat ‘’stimulus representatif’’ (stimulus yang bersifat
tidak langsung). Misalnya eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh wolfe
terhadap kera-kera antrofoid, yang memperlihatkan efektifnya hadiah (reward)
hanya dalam bentuk tanda-tanda (Cassirer, 1987, hlm. 42). Eksperimen-eksperimen
tersebut seakan-akan membuktikan bahwa hewan pun belajar untuk merespons
tanda-tanda itu sebagai ganti hadiah makanan, seolah-olah mereka merespons
makanan itu sendiri.
Akan
tetapi temuan-temuan tidak menggugurkan pandangan Cassirer yang semula, bahwa
hanya manusia yang mempunyai simbol, sedangkan hewan tidak. Untuk memperkuat
pandangan itu pertama-tama ia mengadakan penyelidikan atas lapisan-lapisan
bahasa manusia. Menurutnya, kita perlu membedakan secara tegas antara bahasa
emosi dan bahasa proposisi. Sebagian besar yang diungkapkan oleh manusian
memang ada pada lapisan pertama, atau lapisan bahasa emosi. Pada lapisan ini
kita memang dapat menemukan banyak analogi dan kesamaan dengan
ekspresi-ekspresi hewani. Misalnya saja temuan Wofgang Koehler mengenai
perilaku simpanse. Dia membuktikan bahwa hewan-hewan seperti simpanse pun, pada
tingkat tertentu, mampu menyatakan diri dengan gerak-gerik bahasa emosional.
Emosi-emosi seperti marah, takut, putus asa, gelisah, kangen, sedih dan gembira
dinyatakn secara spontan dalam cara itu (Cassirer 1987, hlm. 44). Namun
demikian, kita tidak pernah menemukan ada satu unsur pun dalam tingkah laku
atau ekspresi hewan yang mirip dan sama dengan lapisan bahasa kedua, yakni
bahasa proporsional. Pada lapisan ini kata-kata tidak lagi hanya berupa
‘’seruan’’ atau ‘’teriakan’’, atau ekspresi spontan dari perasaan, melainkan
bagian dari kalimat yang memiliki struktur sintaksis dan logis (Cassirer, 1987,
hlm. 44)
Didalam
lapisan inilah simbol dikatakan khas manusiawi, karena kata-kata punya acuan
atau makna ‘’objektif’’, tidak lagi berupa sesuatu yang ‘’subjektif’’ dan
instingtif. Mengacu pada pendapat Koehler, Cassirer menulis bahwa seluruh
‘’bahasa’’ yang diekspresikan oleh simpanse sama sekali ‘’subjektif’’’ dan
hanya dapat menyatakan emosi-emosi, tetapi tidak pernah menunjuk atau
menggambarkan objek-objek. Tingkah laku simpanse, seperti yang kita amati dari
wajah dan tubuhnya, maupun bunyi yang mereka teriakkan, sama sekali tidak
menunjuk atau menggambarkan objek-objek.
Berdasarkan
pada perbedaan antara lapisan bahasa pertama (disebut ‘’bahasa emosional’’) dan
lapisan bahasa kedua (disebut ‘’bahasa proporsional’’) tersebut, Cassirer
menarik batas yang tegas antara dunia manusia dan lingkungan hewan. Menurutnya,
semua teori tentang bahasa hewan harus memerhatikan perbedaan ini. Ia
menghimpun banyak informasi tentang masalah ini dan menemukan fakta, bahwa
tidak pernah ada bukti mengenai hewan, yang pernah membuat perubahan menentukan
dari bahasa subjektif atau emosional (efektif) ke bahasa objektif atau
proporsional (kognitif). ‘’Koehler’’, demikian Cassirer merujuk pada
karya-karya Koehler dan Georg Revens, ‘’menulis secara tegas bahwa berbicara
adalah konsepsi antropologis yang harus disingkirkan jauh-jauh dari
penelitian-penelitian dalam psikologi hewan (psikologi komparatif).’’
(Cassirer, 1987, hlm. 45)
Oleh
sebab itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkah laku hewan dan
ekspresi-ekspresi perasaannya adalah bukan bahasa (prabahasa). Cassirer kemudian
merujuk pada pendapat Yarkes, yang menyatakan bahwa semua ekspresi hewan jauh
lebih terbatas dibandingkan dengan bahasa manusia. Dari semua referensi yang
mendukung argumentasinya tersebut, Cassirer menjadi semakin yakin bahwa hanya
manusia yang mempunyai simbol, sedangkan hewan, tidak!
Untuk
lebih memperjelas lagi pengertian tentang simbol, Cassirer secara teliti dan
hati-hati membedakan antara simbol dan tanda. Ia menginventarisasi banyak
informasi mengenai bagaimana hewan hanya mempunyai tanda, tetapi tidak
mempunyai simbol. Misalnya pada kasus-kasus hewan piaraan seperti seekor kuda
berikut ini:
‘’Beberapa
waktu yang lalu terdapat sebuah kasus yang cukup menghebohkan dikalangan para
ahli psikologi. Ceritanya begini. Seekor kuda bernama ‘’Hans yang cerdik’’
tampak memiliki kecerdikan yang luar biasa. Ketika kepadanya diajukan soal-soal
aritmatika yang agak sulit seperti persoalan akar pangkat tiga, ia mampu
menjawab soal-soal tersebut dengan benar. Cara ia menjawab adalah
menendang-nendangkan kaki ke tanah sesuai dengan jawaban yang diminta. Para
ahli psikologi dan para ilmuwan lainnya diundang untuk meneliti kasus ini.
Hasilnya menjadi jelas, bahwa si Hans ternyata tidak menjawab soal-soal
tersebut tapi hanya bereaksi terhadap gerakan-gerakan pemiliknya yang
dilakukannya tanpa sengaja. Jika pemiliknya tidak tampak oleh si Hans atau bila
pemiliknya tidak mengerti soal-soal yang diajukan, maka Hans pun tidak bisa
menjawab soal-soal itu’’. (Cassirer, 1987, hlm. 47, catatan kaki 12).
Atau
pada kasus tentang kepekaan seekor anjing dalam menangkap tanda-tanda seperti
ekspresi wajah atau perubahan nada suara majikannya berikut ini:
‘’seorang
ahli psikologi bernama Dr. Pfungst sedang mengembangkan beberapa metode yang
baru untuk mempelajari perilaku hewan. Pada suatu hari ia bercerita bahwa ia
baru saja menerima surat dari seorang wali kota. Di surat itu ditulis mengenai
suatu persoalan yang cukup mengherankan. Setiap kali sang wali kota hendak
pergi keluar rumah, si anjing kelihatannya merasa senang dan gembira. Didorong
oleh rasa heran yang semakin intens, sang wali kota suatu hari melakukan
eksperimen kecil-kecilan. Ia pura-pura hendak pergi keluar rumah. Seperti yang
biasanya yang dilakukan jika mau bepergian, ia lalu memakai topinya, mengambil
tongkatnya, dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk pergi. Namun, kali ini
sebenarnya tidak bermaksud untuk bepergian kemana pun. Sang wali kota merasa
heran, karena anjingnya diam saja disudut ruangan, tidak menghiraukan ritual
majikannya. Setelah mengamati gerak-gerik anjing itu dan kondisi kamar sang
wali kota, Dr. Pfungst dapat menjawab persoalan ini. Dalam kamar wali kota itu
terdapat sebuah meja yang ada lacinya. Didalam laci itu terdapat
dokumen-dokumen penting dan berharga. Biasanya, jika akan keluar rumah, sang
wali kota selalu menarik gagang laci itu untuk memastikan apakah laci itu sudah
terkunci dengan aman atau belum. Tapi ketika melakukan eksperimen itu, ia tidak
melakukannya.’’ (Cassirer, 1987, hlm. 47, catatan kaki 13)
Dari
dua contoh kasus tersebut Cassirer tidak secara gegabah menarik kesimpulan
bahwa hewan (kuda dan anjing dalam contoh kasus itu) mampu menangkap atau
memahami simbol-simbol manusiawi (aritmatika dan niat yang diekspresikan dalam
ritual sebelum berjalan-jalan keluar rumah). Sebaliknya kedua spesies hewan
tersebut hanya menangkap tanda, yakni tanda-tanda yang sudah diajarkan oleh si
pemilik kuda dan tanda-tanda yang secara mekanis ‘’dipelajari’’ oleh anjing
dari ‘’situasi berjalan-jalan’’ sang majikan (wali kota). Tanpa tanda-tanda
itu, kuda dan anjing tidak bereaksi.
Menurut
Cassirer, terdapat jarak yang sangat jauh antara kepekaan hewan-hewan dalam
menangkap tanda-tanda ke pemahaman akan simbol-simbol manusiawi. Ia merujuk
pada eksperimen-eksperimen Pavlop, yang menurut Cassirer membuktikan bahwa
hewan-hewan dengan mudah dapat dilatih untuk hanya bereaksi pada stimulus atau
rangsang tak langsung, yakni terhadap tanda. Bunyi bel misalnya menjadi tanda
makan siang dan seekor hewan dapat dilatih untuk tidak menyentuh makanannya
bila bel itu tidak (atau belum) berbunyi. Tetapi apa yang dapat kita pelajari
di sini hanyalah bahwa si pelatih telah berhasil mengubah ‘situasi makan’ lebih
rumit dengan memasukkan unsur baru ke dalamnya secara disengaja, yakni bunyi
bel itu. Namun, tambah Cassirer, semua fenomena yang biasanya disebut refleks
terkondisi sangat jauh berbeda dengan hakikat pemikiran simbolis manusia. Tanda
dan simbol masing-masing terletak pada dua bidang yang berbeda: tanda adalah
bagian dari dunia fisik, sedangkan simbol merupakan bagian dari dunia makna
manusia. Tanda, bagaimanapun juga, merupakan sesuatu yang fisik dan
substansial, sedangkan simbol hanya memiliki nilai fungsional.
Menunjuk
pada kasus Helen Keller, seperti yang diceritakan kembali oleh Sullivan dalam
The Story of my life, Cassirer menyatakan bahwa prinsip simbolisme dengan
universitas, validitas, dan kemungkinan untuk diterapkan secara umum pada
prinsipnya meyerupai kata magis, mantra ‘’sesam, buka pintu’’, yang merupakan
pintu masuk ke dunia budaya manusia (Cassirer, 1987, hlm. 53). Oleh sebab itu,
keadaan tercerabut dari simbol adalah keadaan terpencil dari realitas manusia.
Demikian
bahwa salah satu ciri istimewa dan paling mencolok dari simbolisme adalah
kemungkinannya untuk di terapkan secara umum. Namun, masih ada ciri lainnya.
Simbol juga mempunyai makna yang beragam. Kita dapat mengungkapkan sebuah makna
atau isi pikiran misalnya dengan bermacam-macam bahasa. Kita pun dapat
mengungkapkan berbagai ide atau gagasan hanya dengan menggunakan sebuah bahasa.
Hal itu tentu saja berbeda dari tanda. Setiap tanda atau sinyal berhubungan
dengan benda-benda yang diacunya secara khusus dan tetap. Untuk memperkuat
pendapatnya, Cassirer, lagi-lagi menunjuk hasil eksperimen Pavlop.
‘’Dalam
eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh Pavlop, anjing-anjing dengan mudah
dapat dilatih untuk mendekati makanan hanya dngan memberinya tanda-tand
tertentu. Anjing-anjing itu tidak akan makan sebelum mereka mendengar bunyi
yang ditentukan secara random oleh pelaatihnya. Namun, hal itu tidaklah sama
dengan simbolisme manusia. Simbolisme-simbolisme manusia tidak dicirikan oleh
keseragaman, melainkan oleh
keanekaragaman. Simbol-simbol manusiawi tidak keras atau kaku, tetapi kenyal
atau fleksibel.’’ (Cassirer, 1987, hlm. 48)
Kita
dapat mengajukan pertanyaan: bagaiman Cassirer menjelaskan perhubungan antara
‘’pemikiran relasional’’ (pemikiran yang menghubungkan satu kasus dengan kasus
lain atau satu gejala dengan gejala lain) dan ‘’pemikiran simbolis’’
(kasus-kasus atau gejala-gejala itu dibingkai dalam bentuk simbol)? Dalam
menjawab pertanyaan itu, ia mengatakan ‘’tanpa sistem simbol yang rumit, tidak
mungkin tumbuh dan berkembang pemikiran relasional.’’ Sebagai pengagum filsafat
Immanuel Kant (Kantianism), Cassirer mengatakan bahwa jiwa manusia tidak sama
sekali ‘’kosong’’, seperti tabula rasa, melainkan sudah memiliki kemampuan
kategorisasi berdasarkan pada simbol-simbol yang telah dikuasainya. Dengan
perkataan lain, pemikiran relasional sepenuhnya tergantung pada pemikiran
simbolis, dan bukan pada data-data yang dipersepsi. Simbol, seperti yang selalu
ditegaskan Cassirer berulang-ulang, bukanlah agian dari dunia fisik, melainkan
dari dunia makna manusiawi. Maka, untuk menangkap makna itu, manusia tidak
tergantung pada data inderawi yang konkret dan langsung (pada data-data
penglihatan, pendengaran, perabaan, kinestetik). Ia memberi contoh geometri
sebagai berikut:
‘’Dalam
geometri elementer pun kita tidaak terikat pada persepsi mengenai bentuk-bentuk
konkret individual. Kita tidaak berkenan lagi dengan benda-benda fisik atau
objek-objek perseptual, karena yang kita pelajari adalah relasi-relasi spasial.
Untuk menyatakan relasi-relasi itu kita selalu menggunakan simbol-simbol yang
adekuat.’’ (Cassirer, 1987, hlm. 79)
Kemampuan
itu tentunya adalah khas manusia. Sekali lagi Cassirer menegaskkan bahwa hanya
manusia memiliki simbol, sedangkan hewan tidak. Kesimpulan yang ditarik adalah
Cassirer dari permenungannya yang panjang dan melelahkan itu adalah bahwa tanpa
simbolisme, manusia tidak dapat dikatakan sebagai manusia. Manusa tanpa
simbolisme dapat disejajarkan dengan hewan-hewan lain, kalau tidak dalam
struktur anatomisnya, ya, dalam kecenderungan gerak-gerik dan tingkah lakunya.
Meminjam perumpamaan yang dibuat oleh plato mengenai gua dan Dunia Ide,
Cassirer menulis demikian:
‘’Dapat
disimpulkan bahwa tanpa simbolisme, hidup manusia sama seperti tawanan yang
terkurung di dalam gua. Hidup manusia akan dikerangkeng oleh batas-batas
kebutuhan biologis, naluriah, dan kebutuhan sesaatnya yang praktis. Tanpa
simbolisme, manusia tidak dapat menemukan pintu gerbang bagi ‘’dunia ideal’’
seperti yang diungkapkan oleh agama, kesenian, filsafat, dan ilmu pengtahuan’’
(Cassirer, 1987, hlm. 62)
Oleh
sebab itu, berkat simbollah, berkat ‘’religi, kesenian, filsafat, dan ilmu
pengetahuan’’ –lah, maka manusia baru sungguh-sungguh menjadi manusia!
BAB III
FILASAFAT TIMUR
2.1 Munculnya Filsafat
Akibat dari berkembangnya kesusasteraan Yunani dan
masuknya ilmu pengetahuan
serta semakin hilangnya kepercayaan akan kebenaran yang diberikan oleh pemikiran keagamaan, peran mitologi yang sebelumnya mengikat segala aspek pemikiran kemudian secara perlahan-lahan digantikan oleh logos (rasio/
ilmu). Pada saat inilah, para filsofof
kemudian mencoba memandang dunia dengan cara yang lain yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir secara
ilmiah. Dalam
mencari keterangan tentang alam semesta, mereka melepaskan diri dari hal-hal mistis yang secara turun-temurun diwariskan oleh tradisi. Dan selanjutnya
mereka mulai berpikir
sendiri. Di balik aneka kejadian yang diamati secara umum, mereka mulai mencari suatu keterangan yang memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian kejadian itu. Dalam artian inilah, mulai ada kesadaran untuk mendekati
problem dan kejadian
alam semesta secara logis dan rasional. Sebab hanya
dengan cara semacam ini, terbukalah kemungkinan bagi pertanyaan-pertanyaan lain dan penilaian serta kritik dalam memahami alam
semesta.Semangat inilah yang memunculkan filosof-filosof pada jaman Yunani.
Filsafat danilmu menjadi satu. Filsafat,
terutama Filsafat Barat, muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berfikir-fikir dan
berdiskusi akan keadaan
alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama pada saat itu yang dianggap sebagai “tirai besi keilmuan” lagi
untuk mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang
bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel)
atau Mesir. Jawabannya
sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
2.2 Filsafat Timur
Filsafat Timur merupakan sebutan
bagi pemikiran-pemikiran filosofis yang berasal dari
dunia Timur atau Asia, seperti Filsafat Cina, Filsafat India, Filsafat Jepang, Filsafat Islam, Filsafat Buddhisme, dan sebagainya. Masing-masing jenis
filsafat merupakan
suatu sistem-sistem pemikiran yang luas dan plural. Misalnya saja, filsafat India dapat terbagi menjadi filsafat Hindu dan filsafat Buddhisme,
sedangkan filsafat Cina dapat
terbagi menjadi Konfusianisme dan Taoisme. Belum lagi, banyak terjadi pertemuan dan percampuran antara sistem filsafat yang satu dengan yang
lain, misalnya Buddhisme
berakar dari Hinduisme, namun kemudian menjadi lebih berpengaruh di Cina ketimbang di India. Di sisi lain, filsafat Islam malah lebih banyak
bertemu dengan filsafat
Barat. Akan tetapi, secara umum dikenal empat jenis filsafat Timur yang terkenal dengan sebutan “Empat Tradisi Besar” yaitu Hinduisme, Buddhisme, Taoisme,dan Konfusianisme.
Filsafat Timur memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan
filsafat Barat, yang mana ciri-ciri
agama terdapat juga di dalam filsafat Timur, sehingga banyak ahli berdebat mengenai dapat atau tidaknya pemikiran Timur dikatakan sebagai filsafat. Di
dalam studi post-kolonial bahkan ditemukan
bahwa filsafat Timur dianggap lebih rendah ketimbang sistem pemikiran Barat karena tidak memenuhi kriteria filsafat
menurut filsafat
Barat, misalnya karena dianggap memiliki unsur keagamaan atau mistik. Akan tetapi, sekalipun di antara filsafat Timur dan filsafat Barat terdapat
perbedaan perbedaan,
namun tidak dapat dinilai mana yang lebih baik, sebab masing-masing memiliki keunikannya sendiri. Selain itu, keduanya diharapkan dapat saling
melengkapi khazanah
filsafat secara luas.
4.3 Pemikiran
Timur sebagai Filsafat
4.3.1 Keberatan-Keberatan
Banyak ahli tidak melihat pemikiran Timur sebagai
filsafat melainkan sebagai agama, karena dianggap tidak rasional, tidak
sistematis dan tidak kritis. Kriteria radikal (berpikir secara mendalam),
sistematis, dan kritis berasal dari filsafat Barat. Selain itu, pemikiran
Timur seringkali diterima begitu saja oleh para penganutnya tanpa suatu kajian
kritis; mereka hanya menafsirkan, berupaya memahami, dan kemudian mengamalkannya.
Akan tetapi, sebenarnya hal itu tidak bisa menjadi kriteria untuk menentukan
pemikiran Timur digolongkan sebagai filsafat atau tidak, sebab seringkali kategorisasi
filsafat dan bukan filsafat ditentukan oleh Barat yang memaksakan kriteria kriterianya
terhadap Timur. Pemikiran-pemikiran Timur banyak yang memiliki kedalaman,
bersifat analitis, dan kritis,
bahkan melebihi pemikiran Barat, misalnya seperti
Konfusius, Lao Tzu, dan Siddharta Gautama.
4.3.2
Pemikiran
Timur memenuhi Definisi Filsafat
Definisi
menurut asal kata filsafat adalah cinta kepada kebenaran. Dilihat dari definisi filsafat, sebenarnya pemikiran Timur dapat dikategorikan sebagai
filsafat, sejauh
filsafat Timur merupakan usaha manusia untuk memperoleh kebenaran, yang didasarkan pada rasa cinta akan kebenaran itu sendiri. Pengetahuan akan
kebenaran selalu
berkaitan dengan kebijaksanaan dan mengandung dua unsur, yakni pengetahuan akan kebaikan tertinggu dan tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi.
Pengetahuan dan tindakan
haruslah hadir di dalam diri seorang yang bijaksana. Kedua hal ini ada di dalam pemikiran sejumlah pemikir Timur seperti Lao Tzu, Konfusius,
Siddharta Gautama,
para filsuf Hindu, dan para filsuf Islam, sehingga pemikiran mereka dapat disebut filsafat Timur.
4.3.3
Pemikiran
Timur memenuhi Kriteria Filsafat
Selain
melalui definisi, filsafat Timur juga dapat memenuhi kriteria-kriteria sebuah filsafat seperti yang lazim menjadi kriteria filsafat Barat, yakni
kritis, sistematis, dan radikal
Tentu saja ada perbedaan cara dengan yang dipahami oleh filsafat Barat. Aspek kritis dapat dipenuhi bila pemikiran-pemikiran yang telah ada diolah
secara kritis dan terbuka
terhadap modifikasi. Pengolahan dilakukan melalui dialog, diskusi, adu argumentasi, dan kesiapan untuk membuka diri terhadap pemikiran baru. Aspek sistematis sebenarnya telah ada di dalam pemikiran-pemikiran Timur, dan
dapat berbeda-beda antara satu pemikiran
dengan pemikiran lainnya. Misalnya filsafat Cina didasarkan pada konstruksi kronologis, mulai dari penciptaan alam hingga meninggalnya manusia. Di sini, yang penting terdapat alur yang runut dalam
setiap sistem pemikiran, ada masalah yang
jelas, ada proses pengolahan informasi sebagai upaya penyelesaian masalah, dan ada solusi bagi masalah tersebut. Mengenai
sifat radikal dalam arti mendalami
obyeknya, hal itu juga telah lama berakar pada pemikiran Timur. Siddharta Gautama, misalnya, mencoba menggali hakikat hidup sampai sedalam-dalamnya, melakukan pembaruan terhadap sistem India yang sudah ada,
dan membentuk
sistem baru yang dikenal sebagai Buddhisme.
4.4 Perbedaan dengan Filsafat Barat
Filsafat
Barat dan Filsafat Timur tampak amat berbeda sebab berkembang didalam budaya
yang amat berbeda, dan sepanjang sejarah tidak terlalu banyak pertemuan di antara
keduanya, kecuali di dalam filsafat Islam. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada
persamaan di antara keduanya.
4 .4.1 Pengetahuan
Filsafat Barat sejak masa Yunani telah menekankan akal
budi dan pemikiran yang rasional sebagai pusat kodrat manusia. Filsafat
Timur lebih menekankan hati daripada
akal budi, sebab hati dipahami sebagai instrumen yang mempersatukan akal budi dan
intuisi, serta intelegensi dan perasaan. Tujuan utama berfilsafat adalah
menjadi bijaksana dan menghayati kehidupan, dan untuk itu
pengetahuan harus disertai dengan moralitas.
4.4.2 Sikap
Terhadap Alam
Filsafat Barat menjadikan manusia
sebagai subyek dan alam sebagai obyek sehingga
menghasilkan eksploitasi berlebihan atas alam. Sementara itu, filsafat Timur menjadikan harmoni antara manusia dengan alam sebagai kunci. Manusia
berasal alam namun
sekaligus menyadari keunikannya di tengah alam.
4.4.3 Cita-cita Hidup
kalau filsafat Barat menganggap mengisi hidup dengan
bekerja dan bersikap aktif
sebagai kebaikan tertinggi, cita-cita filsafat Timur adalah harmoni,
ketenangan, dan kedamaian
hati. Kehidupan hendaknya dijalani dengan sederhana, tenang, dan menyelaraskan diri dengan lingkungan.
4.4.4 Status Manusia
Filsafat Barat amat menekankan status manusia sebagai
individu dengan segala kebebasan yang ia miliki, dan masyarakat tidak bisa
menghilangkan status seorang manusia dengan kebebasannya. Filsafat Timur menekankan
martabat manusia tetapi dengan penekanan yang berbeda, sehingga manusia ada
bukan untuk dirinya melainkan ada di dalam solidaritas dengan sesamanya.
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Filsafat
merupakan dasar-dasar dari keseluruhan yang terjadi pada diri manusia serta makhluk hidup
lain yang ada di muka bumi ini baik dari awal penciptaan manusia dimuka bumi ini,
ilmu-ilmu pengetahuan, dan ilmu-ilmu lainnya. Lahirnya filsafat karena rasa ingin
ketahuan manusia terhadap sesuatu hingga lahirlah para-para filsuf baik dari belahan Bumi
Barat maupun dari belahan Bumi Timur. Dengan adanya filsafat ini manusia dapat
berfikir dari alur yang berpikir rasional dan meninggalkan alur pikir yang selalu mengaitkan
sesuatu dengan mitos atau mistis yang kejadiannya bisa saj secra kebetulan.
Filsafat merupakan teoritis ilmu yang dapat mematahkan teori lain dengan adanya
pembuktian yang menyatakan bahwa teori itu dapat diterima dengan akal pikiran serta
terbukti kebenarannya atau disebut empirisme. Secara garis besar
filsafat Timur banyak memasukkan unsur-unsur agama yang menjadikan filsafat
Timur memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan filsafat Barat, sehingga banyak ahli
berdebat mengenai dapat atau tidaknya pemikiran Timur dikatakan sebagai
fisafat, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara filsafat Barat dan Timur
keduanya tidak dapat nilai mana yang lebih baik karena memiliki keunikan tersendiri.
Selain itu, keduanya diharapkan dapat saling melengkapi khazanah filsafat secara luas.
5.2 SARAN
Filasafat
menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping
nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan
ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling
dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan
sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal. Jadi kami merasa ilmu filsafat
ini ilmu yang tinggi yang tentu juga perlu pemahaman tinggi untuk memahaminya.
Jika ada kesalahan atau ketidaksamaan pendapat dalam makalah ini, pembaca dapat
memberikan masukan atau kritikan yang membangun pada kami.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Zainal Abidin. Pengantar Filsafat Barat
Muhammad Harsono. 2010. Makalah Filsafat Timur. Filsafat-ilmu.blogspot.com